Tak hanya untuk keperluan belajar jarak jauh, media penyiaran komunitas juga digunakan sebagai sarana hiburan dan informasi lokal bagi warga sekitar. Seperti yang dilakukan oleh warga Kampung Lukis di Banyuwangi, Jawa Timur, melalui radio komunitasnya. Keberadaan radio tersebut cukup membantu kebutuhan warga akan hiburan dan informasi seputar Covid-19 di tengah pemberlakuan PSBB di Provinsi Jawa Timur.
Mengenal Media Penyiaran Komunitas dan Kendalanya
Melihat bukti nyata dari media penyiaran komunitas dalam pandemi Covid-19, kita perlu melirik kembali perihal apa itu media penyiaran berbasis komunitas, atau yang dikenal dalam UU Penyiaran sebagai "Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK)".
"LPK adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya." - pasal 21 ayat 1 UU no.32 tahun 2002 tentang Penyiaran
Karakteristik LPK di atas dijabarkan lebih lanjut dalam PP No 51 Tahun 2005. Bahkan dari kombinasi kedua peraturan tersebut, kita langsung tahu apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaan media penyiaran berbasis komunitas. Mari kita bahas satu persatu.
Tujuan adanya LPK harus benar-benar untuk komunitas masyarakat di suatu wilayah. Contohnya adalah radio komunitas Kampung Batik pada paragraf sebelumnya dan TV yang didirikan oleh kampus. Salah satu TV komunitas berbasis kampus di Indonesia adalah TV UI (Televisi Universitas Indonesia) yang bersiaran di sekitar kampus Universitas Indonesia di Depok.
Sebagai patokan seberapa banyak masyarakat dalam suatu wilayah yang dinaungi TV dan radio komunitas, pemerintah menetapkan jangkauan siaran mereka maksimum 2,5 kilometer dari lokasi pemancar atau maksimum daya pancarnya 50 watt.
Hal ini tentu saja mengurangi minat bisnis lokal di suatu wilayah untuk mendukung operasional media penyiaran komunitas. Hillun Vilayl Napis, dalam tulisannya di Remotivi, mencontohkan peristiwa yang terjadi saat TV UI hendak memakai sebuah caf untuk lokasi syuting acara mereka.
Bicara soal jangkauan siaran, di kalangan pegiat media komunitas sendiri masih ada perdebatan. Apakah jarak 2,5 km sudah menghimpun semua warga dalam komunitas di suatu wilayah, mengingat kepadatan penduduk di tiap daerah berbeda-beda.
Lalu, poin "tidak komersial" dalam karakteristik LPK di UU Penyiaran, menandakan media penyiaran komunitas tidak boleh menyewakan jam siarannya untuk iklan. Lah, kalo ga ada iklan, gimana mereka bisa dapet duit?
Kalo menurut PP No 51 Tahun 2005 sih, mereka bisa memperoleh biaya operasional dari sumbangan, hibah, sponsor, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Masalahnya, dana sumbangan tersebut belum tentu cukup untuk membiayai operasional media penyiaran komunitas. Ditambah lagi, mereka harus membayar biaya perpanjangan izin tiap tahunnya.
Terlebih, jika peralatan yang mereka gunakan mengalami kerusakan dan itu berarti harus merogoh kocek lebih dalam lagi. Masih dari tulisan Hillun di Remotivi, kita bisa melihat contohnya dari DNK TV, stasiun TV komunitas milik Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta. Kerusakan pada pemancar membuat stasiun TV itu hanya bersiaran di frekuensi terestrial selama 1 tahun saja (2009-2010).