Mohon tunggu...
tauvikel
tauvikel Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Sedang belajar menulis, aktifitas sehari hari bekerja di kantor swasta, kegemaran membuat doodle, coret coretan, gambar tidak bermakna

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Apa Aku Salah Menonton Sinetron?

17 Maret 2016   12:44 Diperbarui: 17 Maret 2016   12:51 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gambar jelekku yang menghiasi puisi tak kalah jelek milikku telah menyeretku pada pertarungan antara anak muda kota dan desa, motor ‘laki’ bagus dan motor-motor buntut tanpa STNK (salah satunya dimodifikasi jadi becak, masih ada sisa sayur dagangan tertinggal, selendang dan bau emak-emak pasar di jok depan), helm-helm mahal lawan penutup kepala yang kebanyakan topi dipakai terbalik, sangat mencolok di mataku topi berbordir gambar macan melompat, bertuliskan ‘UMPA’, bajakan dari salah satu branded tenar. 

Pertarungan ini adalah perang antara emosi teman-teman di mana mereka akan membelaku melawan fitnah menjijikan setajam silet yang telah mengiris luka di hati, pikiran dan lenganku. Pasukan ini pasukan pemuda-pemuda kampung. Mereka adalah para pemain orkes melayu yang kehilangan salah satu biduan terbaiknya. Mungkin hanya aku yang tidak tampak ndangdut di pasukan dadakan ini. Aku juga anak kampung tapi aku telah bersentuhan dengan kota, cukup tiga tahun saja untuk merubahku terlihat sedikit kota. 

Aku saat ini adalah ‘LGBT’. Singkatan yang dibuat temanku dari ‘Lelaki Gondrong Bermotor Trail.’ Dan aku sedang marah. Teman-temanku para pemain orkes melayuitu  kini sadar aku memang tidak bersalah. Aku adalah korban. Mereka pun membelaku.

Di batas kota kami akan bertemu musuh, kami bersepuluh mereka entah berberapa, aku harap tidak puluhan, aku harap musuhku hanya berdua atau bertiga saja biar bisa kami keroyok dan aku menang.

Sampai di batas kota.

Musuhku dan komplotannya sudah disana. Mereka keren, para lelaki motor jalanan kota dengan setelan hitam-hitam seperti dalam sinetron, jaket kulit, kaos dan celana kulit. Tidak. Kaosnya tidak terbuat dari bahan kulit, aku yang salah lihat. Mereka sudah menunggu, berdiri dengan pose-pose sangar. Samar aku melihat salah satu di antara mereka sempat mengambil foto ‘selfie’. Batinku mengancam. ‘Silahkan upload foto ‘selfie’ terbaikmu sebelum aku mematahkan batang hidungmu.’

Aku meraung keras, temanku Boli mendengus sangar lalu bersenandung lagu gambus kasidah kesukaan emaknya, ‘suasana di kota…sant...et.’ Ya, dia mengganti dua huruf konsonan dan vokal pada lirik itu yang menggubah lirik lagu penuh damai menjadi jahat. Aku di barisan paling depan. Memandang mengancam. Aku menjadi jahat karena salah satu di antara mereka. 

Matipun aku puas asal kalau jadi hantu, hantuku lebih tampan dari wujud manusiaku sebelum mati, tidak menakutkan malahan membuat wanita jatuh cinta seperti cerita drakula tampan dalam film.  Aku kembali berteriak keras, sayangnya ada serangga malam terbang tak terlihat dan masuk ke dalam mulut. Teriakanku jadi tertahan. Pahit dan gatal dalam tenggorokan membuatku semakin marah. Teman-temanku ikut-ikutan berteriak mengancam dengan segala sumpah serapah kasar.

Boli memberi tanda untuk berhenti. Jarak sepuluh meter dari komplotan musuh. Rem-rem motor berdecit menghentikan laju motor. Boli turun dari motor, membuka jok dan mengeluarkan celurit dari dalam jok motor bebeknya. Dia mengangkat celurit memberi tanda pada kami untuk siap perang. Suasana hening sejenak. Sebelum tiba-tiba saja ring tone lagu dangdut PMR ‘Pada Malam Jumat Kliwon’ milik seorang temanku berbunyi.

“Heh…di-silence  dulu. Mau perang. Ndeso!” maki Boli.

Saat itulah dia muncul.

Dia penyanyi utama orkes melayu ‘Butuh Order’pimpinan Boli. Dia muncul dengan anggun entah dari mana. Melenggang ke tengah jalan di bawah gapura Batas kota, batas kota Solo dan desa dimana Ciu khas Solo berasal. Dia ada di antara kami, Dia membuka kerudung selendang hitam. Wajahnya sendu disela rambut panjangnya. Paras cantiknya tertunduk di bawah temaram lampu jalan. Dia gadis cantik yang menjadi pintuku berubah hati dan pikiran sebagai petarung kejam saat ini. Dia seperti bidadari malam yang baru saja selesai mandi kembang tujuh rupa pada jam 12 malam setelah dia berdosa padaku.

Peduli setan…, aku sudah ingin perang.

***

Gambarku inilah yang menjadi awal cerita pedihku yang sial, terjebak, difitnah dan diteror sampai keluargaku di kampung ikut kena getahnya.

[caption caption="Apa aku salah menontin sinetron ?"]Aku membuat gambar itu sekitar empat tahun lalu. Tulisan di bawahnya ‘Apa aku salah menonton sinetron?’ telah memancingku untuk menulis puisi. Mendadak saja seperti perut mulas ingin buang air besar, meskipun aku berusaha sekuat mungkin untuk menahannya tetap saja aku tidak kuat, merontalah isi dalam perut. 

Semisal aku Superhero pun aku tak akan kuat menahannya, terkecuali kekuatan superku adalah mengubah kotoran dalam tubuh menjadi senyum manis menawan yang memukau mata semua insan, saat terasa ingin ‘ke belakang’ maka aku akan tersenyum, ‘smile…cling!’ dan beres sudah, perutku lega dan dunia berhenti sejenak terpukau oleh senyuman superku. 

Namun demikian aku pikir tetap saja aneh rasanya bila Superhero tak pernah buang air besar meskipun aku tidak pernah melihat adegan Superhero buang air besar dalam film atau dalam komik. Aku tetap tidak bisa menahan dorongan itu. Aku pun  menuruti dorongan untuk menulis puisi dari gambarku itu.

Tulisan ‘Apa aku salah menonton sinetron ?’ di bagian bawah gambar itu adalah pertanyaan besar yang terbersit dari kesukaanku melihat sinetron semasa aku mengganggur. Melihat sinetron yang tokoh-tokohnya tampan-tampan, cantik-cantik , kaya-kaya  dan sepertinya bau mereka sangat wangi, baju-baju mereka selalu tersetrika rapi, baik penjahat atau pemulung sekalipun, kisahnya yang penuh kebetulan serta keajaiban sampai tokoh-tokohnya pun sering kaget dan berteriak ‘Apa ?!’ dengan ekspresi wajah yang menggemaskan, serinya yang panjang, diputar setiap hari sampai ratusan episode.

Jadi, apa aku salah menontron sinetron ?

Di kampungku, Nenekku, ibuku, temanku, tetanggaku dan pacarku juga suka menonton sinetron. Ah. Pacarku waktu itu sebelum kami putus karena aku tidak punya motor bahkan tidak bisa naik motor untuk diajak menonton kirab pusaka malam satu Suro Keraton Kasunanan Surakarta, kira-kira jauhnya dua jam perjalanan naik motor dari kampungku.

 Mantanku itu akhirnya pergi dengan lelaki bermotor yang menjadi pacarnya di kemudian hari. Aku merelakan saja. Biarkan. Lebih baik dia bersama lelaki bermotor yang bisa mengajaknya putar-putar kemanapun dia mau. Aku sadari aku hanya bisa mengajaknya kencan nonton sinetron bareng waktu itu, itupun bersama keluargaku, kadang juga bersama keluarga tetangga di kampung yang belum punya televisi. Pacaran macam apa itu ?. Biarlah dia pergi. Sinetron jauh lebih baik daripada mantan pacarku itu. Selain sinetron telah menghiburku, membuatku bersedih, penasaran, sinetron juga telah mengilhamiku membuat gambar dan puisi pertamaku.

 

Puisiku

 

APA AKU SALAH MENONTON SINETRON ?

 

Apa aku salah menonton sinetron ?

Apa ibuku salah menonton sinetron ?

Apa tanteku salah menonton sinetron ?

Apa nenekku salah menonton sinetron ?

               

Tujuh ratus episode tayang setiap waktu

Akan kutunggu selalu tokoh pujaanku

Cantik kaya dan wangi, tampan bersih rapi

Si kecil baik hati, Upik Abu yang punya peri

 

Apa aku salah menonton sinetron ?

Apa temanku salah menonton sinetron ?

Apa tetanggaku salah menonton sinetron ?

Apa kekasihku salah menonton sinetron ?

 

Ku rekam di format CD, kukoleksi semua seri

Akan kutata rapi berjajar meninggi

Tujuh tahun lagi koleksi sinetron jadi candi

 

Apa aku salah menonton sinetron ?

 

Puisi itu hanya menjadi tulisan di atas kertas, tak pernah ada yang membacanya, tertulis saja di buku gambarku. Lega saja aku sudah menuliskannya waktu itu selega setelah keluar dari toilet.

 

Aku tetap menonton sinetron, terkadang juga ‘Sinema Hidayah’ di televisi yang susunan kata pada judul-judulnya juga pernah memancingku untuk membuat gambar berjudul ‘SAAT MENINGGAL DARI MULUT KELUAR VCD PORNO’. Itu hanya rencana saja. Aku tidak tega menggambarnya. Kejam sekali kalau ada orang yang suka menonton vcd porno harus meninggal dengan keajaiban buruk seperti itu. Sebenarnya aku tidak jadi menggambar judul itu karena sewaktu aku masih kuliah di kota Solo, aku pernah mencuri vcd porno di kos salah satu temanku. Aku membawanya ke kampungku. Aku kadang menontonnya di rumah temanku di kampung. 

Orang tua temanku itu merantau ke Jakarta dan hanya temanku yang tinggal di rumah itu. Di rumah itulah vcd film porno itu dieksploitasi habis-habisan. Maklum saja, di kampung susah mendapat vcd seperti itu. Vcd porno  itu kasihan, diputar terus-terusan, digilir pemuda-pemuda kampung sampai akhirnya penuh goresan dan tidak bisa lagi diputar lalu dikubur di kebun singkong di belakang rumah temanku.

Satu lagi keinginan menggambarku yang terinspirasi dari televisi adalah keinginan membuat gambar sewaktu film Indonesia bertemakan ‘horor-seksi’ bertebaran di bioskop. Aku ingin memadukan cerita film horor bioskop dan ‘sinema hidayah’ menjadi sebuah tema gambar berjudul ‘KETIKA POCONG BERTASBIH’. Aku pun menggambarnya tapi karena kemampuan menggambarku tidak bagus, pocongnya saat digambar malah terlihat mirip sosis. Aku bakar gambarku itu. Aku takut ada pocong sejati  yang tidak terima digambar lucu lalu muncul menghantuiku sepanjang waktu. 

Menghantuiku dalam sebentuk sosis hangat di suatu malam dan ketika aku akan menyantapnya tiba-tiba berubah menjadi pocong mini seukuran sosis, berpakaian kafan, berwarna putih kusam, berbau tanah dan ada wajah kecil membusuk di ujungnya dengan iakatan di atas kepala kecilnya. ‘Hih ngeri.’

Puisiku baru terbaca oleh orang lain ketika Boli, temanku semasa aku masih kuliah iseng membuka-buka buku gambarku itu. Boli menjadi orang pertama yang membaca puisi ‘Apa aku salah menonton sinetron ?’ yang kutulis dan dia salah menyangka bahwa itu adalah tulisan lirik lagu.

“Aku pikir kamu sedang kasmaran sama seseorang, aku baca saja, ternyata lirik lagu.” Ujar Boli.

“Itu puisi Bol.”

“Kok tidak seperti puisi, bahasamu tidak mempuni, tidak menggetarkan, kalau lirik lagu malah bisa ini. Lirik lagu gaya bahasanya tidak harus seperti puisi, paduan vokal penyanyi dan musiknya yang membantu menggetarkan.’

“Handphone yang vibratornya 6 skala Richter lebih menggetarkan Bol.”

“Mampus lah yang punya handphone itu. Bayangkan waktu di dalam kantong celanamu handphone itu bergetar. Blar !. Nyeri… paha di sini ‘burung’ melesat entah kemana. Ngawurmu, ini omongan seni antara puisi dan lirik lagu. Itu masih ‘masuk’ kalau jadi lirik lagu”

“Itu puisi bukan lirik lagu.”

Aku tetap menyangkal dan bersikukuh itu puisi dan Boli tetap menganggap itu lirik lagu. Aku mengalah. Malahan pada suatu waktu ketika aku menganggur aku termakan pendapat Boli kalau puisi yang aku tulis itu lebih pantas untuk lirik lagu. Aku sendiri akhirnya terinspirasi membuatnya menjadi lagu. Tanpa sepengetahuan Boli aku mewujudkannya menjadi lagu karanganku sendiri. Oleh karena aku tidak bisa bermusik, aku pun pergi ke studio musik yang mau membuatkan aransemen musik sekaligus merekamnya. Aku menemukan studio rekaman yang mau membuatkan aransemen musik dan merekam dengan komputer. Tentu saja tidak gratis. 

Aku meminjam uang salah satu pamanku yang merantau ke kota lain. Alasanku waktu itu untuk membayar uang semester kuliah padahal waktu itu aku sudah murni putus kuliah karena tidak ada biaya. Aku membohongi pamanku. Setelah mengiba dan mengarang cerita bohong sedemikian rupa, pamanku akhirnya mau memberiku uang lumayan. Memberi bukan meminjami. Aku ke studio itu untuk merekam lagu bikinanku. Aku memaksakan diri sebagai penyanyinya. Waktu itu aku berfikir penyanyi buruk kalau nekat dan saking jeleknya mungkin bisa saja jadi terkenal di Youtube. Lagunya berjudul sama ‘Apa aku salah menonton sinetron?’. Aku ingin lagu itu jadi lagu balada, seperti lagu-lagu retro 70-an.

 Musik yang dibuat orang studio itu lumayan bagus, bisa seperti lagu 70-an tapi rekaman suaraku benar-benar jelek meskipun sudah diefek di komputer tetap saja jelek. Suaraku seperti orang miskin tujuh turunan yang kurang makan, fals, serak, parau dan meratap. Apapun hasilnya aku senang-senang saja laguku jadi dan aku jadi penyanyi dadakan. Aku sengaja tidak meberitahu teman atau kenalanku sama sekali tentang lagu dari puisiku itu. Aku pikir,

‘Siapa tahu aku bisa terkenal dengan lagu itu di Youtube lalu diundang rekaman seorang produser.’

 Aku mengunggahnya ke Youtube dengan nama samaran dan video klip asal-asalan yang juga samaran. Dan hasilnya…NOL besar. Tidak ada yang menonton video laguku sama sekali. Tidak ada keajaiban yang muncul seperti dalam sinetron. Tidak ada kebetulan yang mengasyikan. Lagu dari puisiku ‘Apa aku salah menonton sinetron ?’ itu masih bisa dicari di Youtube tapi aku sudah melupakannya.

***

Sekitar tiga setengah tahun kemudian setelah puisiku ‘Apa aku salah menonton sinetron ?’  tertulis dan tidak digubris orang sewaktu aku menggunggahnya dalam bentuk video klip lagu di Youtube.

Sekitar tiga bulan sebelum beberapa menit lagi aku akan bertarung habis-habisan di batas kota ini untuk membalas jebakan, fitnah dan teror yang menyiksaku.

 

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun