politik nasional sepanjang pekan lalu. Tensi politik menghangat dari dua peristiwa penting yang terjadi di Jayapura, Papua, dan Jakarta Convention Centre (JCC), Senayan.Â
KITA mencatat adanya peningkatan eskalasiDi awal pekan, sejatinya Selasa (13/9/2022), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Papua Lukas Enembe sebagai tersangka korupsi. Selang dua hari kemudian, Agus Harimurti Yudhoyono dan ayahnya, Susilo Bambang Yudhoyono, secara bergantian melakukan serangan balik terkait stagnasasi dari pemerintahan Joko Widodo dan indikasi kecurangan terhadap mereka pada Pilpres 2024.
Penulis sengaja memakai frasa serangan balik untuk melukiskan kegeraman sekaligus kemarahan dua petinggi Partai Demokrat (PD) yang disampaikan secara bergantian pada acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Demokrat di JCC, Kamis dan Jumat (15-16/9) pekan lalu.
Frasa serangan balik mungkin tidak terasa berlebihan mengingat Lukas Enembe, yang sudah dua periode memimpin Papua, adalah salah satu kader terbaik PD di wilayah Timur. Lukas Enembe, mantan Bupati Puncak Jaya dan Gubernur Papua 2013-2018 serta 2018-2023, disebut-sebut sudah menjadi incaran KPK. Lembaga antirasuah menetapkan status tersangka kepada 'orang kuat Papua' tersebut setelah memiliki alat bukti yang cukup.
Dari pemberitaan media diketahui betapa petinggi PD melakukan berbagai reaksi pembelaan untuk kadernya itu. Di antaranya dengan  mengingatkan bahwa selama memimpin Papua Lukas Enembe sukses membawa provinsi ini mendapat predikat Wajar Tanpa Pengeculiaan (WTP) sebanyak 7 kali berturut-turut.
Pembelaan para petinggi PD ini menuai reaksi dari berbagai pihak, salah satunya dari Andre Vincent Wenas. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Persepektif (LKSP) yang juga fugsionaris Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini menyebut, tidak ada hubungannya dari penetapan Lukas Enembe sebagai tersangka korupsi dengan 'prestasi' pencapaian 7 kali WTP berturut-turut.
Andre Vincent Wenas mengingatkan bahwa WTP merupakan opini yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan, dalam kasus ini laporan pemprov Papua.Â
Dia menyebut ada 4 kriteria pemberian WTP, yakni kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern.
Seperti dikutip dari media, kata Andre Vincent Wenas, pemberian opini WTP karena laporan keuangannya dianggap memberi informasi yang bebas dari salah saji material.Â
Artinya, sajian yang material saja. Dalam kasus ini, auditor meyakini berdasarkan bukti-bukti audit yang dikumpulkan, organisasi itu dianggap telah mengikuti prinsip akuntansi yang berlaku umum. Demikian.
Oleh karena itu, pemberian opini WTP tidak ada urusannya dengan praktek korupsi. Kata Andre Vincent Wenas, hal itu bisa saja dilakukan mengingat catatan yang disajikan secara material bisa dipermak sedemikian rupa.