Optimalisasi Tugas Komisi YudisialÂ
Menjaga dan Menegakan Kehormatan Hakim
Oleh Taufiqurrohman Syahuri
(Associate Prof. FH UPN Veteran Jakarta)
Pendahuluan
Momen reformasi 1998 pada akhirnya melahirkan perubahan konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya di tulis UUD 1945) yang dilakukan melalui empat tahapan perubahan. Pada tahapan perubahan ketiga masuk pada bab Kekuasaan Kehakiman, dengan memunculkan lembaga negara baru yaitu Komisi Yudisial yang diatur dalam Pasal 24B UUD 1945 dan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24 C UUD 1945.Â
Komisi Yudisial dalam perubahan UUD 1945 memiliki kedudukan sebagai lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 yang sejajar dengan lembaga negara lain seperti Mahkamah Agung Agung, Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Badan Pemeriksaan Kekuangan. Komisi Yudisial ditempatkan dalam bab kekuasaan kehakiman karena Konisi Yudisial sejatinya memegang juga kekuasaan kehakima (yudisial) yaitu peradilan dibidang etik, court of ethic, bukan peradilan di bidang hukum seperti yang dilakukukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Jadi baik Mahkamh Agung, Mahkamah Konstitusi maupun Komisi Yudisial sama sama menjalankan kekuasaan kehakiman (yudisial).
Dalam UUD 1945 Komisi Yudisial diberi kewenangan mengusulkan calon hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Termasuk dalam kewenangan ini adalah rekrutmen hakim adhock di Mahkamah Agung.Â
Selain itu Komisi Yudisial juga diberikan kewenangan lain yakni menjaga dan menegakan kehormatan keluruhan martabat serta perilaku hakim. Kewenangan lain tersebut mengandung dua makna (a) menjaga kehormatan keluhuran martabat dan perilaku hakim; dan (b) menegakan kehormatan keluhuran martabat dan perilaku hakim. Untuk mengtahuai lebih jauh mengeni kewenangan Komisi Yudisia tersbut akan diuirakan dalam uraian dibawah ini.
Kewenagan Komisi Yudisial
Pada bagian ini akan dikaji secara berurutan kewenagnan Komisi Yudisia, yaitu kewenangan rekrutmen hakim agung, kewenagnan menjaga dan kewenangan menegakan kehormatan keluhuran martabat serta perulaku hakim
Â
a. Rekrutmen Hakim Agung
Sebagaimana disebut kewenangan Komisi Yudisial yang utama adalah rekrutmen calon hakim agung, termasuk hakim adhock di Mahkamah Agung. Kewenangan rekrutmen hakim agung dan hakim adhock tersebut dilakukan bersama dengan lembaga lain Dewan Perwakilan Rakyat. calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial untuk diminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam prkateknya terjadi dinamika.Â
Pada awalnmya sesuai Undang-Undang No 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (selanjutnya ditulis UU KY 2004) calon hakim agung yang diusulkan oleh KY berjumlah 3 orang untku satu lowongan hakim agung, namun belakangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, usulan calon hakim agung oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat hanya berjumlah satu calon hakim agung untuk satu lowongan hakim agung. Komposisi jumlah ini jelas sangat sulit bagi Dewan untuk bisa memenuhi lowongan hakim agung secara penuh. Seringkali pihak Dewan hanya menyetujui sebagian dua pertiga atau seporo dari jumlah lowongan hakim agung yang dibutuhkan, bahkan pernah pihak Dewan sama sekali tidak menyetuji semua calon hakim yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.Â
Menghadapi kondisi nyata ini sebaikanya ke depan Pihak Dewan diberi kesempatan untuk menyetujui calon hakim agung dari beberapa calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial, setidaknya dua dibanding satu. Mungkin ini akan sulit dilakukan mengingat bunyi putusan Mahkamah Konstitusu cukup rinci, yakni, Komisi Yudisial mengusulkan satu calon dari satu lowongan hakim agung. Dalam mekanisme rekrutmen hakim agung tersebut sama sekali tidak ada peran Presiden, karena Presiden hanya diberi kewenangan mengkangkat hakim agung yang sudah final disetujui Dewan Perwakilan Rakyat.
b. Kewenangan Menjaga
Kewenangan menjaga ini mengandung makma positif yaitu menjaga kehormatan hakim, menjada perilaku hakim, menjaga keluhuran keluhuran dan martabat hakim.
Sebagai manusia hakim tetu tidak lepas dari godaan duniawi, persoalannya sejauh mana hakim dapat mampu menjaga dirinya dari godaan baik eksternal maupun internal. Godaan eksternal sudah pasti akan datang mengingat hakim adalah pemutus suatu sengketa hukum. Akibat hukum atas putusan hakim akan mempengaruhi nasib pihak yang berperkara.Â
Seorang yang sangat terhormat dimata publik dan sangat diidolakan oleh penggemarnya tiba-tiba jatuh hina akibat putusan hakim yang memutus bahwa ia terbukti melakukan perbuatan kejahatan. Demikian juga akibat putusan hakim seorang yang punya aset besar tiba-tiba jatuh miskin karena asetnya harus berpindah ke tangan pihak lawan. Sementara itu godaan internal akan datang dari diri hakim sendiri, bisa saja karena ia lalai atau khilaf sehingga melakukan perbuatan yang sangat tidak patut atau tercela.
Dalam mengatasi godaan tersebut, Komisi Yudisial sangat berkepentingan untuk membantu hakim agar dapat menghidari perbuatan tercela tersebut. Langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan oleh Komisi Yudisal dalam menjaga hakim tersebut yang utama sejatinya harus dimulai dari mencari bibit-bibit hakim. Ibarat petani padi agar ia dapat mendapatkan padi yang unggul maka ia harus mencari bibit padi yang baik yang tahan virus dan sebaginya.Â
Jika Komisi Yudisial sudah mendapatkan bibit hakim yang unggul maka langkah selanjutnya adalah melatih dan membinanya dengan bergabagi kegiatan seperti pendidikani pelatihan, pengiriman hakim untuk studi banding dalam rangka pengembangan pengetahaunnya. Selain pendidikan untuk meningkatkan kualiatas keilmuannya penting juga diadakan pendidikan moral untuk meningkatkan kualitas integritasnya. Sebab hakim bukan saja harus pandai dan berpengetahuan hukum yang luas juga harus memiliki kepribadian yang tidak tercela. Dalam kaitanya dengan ilmu dan moral terdapat tiga tipe hakim.Â
Pertama yang memiliki ilmu cukup namu memutus perkara tidak dengan ilmunya itu. Kedua Hakim yang kurang berilmu (bodoh) namun berani memutus perkara dengan kebodohannya itu. Ketiga hakim yang memiliki ilmu dan memutus perkara dengan ilmunya itu. Yang terkahir ini yang benar, yang perlu diupayakan terus oleh Komisi Yudisial. Sayangnya peran Komisi Yudisial dalam rekrutmen bibit hakim dari awal sudah dipangkas oleh Mahkamah Konstitusi. Jadi sekarang ini Komisi Yudisial hanya bisa menunggu bibit hakim yang disodorkan oleh Lembaga lain.
 c. Kewenangan Menegakan
Kewenangan menegakan ini bisa diartikan sebagai upaya represif, ibarat aparat hukum yang menegakan hukum. Jadi dalam hal ini Komisi Yudisial dapat memberikan sanksi atas pelanggaran etika yang sudah dibukukan dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KE-PPH). Yang menarik dengan kewenangan Komisi Yudisial adalah ia sebagai penyelidik dan penyidik, penuntut etik, memeriksa, mengadili serta memutus memutus.Â
Peran demikian bukan hanya dilakukan oleh Komisi Yudisial malainkan juga oleh penegak etik lain seperti di DKPP dan Bawaslu. Peran penegakan ini kedepan perlu lebih diberdayakan dan dikembalikan kepada aturan yang ditentuan dalam UU KY Perubahan Nomor 18 tahun 2011. Masih ada beberap hal yang belum dilakukan oleh Komisi Yudisial antara lain: mendahulukan pemeriksaan etik daripada pemeriksaan hukum.Â
Beberapa oknum hakim yang tertangkan tangan (OTT) oleh KPK dibiarkan saja oleh Komisi Yudisial, padahal mereka (para okmun hakim) itu sudah pasti melanggar kode etik. Jika pengusutan dan sidang etik dilakukan, maka mereka akan cepat diberhentikan dengan tetap tanpa perlu menunggu putusan hukum yang inkrah. Sebagai contoh oknun hakim MK yang kena OTT KPK langsung disidang etik dan diputus diberhentikan. Ke depan Komisi Yudisial harus melakukan seperti yang dilakukan Dewan Etik MK.Â
Dalam konteks ini KPK atau aparat hukum dapat dijadikan atau berperan sebagai saksi adanya pelanggaran Etik, bukan sebagai saksi hukum. Sebagai saksi sesuai UU KY maka merka wajib memenuhi undangan. Komisi Yudisial dan lembaga penagak hukum harus berfikir bahwa pelanggaran etik itu ranah Komosi Yudisial yang terpisah dengan pelanggaran hukum yang bukan ranah Komisi Yudisia. Jadi jika pengusutan jalankan bersamaan itu tidak sah sah saja.
Peroslan lain dalam kewenangan menjaga etik ini adalah soal dobel sidang etik selain dilakukan Komisi Yudisial dilakukan pula oleh Bawas Mahkamah Agung sehingga dalam satu perkara yang sama terjadi dua vonis sanksi. Ini sangat melanggar asas nebis in idem. Seharusnya sesuai UUD 1945 yang berwenang menegakan etik hanya Komisi Yudisial. Dalam hal ini seharusnya Bawas hanya sebatas pada pengawasan dan usulan (tuntutan) sanksi dan biarlah Komisi Yudisial yang memutus sanksi.Â
Selanjutnya untuk melaksanakan sanksi tersebut Mahkamah Agung yang mengeksekusinya. Sanksi yang diputus Komisi Yudisial jika tidak terjadi perbedaan pendapat dengan Bawas maka otomatis demi hukum berlaku mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Namun jika ada perbedaan pendapat dengan Bawas, wajib dilakukan pemeriksnaan bersama, dan jika tetap terjadi perbedaan pendapat dalam pemeriksaan bersama itu  maka putusan Komisi Yudisial yang berlaku. Ini belum pernah dilaksanakan.
Penutup.
Berdasarkan pemikiran diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sejatinya kedudukan komisi Yudisial berdasarkan UU KY Perubahan Tahun 2011 sudah cukup memadai, perosalannya terleak pada pelaksana UU KY sendiri yang kurang mampu menjalankannya sehingga ke depan diperlukan suatu upaya terobosan startegi dan inovasi terutama dengan pendekatan gabungan yakni pendekatan yuridis plus sosiologis (silaturahim untuk kesepemahaman) ke lembaga penegak hukum terkait.
** Tulisan ini merupakan pengembangan hasil ujian tulis makalah di tempat pada seleksi calon anggota KY 2020-2025
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H