MENENGOK KEMBALI PENGAHAPUSANÂ
PASAL PIDANA PENGHINAAN TERHADAP PRESIDEN.
Taufiqurrohman Syahuri
Dosen Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta
Pendahuluan
Ketentuan norma hukum penghinaan presiden dan wakil presiden kembali muncul dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Dalam draf RUU KUHP terbaru itu, penghinaan terhadap martabat presiden/wapres dikenai ancaman maksimal 3,5 tahun penjara. Bila penghinaan itu dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik, ancamannya diperberat menjadi 4,5 tahun penjara[1]. Padahal pada tahun 2006 norma hukum penghinaan presiden itu sudah dinyatakan tidak berlaku karena bertentangan dengan UUD 1945 oleh Putusan MK 013-022/PUU-IV/2006. Untuk memahami alasan penghapusan pasal penginaan presiden ini perlu ditengok kembali alasan hukum terutama dari sisi konstitusionalnya yang melatar belakangi penghapusan pasal tersebut.
Untuk melihat sisi konstitusionalitas pasal-pasal KUHP yang dimohonkan Pemohon, perlu terlebih dahulu mengetahui substansi pasal-pasal tersebut, baru kemudian dianalis berdasarkan Pasal-pasal dalam UUD 1945 yang ditunjuk oleh Pemohon. Pengkajian konstitusionalitas terhadap pasal-pasal KUHP tersebut akan dilakukan tidak semata-mata dilihat dari sisi pengertian muatan meteri pasal-perpasal dalam UUD 1945 melainkan juga akan dilihat dari sisi jiwa dan semangat munculnya pasal-pasal UUD 1945 terutama hasil amandemen. Metode demikian cocok dengan pandangan Penjelasan Umum UUD 1945 (Proklamasi), yang menyebutkan:
 "memang untuk menyelidiki hukum dasar (droit constitutionel) suatu negara, tidak cukup hanya menyelediki pasal-pasal Undang-Undang Dasarnya (loi constititionelle) saja, akan tetapi harus menyelidiki juga bagaimana prakteknya dan bagaimana suasana kebatinannya (geistlichen Hintergrund) dari Undang-Undang Dasar itu".
Tanpa menggunakan pendekatan metode ini, maka pengujian konstitusional Pasal 134, 136 bis, 137 KUHP tidak akan ada artinya, sulit untuk dibuktikan sisi konstitusionalitas atas pasal-pasal KUHP terebut, sungguhpun dari sisi sejarah hukum jelas ada perbedaan. Kita akan mengatakan bahwa di beberapa negara, ada juga norma hukum yang melarang penghinaan terhadap presiden atau kepala negara, atau raja, terlepas dari ada pengaduan atau tidak.Â
Lalu apa sisi konstitusionalnya terhadap pasal penghinaan dalam KUHP. Bukankah ditinjau dari sisi prosedur pembentukannya sudah sesuai dengan konstitusi? Agar kita tidak terjebak pada pemahaman demikian, maka kita perlu mengkaji pasal penghinaan aquo dari sisi penerapannya (baca: penafsiran) oleh penguasa. Ini bukan berarti semata-mata soal penerapan pasal aquo, karena hal ini bisa di luar kewenangan Mahkamah.Â
Namun demikian, disadari bahwa rumusan pasal-pasal akan menjadi "tidur" kalau tidak pernah diterapkan dalam praktek. Untuk mengetahui penafsiran sebenarnya dari sebuah pasal, tidak bisa lepas dari sisi penerapannya. Sebagai contoh, Pasal 7 UUD 1945 (lama) yang mengatakan, "presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali".Â
Dari sisi rumusan nampak netral, dan tidak salah apabila ada orang yang memahami presiden cuma diberi kesempatan untuk dipilih satu kali saja, namun juga tidak salah apabila dipahami sebaliknya, yakni presiden dapat dipilih berkali-kali. Yang terakhir ini yang dianut oleh mantan presiden Soeharto. Kemudian atas desakan rakyat, akhirnya melalui amandemen UUD 1945, rumusan Pasal 7 itu direvisi, dipertegas, sehingga tidak lagi dapat ditafsirkan sesuai kepentingan penguasa.
Kondisi yang sama terdapat pula dalam rumusan pasal penghinaan terhadap presdien tersebut. Jika dilihat sekilas tidak ada persoalannya dengan konstitusi, namun jika dilihat dari sisi penerapannya yang banyak menimbulkan korban, akan nampak pertentangannya dengan  semangat demokrasi dan penguatan hak asasi manusia yang dijunjung tinggi oleh konstitusi amandemen. Di sinilah letak persoalannya, sehingga tepat sekali pernyataan yang mengatakan, Mahkamah adalah penjaga konstitusi, demokrasi dan hak asasi. Artinya penafsiran terhadap pasal-pasal dalam konstitusi harus selalu dilihat juga dari aspek demokrasi dan hak asasinya.
Penafsiran Pasal 134, 136, dan 137 KUHP
Pasal 134, 136bis, 137 KUHP perihal penghinaan terhadap presiden yang dimohonkan oleh Pemohon terdapat dalam Buku II tentang Kejahatan pada Bab II mengenai kejahatan-kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden.
 Dilihat dari sisi penempatan Pasal-pasal tersebut, maka hal penghinaan terhadap presiden tergolong dalam perkara kejahatan sebagai delik pidana biasa (bukan delik aduan). Untuk lebih jelasnya apa saja yang termasuk dalam unsur penghinaan terhadap presiden tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
 Pasal 134: "Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus ribu"
 Pasal 136 bis: Pengertian penghinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 134 mencakup juga perumusan perbuatan dalam pasal 135, jika itu dilakukan diluar kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak dimuka umum, baik lisan atau tulisan, namun dihadapan lebih dari empat orang, atau di hadapan orang ketiga, bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung.
 Pasal 137: (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada waktu itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka terhadapnya dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.
 Ketiga Pasal di atas merupakan rumusan redaksi yang tidak ada penjelasannya sehingga terbuka kemungkinan untuk ditafsirkan  sesuai kepentingan penafsir. Jika pihak pemerintah yang menafsirkan pasal tersebut, maka mudah ditebak bahwa pengertian pasal itu akan diarahkan kepada siapa saja yang dipandang menganggu kebijakan pemerintah. Gangguan itu dapat berupa perilaku, pernyataan lisan atau tulisan. Dapat pula terjadi sebuah kritik akan dianggap sebagai penghinaan.
Berdasarkan rumusan pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa kata "penghinaan" merupakan kata kunci yang paling menentukan bahwa suatu perbuatan disebut sebagai suatu kejahatan. Namun sayang kata "penghinaan" itu tidak dijelaskan atau didefinisikan atau disebut batasan-batasannya atau ukuran-ukurannya sehingga suatu perbutaan dapat dianggap sebagai penghinaan.Â
Menurut kamus hukum, kata "penghinaan" atau dalam bahasa belanda disebut "belediging"[2] ialah merusak martabat seseorang termasuk nama baik, kehormatan dan lain sebagainya.Â
Sementara dalam KUHP pada Bab Penginaan Pasal 310 dirumuskan penghinaan adalah menyerang kehormatan atau nama baik[3]. Ahli Boy Mardjono dalam keterangannya di sidang mengakatan, ukuran perbuatan penghinaan didasarkan pada norma masyarakat. Lebih lanjut Boy menjelaskan seharusnya penghinaan presiden ini bersifat pribadi dan masuk dalam kategori pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 310 KUHP.
Dengan longgarnya pengertian penghinaan terhadap presiden itu maka pasal penghinaan ini beresiko multi tafsir (sering disebut "pasal karet"). Suatu norma hukum yang mutli tafsir jelas akan menimbulkan ketidak-pastian hukum. Sebagaimana disebut pada bagian pendahuluan, dalam penerpannya pasal penghinaan ini ternyata telah banyak memakan korban. Â Di bawah ini akan disebut korban-korban atas penerapan pasal penginaan tersebut.
1. Soekarno terkena Pasal 134 dan 137 KUHP. Dalam Indonesia menggugat Ia menyatakan bahwa pasal 134, 137 itu, terkenal kekaretannya. Soekarno, Bapak Bangsa, telah mengisyaratkan itu puluhan tahun lalu[4].
2. Bambang Beathor Suryadi usia 20 tehun kena Pasal 134 KUHPIdana, hanya salahnya karena kami mengkritik tidak membangun, karena pada waktu itu semua ahli yang juga mengkritik ekonomi Presiden Soeharto, kemiskinan, pengangguran tapi disebutkan mereka mengkritik membangun, jadi mereka selamat.
3. Saksi Andrianto adalah korban Pasal 134 KUHP, ditangkap tanggal 14 Desember 1993 dan dijatuhi hukuman selama enam bulan, setelah itu di pengadilan tinggi dinaikkan menjadi delapan bulan.
4. Â Saksi Yeni adalah korban Pasal 134 KUHP, satu perkara dengan saksi Andrianto.
 5. Pada awal Maret 1995, sekretariat organisasi Pijar, diobrak-abrik polisi. Sejumlah disket, komputer dan data diangkut ke Polres Jakarta Pusat. Tri Agus Siswowihardjo (TASS), pemimpin redaksi Kabar dari Pijar, ditangkap. Ia didakwa telah melakukan penghinaan terhadap presiden (134 KUHP). Karena artikelnya berjudul: Adnan Buyung Nasution, "Negeri Ini Dikacaukan Oleh Orang yang Bernama Soeharto," dalam KDP Juni 1994, TASS diancam hukuman maksimum 7 tahun.
 6. Ahmad Taufik Menyebarkan rasa permusuhan Pasal 134, 154 KUHP. Sedang disidangkan Eko Maryadi Menghina Presiden Pasal 19, UU Pokok Pers di PN Jakarta Pusat Danang K. Wardoyo Menyalahgunakan fungsi pers No 21/tahun 1982 (AJI) lewat penerbitan INDEPENDEN maksimum 7 tahun.
 7. Sri Bintang P. Berubah-ubah, dari makar Pasal 104, 134 KUHP
Berkas masih tertahan (Bekas DPR) sampai menghina presiden ancaman hukuman belum jelas di Kejaksaan. lewat ceramahnya di Berlin Sri Bintang balik menggugat Kejaksaan Agung dan Presiden
 8. George Aditjondro Menghina Presiden, lewat 134 KUHP
Berkas di Kejaksaan, (Dosen Satyawacana) leluconnya tentang "4H" maksimum 6 tahun, tetapi Goerge tak bisa diadili karena sedang di Perth, Australia.
 9. Soebadio Sastrosatomo, Umur 79 tahun, lahir di Pangkalan Brandan Sumatera Utara tanggal 26 Mei 1918, Kewarganegaraan Indonesia, Agama Islam pekerjaan pensiunan anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan mantan anggota DPR
RI periode 1950 s.d. 1960. Alamat Jalan Guntur No. 49 Rt. 013/05 Kel. Pasar Manggis Setia Budi Jakarta Selatan, diperikasa sebagai Tersangka dalam Perkara: Mencetak buku yang berisikan Menghina/Mendiskreditkan Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 134 KUHP dan pasal 137 KUHP jo 55 KUHP berdasarkan laporan Polisi No. Pol : Lp/67/K/III/1997/Satga, tanggal 19 Maret 1997.
 10. Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka Karim Paputungan divonis lima bulan penjara dengan masa percobaan 10 bulan karena penghinaan terhadap presiden (Pasal 134),
 11. Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Supratman (33) dituntut pidana satu tahun penjara. Wartawan itu dituduh melakukan tindak pidana penghinaan (Pasal 134) dengan sengaja terhadap Presiden Megawati Soekarnoputri. Supratman bertanggung jawab atas judul dan isi berita yang dimuat harian Rakyat Merdeka. Berita yang dimuat Rakyat Merdeka itu berturut-turut adalah "Mulut Mega Bau Solar" (6/1/2003), "Mega Lintah Darat" (8/1), "Mega Lebih Ganas dari Sumanto" (30/1), dan "Mega Cuma Sekelas Bupati" (4/2).
Berdasarkan contoh kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa pasal penghinaan presiden itu mengandung resiko tinggi (berpotensi) untuk disalah gunakan oleh alat kekuasaan untuk membungkam pendapat-pendapat yang kritis karena bisa saja dinilai sangat menjengkelkan atau mengesalkan. Gambaran ini dapat dilihat pada pengalaman saksi Andrianto sebagai berikut:
"Pasal 134 KUHPidana memang kelihatan sekali bahwa ini adalah pasal-pasal yang diterapkan oleh penguasa untuk membungkam apapun kritik terhadap mereka, dan pada saat proses pengadilan fakta di persidangan ketika itu seperti tadi yang disampaikan, ada saksi-saksi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, itu membuktikan bahwa kami tidak melakukan sedikit pun penghinaan terhadap Presiden Soeharto pada saat itu.Â
Ketika selesai penjatuhan vonis kami, kami dipukul rata enam bulan semua, salah seorang hakim mengatakan kepada saya dengan berlinang air mata dia mengatakan, "mohon maaf, bahwasannya kami tidak bersalah", katanya, tetapi karena memang tekanan dari penguasa bahwa mereka tidak tahu vonis yang dijatuhkan kepada kami, maka kita harus dijatuhi hukuman"
Sifat kekesalan presiden atau mungkin aparatnya akan sangat tergantung pada karakter presiden. Pada jaman Presiden Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid, perbuatan yang sebenarnya sudah dapat dinilai melanggar pasal penghinaan presiden ternyata tidak pernah diterapkan sebagaimana juga disebut oleh ahli Boy Mardjono.
Hari ini mungkin hanya terbatas pada para aktivis, mahasiswa, LSM yang dikenakan pasal penghinaan presiden. Namun, siapa yang bisa menjamin, suatu saat --misalnya pada saat legitimasi presiden menurun-- mungkin saja, para ahli  hukum tata negara atau ahli ilmu politik yang berdasarkan keyakinan teorinya mengatakan dalam tulisannya bahwa presiden telah salah melakukan kebijakannya atau presiden harus berani mencabut kebijkan yang salah, atau lawan-lawan politiknya yang gencar mengkritik kebijakan presiden, akan dianggap sebagai suatu penghinaan presiden.Â
Ini mungkin saja terjadi karena pasal penghinaan presiden itu multi tafsir sebagaimana disebut di atas. Batas antara kritik terhadap presiden dan penghinaan presiden itu sangat tipis. Padahal menurut ahli Effendi Gazali, figur-figur publik khususnya yang terpilih melalui kampanye justru dikecualikan, artinya mereka justru boleh diberikan kritik yang bebas bahkan dalam beberapa acara-acara televisi misalnya mereka seperti terlihat diolok-olok.Â
Hal yang sama disampaikan oleh Presiden Habibie yang justru mengatakan bahwa suatu hujatan terhadap kepala pemerintahan merupakan bagian dari bentuk kemerdekaan berpendapat dan berekspresi dalam kehidupan berdemokrasi, sebagaimana diutarakan oleh Ahli Boy Mardjono.
Samakah Penghinaan terhadap raja (Kepala Negara) dengan penghinaan terhadap presiden?
Ahli Boy Mardjono, menjelaskan bahwa Pasal 134 pada awalnya merupakan ketentuan untuk melindungi martabat raja (royal dignity), yang kemudian dalam konteks Indonesia, diubah menjadi presiden (presidential dignity). Sementara Pasal 135 dan 136 KUHP yang menyangkut penginaan terhadap istri raja dan gubernur jenderal dihapus dalam KUHP sekarang.
Dengan demikian munculnya kata "presiden" dalam Pasal 134 KUHP adalah marupakan penggantian dari kata "raja", maka yang menjadi pertanyaan di sini adalah apakah tepat istilah raja diganti menjadi presiden? Kenapa bukan kata "gubernur jenderal" yang diganti menjadi kata "presiden", bukankah gubernur jenderal adalah kepala pemerintahan yang lebih mirip dengan presiden yang juga sebagai kepala pemerintahan (dalam konteks UUD 1945 pasca amandeman). Untuk penjawab pertanyaan di atas, maka diperlukan kajian sejarah hukum ketatanegaraan di Indonesia.
 Raja adalah simbol pemersatu negara, raja bukan kepala pemerintahan di negara Hindia Belanda. Sebagai kepala pemerintahan di Hindia Belanda adalah gubernur jenderal. Maka pada waktu itu bukan cuma raja tidak boleh dihina tetapi juga gubernur jenderal bahkan istri raja pun termasuk yang tidak boleh dihina.
Jika dilihat sistem ketatanegaraan pada awal kemerdekaan Indonesia (4 bulan pasca kemerdekan[5]), dimana sistem pemerintahannya adalah sistem perdana menteri, perdana menteri sebagai kepala eksekutif atau kepala pemerintahan, sedangkan Presiden Soekarno waktu itu hanya sebagai kepala negara, maka dapat dipahami bahwa kedudukan presiden merupakan simbol pemersatu negara Indonesia, bukan pelaksana kekuasaan pemerintahan.Â
Sebagai simbol, wajar jika martabat presiden (kepala negara) harus dihpormati, sama halnya kita wajib menghormati simbol bendara merah mutih, simbol garuda pancasila, dan simbol lagu kebangsaan Indonesia. Atas dasar kesamaan dari sisi simbol ini maka dapat dipahami kalau kata "raja" dalam Pasal 134 KUHP diganti dengan kata "presiden".Â
Namun demikian sistem parlementer itu tidak bertahan lama, karena begitu kembali kepada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem pemerintahannya berganti mejandi sistem presidensial (atau quasi presidensial) dalam arti yang memegang pemerintahan tertinggi bukan lagi perdana menteri tetapi presiden.Â
Dengan demikian substansi simbol raja dalam diri presiden sebelum Dekrit suduh seharusnya tidak ada lagi. Artinya sejak Negara Indonesia menganut sistem pemerintahan di bawah UUD Dekrit itu kedudukan presiden sudah jauh berbeda dengan simbol raja di atas. Lain halnya apabila kata yang diganti dengan kata "presiden" adalah kata "gubernur jenderal" karena gubernur jenderal sama dengan presiden sebagai pemegang kepala pemerintahan.
Jadi dilihat dari semangat penghapusan Pasal 136 KUHP yang berisi penghinaan terhadap gubernur jenderal itu -yang pada dasarnya sama dengan presiden sebagai kepala pemerintahan- maka sudah seharusnya Pasal 134 KUHP itu tidak perlu diterapkan dalam praktek karena sudah tidak relevan lagi di era UUD Dektrit Presiden. Apalagi di era UUD 1945 amandemen yang telah memberikan spirit demokrasi dan penguatan hak asasi manusia. Maka tepat pendapat ahli Boy Mardjono yang menyarakan sebaiknya penghinaan presiden itu dimasukan dalam pasal penghinaan biasa atau pencemaran nama baik sebagaimana di atur dalam 310 KUHP. Pandangan ini sama dengan pendapat ahli Sutito yang disampaikan dalam persidangan.
 Penutup
Pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden sebagai suatu delik pidana sudah final dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Putusan MK tahun 2006.
 Pasal penghinaan pada umumnya sebagai delik aduan masih berlaku. Delik aduan pada hakekatnya bukan atau belum perbuatan pidana. Baru bernilai perbuatan pidana apabila ada pengaduan langsung dari pihak yang dihina.
UUD 1945 tidak mengenal istilah kepala negara, hanya disebut Presiden pemegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD ini. Kepala negara tidak otomatis atau tidak identik dengan presiden***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H