Rumah-rumah disepanjang jalan menuju perbatasan Bulak Panjang itu pun masing-masing tertutup rapat. Penghuninya hanya mengintip dari celah bilik rumahnya dengan hati berdebar-debar.
Di barisan paling depan Ki Demang, Ki Jagabaya, Ki Bekel serta Danuarta berkuda perlahan. Sementara itu sebagai pengapit adalah Mantingan, Ludra, juga Ki Baruna.
Rombongan Ki Demang sampai di Bulak Panjang terlebih dahulu, ketimbang gerombolan perampok itu. Danuarta langsung memerintahkan Mantingan untuk memasang obor berpencarandi bulak yang biasanya gelap dan sepi itu. Setelah itu, harta tebusan yang berupa 10 ekor lembu itu diikat ditengah-tengah bulak itu.
Kini Bulak Panjang terlihat terang benderang dengan obor, ditambah lagi dengan temaram cahaya bulan purnama yang merangkak naik. Ki Demang dan seluruh yang hadir itu berdebar-debar menunggu kedatangan gerombolan perampok itu.
Danuarta yang duduk diatas kuda dan bersebelahan dengan Mantingan yang selalu disisinya berkata. "Mantingan! Aku tidak melihat Kuntara, kemana orang itu? Padahal, ia yang inginsekali mbok ayu Gendis terbebas dari perampok itu!"
Dengan mencibir Mantingan menjawab. "Sudah aku katakana sebelumnya, pengecut itu tidak akan datang. Mungkin dia sudah tidak berminat kepada kakak sepupumu itu, dan kini diamengalihkan perhatiannya pada Ratih."
"Jaga bicaramu Mantingan! Mbok ayu Gendis bukan barang mainan, jadi tidak pantas kau bicara seperti itu!" kata Danuarta yang tersinggung dengan kata-kata Mantingan.
Mantingan hanya tertunduk dalam, lalu berkata. "Maafkan aku Danuarta. Aku tak bermaksud seperti itu."
Danuarta hanya menarik napas dalam-dalam meredam amarahnya.
"Danuarta," kata Mantingan lagi. "Setelah semua ini selesai, aku akan membuat perhitungan dengan Kuntara. Aku sudah lama memendam perasaan kepada Ratih, tetapi kini diamerebutnya dariku."
Danuarta agak tergelitik mendengar perkataan itu. "Apakah kau sudah mengatakan perasaan hatimu pada Ratih?"