Mohon tunggu...
Tb Adhi
Tb Adhi Mohon Tunggu... Jurnalis - Pencinta Damai
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Sich selbst zu lieben ist keine ritelkeit, sondern vernunft

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kemarahan Demokrat, dari Jayapura hingga JCC Senayan

19 September 2022   13:08 Diperbarui: 19 September 2022   13:21 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Susilo Bambang Yudhoyono dan Agus Harimurti Yudhoyono saat Rapimnas Partai Demokrat. (Foto: Liputan6.com).

KITA mencatat adanya peningkatan eskalasi politik nasional sepanjang pekan lalu. Tensi politik menghangat dari dua peristiwa penting yang terjadi di Jayapura, Papua, dan Jakarta Convention Centre (JCC), Senayan. 

Di awal pekan, sejatinya Selasa (13/9/2022), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Papua Lukas Enembe sebagai tersangka korupsi. Selang dua hari kemudian, Agus Harimurti Yudhoyono dan ayahnya, Susilo Bambang Yudhoyono, secara bergantian melakukan serangan balik terkait stagnasasi dari pemerintahan Joko Widodo dan indikasi kecurangan terhadap mereka pada Pilpres 2024.

Penulis sengaja memakai frasa serangan balik untuk melukiskan kegeraman sekaligus kemarahan dua petinggi Partai Demokrat (PD) yang disampaikan secara bergantian pada acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Demokrat di JCC, Kamis dan Jumat (15-16/9) pekan lalu.

Frasa serangan balik mungkin tidak terasa berlebihan mengingat Lukas Enembe, yang sudah dua periode memimpin Papua, adalah salah satu kader terbaik PD di wilayah Timur. Lukas Enembe, mantan Bupati Puncak Jaya dan Gubernur Papua 2013-2018 serta 2018-2023, disebut-sebut sudah menjadi incaran KPK. Lembaga antirasuah menetapkan status tersangka kepada 'orang kuat Papua' tersebut setelah memiliki alat bukti yang cukup.

Dari pemberitaan media diketahui betapa petinggi PD melakukan berbagai reaksi pembelaan untuk kadernya itu. Di antaranya dengan  mengingatkan bahwa selama memimpin Papua Lukas Enembe sukses membawa provinsi ini mendapat predikat Wajar Tanpa Pengeculiaan (WTP) sebanyak 7 kali berturut-turut.

Pembelaan para petinggi PD ini menuai reaksi dari berbagai pihak, salah satunya dari Andre Vincent Wenas. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Persepektif (LKSP) yang juga fugsionaris Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini menyebut, tidak ada hubungannya dari penetapan Lukas Enembe sebagai tersangka korupsi dengan 'prestasi' pencapaian 7 kali WTP berturut-turut.

Andre Vincent Wenas mengingatkan bahwa WTP merupakan opini yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan, dalam kasus ini laporan pemprov Papua. 

Dia menyebut ada 4 kriteria pemberian WTP, yakni kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern.

Seperti dikutip dari media, kata Andre Vincent Wenas, pemberian opini WTP karena laporan keuangannya dianggap memberi informasi yang bebas dari salah saji material. 

Artinya, sajian yang material saja. Dalam kasus ini, auditor meyakini berdasarkan bukti-bukti audit yang dikumpulkan, organisasi itu dianggap telah mengikuti prinsip akuntansi yang berlaku umum. Demikian.

Oleh karena itu, pemberian opini WTP tidak ada urusannya dengan praktek korupsi. Kata Andre Vincent Wenas, hal itu bisa saja dilakukan mengingat catatan yang disajikan secara material bisa dipermak sedemikian rupa.

Penulis tidak bermaksud untuk memperdebatkan lebih jauh masalah pemberian WTP 7 kali berturut-turut untuk Pemprov Papua di masa pemerintahan Lukas Enembe tersebut. Yang jelas, kegeraman PD atas penetapan status tersangka Lukas Enembe tersebut terus berlanjut dan sangat mungkin memengaruhi atmosfir Rapimnas PD di JCC, Senayan.

Di hari pertama Rapimnas, Kamis (15/9), Ketua Umum PD Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) langsung bersuara keras dengan menyebut pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin lebih banyak 'gunting pita'. Itu menjadi semacam penegasan jika apa yang dilakukan Jokowi-Ma'ruf Amin hanya meneruskan apa yang dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya, sejatinya 10 tahun era pemerintahan ayahnya, SBY, dari periode 2004-2009 dan 2009-2014.

Itu termasuk berbagai pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) di masa krisis, subsidi kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), serta beragam pembangunan infrastruktur.

Pada hari kedua, Jumat (16/9), SBY bahkan melontarkan pernyataan yang lebih menohok. Pendiri PD ini menyebutkan adanya upaya mencegah PD mengusung capres dan cawapres bersama koalisinya pada Pilpres 2024 mendatang. Presiden periode 2004-2009 dan 2009-2014 ini menyebut sudah ada upaya jika di Pilpres 2024 yang bertarung hanya dua pasangan capres-cawapres.

Pernyataan AHY dan SBY, kita ketahui, langsung menuai reaksi dan kritik balik dari kalangan partai koalisi pemerintah. Fungsionaris PDIP dan Partai Golkar seperti Hasto Kristiyanto, Adian Napitupulu dan Ridwan Bae seketika membalas.

Sebagaimana ramai diberitakan media, Adian dan Hasto dari PDIP menyatakan apa yang disampaikan AHY dan SBY tidak berdasarkan data dan fakta. Terkait indikasi kecurangan yang dilontarkan SBY, Hasto balik menyebut bahwa pernyataan SBY hanya sekadar sebuah pembelaan untuk anaknya, AHY. 

Namun, Hasto mengingatkan, jangan jadikan bisa tidaknya PD mencalonkan AHY di Pilpres sebagai indikator adanya skenario pemerintahan Jokowi untuk melakukan kecurangan di Pemilu 2024, khususnya Pilpres.

Dalam pemahaman penulis dan juga publik, PD sejauh ini memang tengah berusaha mengangkat pamor AHY, ketua umumnya, sebagai capres atau minimal cawapres. 

PD tidak bisa mengajukan capres atau cawapres sendiri untuk Pilpres 2024, sehingga sampai saat ini masih berjuang untuk berkoalisi dengan parpol lainnya, dengan NasDem dan PKS menjadi sasaran utama. 

Namun, koalisi PDD dengan NasDem dan PKS masih belum menemukan titik terang. Jika koalisi ini tercapai, PD bisa memperjuangkan AHY sebagai cawapres dari capres yang lebih potensial untuk diajukan, semisal Anies Baswedan, yang memang menjadi incaran NasDem dan PKS.

Entah bagaimana SBY sampai memikirkan adanya indikasi tidak adanya 'capres-cawapres' dari koalisi yang akan dibangun dengan NasDem dan PKS. Dalam hemat penulis, yang bisa menjadi indikator mungkin saja terkait 'masa depan' Anies Baswedan, dalam hubungannya dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh KPK mengenai kasus dugaan korupsi pada penyelenggaraan balap mobil listrik Formula E 2022. 

Kita tahu, Anies sudah memberikan klarifikasinya pada 7 September lalu. Belakangan Anies juga sudah menyatakan kesiapannya untuk menjadi capres jika ada partai yang mencalokannya. Namun, dinamika politik memang sulit diterka.

Di sisi lain, terkait dengan perbandingan pembangunan infrastruktur dari masa pemerintahan SBY dan Jokowi, bisa kita uraikan data yang dimiliki politisi Partai Golkar, Ridwan Bae. 

Dikutip dari pemberitaan banyak media, Ridwan Bae berkesimpulan jika pembangunan infrastruktur pada era pemerintahan Jokowi sudah berjalan 'on the track'.  Ditegaskannya, pencapaiannya bahkan melampaui pembangunan infrastruktur pemerintahan Indonesia lainnya, selama ini.

Ridwan Bae, wakil ketua Komisi V DPR yang menggawangi penyusunan Undang-Undang, pengawasan dan APBN ini menyebut jika rakyat juga lebih senang dan sejahtera di era Jokowi, bukan sebelumnya.

Anggota DPR dua periode dari Dapil Sultra itu menjabarkan capaian pembangunan di era SBY dan Jokowi. Dalam 10 tahun pemerintahan SBY melalui Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 1 dan 2, yakni sepanjang 2004-2014, tercatat adanya 189,2 km panjang jalan tol selesai konstruksi. Kemudian sebanyak 18 bendungan mulai konstruksi dan selesai pada pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dari 2004 hingga 2014, sebanyak 24 bandar udara (bandara) selesai kontruksi.

Dari data Ridwan Bae, sejak 2014 hingga September 2022 melalui dua kabinet pemerintahan Jokowi, telah selesai konstruksi sepanjang 1.762,3 km jalan tol. Bendungan, 30 selesai konstruksi. 

Lalu, 29 bandar udara. Bahkan terdapat pembangunan sepanjang 316.590 km jalan desa yang juga selesai konstruksi. Di samping itu, Jokowi masih menargetkan untuk menyelesaikan pembangunan 750 km jalan tol pada dua terakhir pemerintahannya, yakni 2023 dan 2024. 

Target yang direncanakan oleh Jokowi ini kurang lebih 2 tahun, jauh lebih panjang ketimbang capaian jalan tol yang dibangun semasa kepemimpinan SBY selama 10 tahun,  yakni hanya 189.2 km.

Keberhasilan dan pemerataan pembangunan infrastruktur ini disebut Ridwan Bae memengaruhi dan mendukung proses percepatan pemulihan perekonomian nasional dari terjangan pandemi Covid-19. Ridwan Bae menjelaskan jika Proyek Strategis Nasional Infrastruktur berada di bawah kewenangan Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, ketua umum Partai Golkar.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun