c. Kewenangan Menegakan
Kewenangan menegakan ini bisa diartikan sebagai upaya represif, ibarat aparat hukum yang menegakan hukum. Jadi dalam hal ini Komisi Yudisial dapat memberikan sanksi atas pelanggaran etika yang sudah dibukukan dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KE-PPH). Yang menarik dengan kewenangan Komisi Yudisial adalah ia sebagai penyelidik dan penyidik, penuntut etik, memeriksa, mengadili serta memutus memutus.Â
Peran demikian bukan hanya dilakukan oleh Komisi Yudisial malainkan juga oleh penegak etik lain seperti di DKPP dan Bawaslu. Peran penegakan ini kedepan perlu lebih diberdayakan dan dikembalikan kepada aturan yang ditentuan dalam UU KY Perubahan Nomor 18 tahun 2011. Masih ada beberap hal yang belum dilakukan oleh Komisi Yudisial antara lain: mendahulukan pemeriksaan etik daripada pemeriksaan hukum.Â
Beberapa oknum hakim yang tertangkan tangan (OTT) oleh KPK dibiarkan saja oleh Komisi Yudisial, padahal mereka (para okmun hakim) itu sudah pasti melanggar kode etik. Jika pengusutan dan sidang etik dilakukan, maka mereka akan cepat diberhentikan dengan tetap tanpa perlu menunggu putusan hukum yang inkrah. Sebagai contoh oknun hakim MK yang kena OTT KPK langsung disidang etik dan diputus diberhentikan. Ke depan Komisi Yudisial harus melakukan seperti yang dilakukan Dewan Etik MK.Â
Dalam konteks ini KPK atau aparat hukum dapat dijadikan atau berperan sebagai saksi adanya pelanggaran Etik, bukan sebagai saksi hukum. Sebagai saksi sesuai UU KY maka merka wajib memenuhi undangan. Komisi Yudisial dan lembaga penagak hukum harus berfikir bahwa pelanggaran etik itu ranah Komosi Yudisial yang terpisah dengan pelanggaran hukum yang bukan ranah Komisi Yudisia. Jadi jika pengusutan jalankan bersamaan itu tidak sah sah saja.
Peroslan lain dalam kewenangan menjaga etik ini adalah soal dobel sidang etik selain dilakukan Komisi Yudisial dilakukan pula oleh Bawas Mahkamah Agung sehingga dalam satu perkara yang sama terjadi dua vonis sanksi. Ini sangat melanggar asas nebis in idem. Seharusnya sesuai UUD 1945 yang berwenang menegakan etik hanya Komisi Yudisial. Dalam hal ini seharusnya Bawas hanya sebatas pada pengawasan dan usulan (tuntutan) sanksi dan biarlah Komisi Yudisial yang memutus sanksi.Â
Selanjutnya untuk melaksanakan sanksi tersebut Mahkamah Agung yang mengeksekusinya. Sanksi yang diputus Komisi Yudisial jika tidak terjadi perbedaan pendapat dengan Bawas maka otomatis demi hukum berlaku mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Namun jika ada perbedaan pendapat dengan Bawas, wajib dilakukan pemeriksnaan bersama, dan jika tetap terjadi perbedaan pendapat dalam pemeriksaan bersama itu  maka putusan Komisi Yudisial yang berlaku. Ini belum pernah dilaksanakan.
Penutup.
Berdasarkan pemikiran diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sejatinya kedudukan komisi Yudisial berdasarkan UU KY Perubahan Tahun 2011 sudah cukup memadai, perosalannya terleak pada pelaksana UU KY sendiri yang kurang mampu menjalankannya sehingga ke depan diperlukan suatu upaya terobosan startegi dan inovasi terutama dengan pendekatan gabungan yakni pendekatan yuridis plus sosiologis (silaturahim untuk kesepemahaman) ke lembaga penegak hukum terkait.
** Tulisan ini merupakan pengembangan hasil ujian tulis makalah di tempat pada seleksi calon anggota KY 2020-2025
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H