Dalam mencapai setiap tujuan dan peran yang berkontribusi dalam masyarakat secara konkret harus dilakukan reformasi struktur lembaga non struktural yang berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM), keterbatasan kewenangan, dan otonomi kelembagaan. Menurut Lawyer dan Mohrman (2003), pencapaian tujuan dan sasaran kelembagaan dengan efektif wajib melibatkan SHRM (Strategic Human Resource Management). Dalam praktiknya, sumber daya manusia harus diintegrasikan dan diselaraskan dengan rencana strategis lembaga dengan tujuan untuk mencapai kinerja individu dan lembaga yang terorganisasi dengan baik.Â
Demi tercapainya setiap tujuan dan program lembaga, maka yang harus ada perbaikan pada hubungan integrasi vertikal dan horizontal. Integrasi vertikal dengan melibatkan praktek HRM (Human resources Management) dengan pencapaian tujuan strategis lembaga, sedangkan integrasi horizontal dengan mensinkronisasikan hubungan antara kegiatan HRM dengan pelaksanaan yang lain dengan tujuan untuk menciptakan hubungan yang selaras antara sumber daya manusia dan seperangkat perilaku, kompetensi dan motivasi yang terarah (Schuler dan Jackson 2005: 12).Â
Keterbatasan kewenangan sangat berkaitan erat dengan otonomi dari kelembagaan itu sendiri. Keterbatasan kewenangan yang ada memberikan sedikit ruang bagi kelembagaan untuk dapat mengelola dan mengembangkan lembaga dengan baik, akibatnya berimplikasi kepada kurangnya dukungan politik dari pemerintah terhadap setiap program dan tujuan lembaga.Â
Kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke masyarakat (Nuridawati, 2019).Â
Kedekatan antara pemerintah daerah dengan masyarakat akan lebih memungkinkan untuk merespon kebutuhan lokal dengan lebih baik dan efisien. Tumbuhnya apresiasi terhadap kebutuhan untuk mengembangkan pemerintahan lokal dan bukan hanya pemerintah lokal.Â
Hal ini menyiratkan tidak hanya transfer tanggung jawab dan sumber daya vertikal dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi juga keterlibatan simultan oleh lembaga non-negara lokal (sektor swasta, masyarakat sipil dan organisasi internasional) dalam pemberian layanan dan kegiatan pembangunan (Olowu, 2003).Â
Dalam penyelenggaraannya, otonomi daerah harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran-serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Hal ini selaras dengan pemikiran Jimly Asshiddiqie (2010) yang menekan pentingnya peran serta masyarakat dalam proses kegiatan otonomi daerah.Â
Desentralisasi harus dipahami dengan kerangka kerja yang harus menyertakan dispersion of power dalam setiap komponen kedaulatan rakyat untuk mewujudkan dan mengelola tata pemerintahan yang mengarah kepada good governance.Â
Pada konteks ini, masyarakat sipil sebagai aktor non negara yang memiliki kedekatan dan responsif terhadap setiap isu lokal memiliki peranan besar dalam menciptakan penyeimbangan konektivitas antara masyarakat dan pemerintah pada level daerah. Masyarakat sipil yang dinamis akan mampu berkontribusi pada pemerintahan yang baik dan demokratis dengan memastikan partisipan publik yang lebih besar dalam pembangunan lokal.Â
Desentralisasi kekuasan yang dibarengi dengan penguatan masyarakat sipil pada tingkat lokal akan meningkatkan partisipasi dan transparansi publik. Baik desentralisasi maupun keterlibatan masyarakat sipil dalam arus demokrasi merupakan pilar utama reformasi tata pemerintahan untuk pemberdayaan (Ito, 2011). Proliferasi bentuk kelembagaan lokal dan fragmentasi kekuasaan publik pada level daerah akan tercipta apabila adanya transfer kekuasaan dan sumber daya atas nama desentralisasi demokratis kepada lembaga-lembaga lokal, otoritas adat dan organisasi masyarakat sipil.Â
Partisipasi yang baik dengan adanya hubungan yang sejajar semua pihak dan bertanggung jawab dalam upaya menuju keberhasilan pelaksanaan program pembangunan (Dewi, 2002). Pemerintah daerah harus memberikan keleluasaan kepada masyarakat lokal untuk dapat mengaktualisasikan dirinya secara optimal dengan jaminan regulasi sebagai bentuk pengakuan terhadap eksistensi masyarakat dan kebudayaan.Â