Mohon tunggu...
Taufiqurrohman Syahuri
Taufiqurrohman Syahuri Mohon Tunggu... Guru - Dosen

Taufiqurrohman Syahuri, Lahir di Desa kulon kali Pemali Brebes, 02 Mei 1960. Pendidikan: SD-SMA di Brebes, S1 HTN Fakultas Hukum UII Yogyakarta (lulus 1985), S2 Ilmu Hukum UI (1993) dan S3 HTN Pascasarjana Fakultas Hukum UI (lulus tahun 2003). Pengalaman Mengajar S1 di Unib, Usahid, PTIK, U-Borobudur dan U-Yarsi; S2 di UIJ, Esa Unggul, Jaya Baya, Unib dan UIN serta S3 di Unib dan UB. Mata kuliah yang diampu antara lain: Hukum Tata Negara, Perbandingan HTN, Hukum Konstitusi, Hukum Otonomi Daerah, Teori Hukum, Teori Hukum Administrasi Negara (HAN), Politik Hukum dan Filsafat Hukum. Beberap kali menguji Disertasi Program Doktor. Karya Buku dan Publikasi : Hukum Konstitusi, 2004, Jakarta: Ghalia Indonesia; Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Jakarta: Prenada 2013; Tanya Jawab Tentang MK di Dunia Maya, Jakarta: Setjen MK, 2006, Editor, Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi, P3DI-Setjen DPRRI, 2009. Pengalaman kerja, Guru SMA Muhammadiyah 1985; Dosen UNIB sejak 1986, Pendiri S1 Hukum Usahid dan Magister Hukum Unib, Dosen FH UPNV Jakarta sejak 2019, Pernah Komisioner KY RI 210-2015, Tenaga Ahli MK RI 2003-2007; Tenaga Ahli BK DPR RI 2018, dan Sekretaris Hukum Wantimpres 2019.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menengok Kembali Penghapusan Pasal Pidana Penghinaan terhadap Presiden

10 Juni 2021   09:22 Diperbarui: 10 Juni 2021   09:49 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 10. Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka Karim Paputungan divonis lima bulan penjara dengan masa percobaan 10 bulan karena penghinaan terhadap presiden (Pasal 134),

 11. Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Supratman (33) dituntut pidana satu tahun penjara. Wartawan itu dituduh melakukan tindak pidana penghinaan (Pasal 134) dengan sengaja terhadap Presiden Megawati Soekarnoputri. Supratman bertanggung jawab atas judul dan isi berita yang dimuat harian Rakyat Merdeka. Berita yang dimuat Rakyat Merdeka itu berturut-turut adalah "Mulut Mega Bau Solar" (6/1/2003), "Mega Lintah Darat" (8/1), "Mega Lebih Ganas dari Sumanto" (30/1), dan "Mega Cuma Sekelas Bupati" (4/2).

Berdasarkan contoh kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa pasal penghinaan presiden itu mengandung resiko tinggi (berpotensi) untuk disalah gunakan oleh alat kekuasaan untuk membungkam pendapat-pendapat yang kritis karena bisa saja dinilai sangat menjengkelkan atau mengesalkan. Gambaran ini dapat dilihat pada pengalaman saksi Andrianto sebagai berikut:

"Pasal 134 KUHPidana memang kelihatan sekali bahwa ini adalah pasal-pasal yang diterapkan oleh penguasa untuk membungkam apapun kritik terhadap mereka, dan pada saat proses pengadilan fakta di persidangan ketika itu seperti tadi yang disampaikan, ada saksi-saksi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, itu membuktikan bahwa kami tidak melakukan sedikit pun penghinaan terhadap Presiden Soeharto pada saat itu. 

Ketika selesai penjatuhan vonis kami, kami dipukul rata enam bulan semua, salah seorang hakim mengatakan kepada saya dengan berlinang air mata dia mengatakan, "mohon maaf, bahwasannya kami tidak bersalah", katanya, tetapi karena memang tekanan dari penguasa bahwa mereka tidak tahu vonis yang dijatuhkan kepada kami, maka kita harus dijatuhi hukuman"

Sifat kekesalan presiden atau mungkin aparatnya akan sangat tergantung pada karakter presiden. Pada jaman Presiden Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid, perbuatan yang sebenarnya sudah dapat dinilai melanggar pasal penghinaan presiden ternyata tidak pernah diterapkan sebagaimana juga disebut oleh ahli Boy Mardjono.

Hari ini mungkin hanya terbatas pada para aktivis, mahasiswa, LSM yang dikenakan pasal penghinaan presiden. Namun, siapa yang bisa menjamin, suatu saat --misalnya pada saat legitimasi presiden menurun-- mungkin saja, para ahli  hukum tata negara atau ahli ilmu politik yang berdasarkan keyakinan teorinya mengatakan dalam tulisannya bahwa presiden telah salah melakukan kebijakannya atau presiden harus berani mencabut kebijkan yang salah, atau lawan-lawan politiknya yang gencar mengkritik kebijakan presiden, akan dianggap sebagai suatu penghinaan presiden. 

Ini mungkin saja terjadi karena pasal penghinaan presiden itu multi tafsir sebagaimana disebut di atas. Batas antara kritik terhadap presiden dan penghinaan presiden itu sangat tipis. Padahal menurut ahli Effendi Gazali, figur-figur publik khususnya yang terpilih melalui kampanye justru dikecualikan, artinya mereka justru boleh diberikan kritik yang bebas bahkan dalam beberapa acara-acara televisi misalnya mereka seperti terlihat diolok-olok. 

Hal yang sama disampaikan oleh Presiden Habibie yang justru mengatakan bahwa suatu hujatan terhadap kepala pemerintahan merupakan bagian dari bentuk kemerdekaan berpendapat dan berekspresi dalam kehidupan berdemokrasi, sebagaimana diutarakan oleh Ahli Boy Mardjono.

Samakah Penghinaan terhadap raja (Kepala Negara) dengan penghinaan terhadap presiden?

Ahli Boy Mardjono, menjelaskan bahwa Pasal 134 pada awalnya merupakan ketentuan untuk melindungi martabat raja (royal dignity), yang kemudian dalam konteks Indonesia, diubah menjadi presiden (presidential dignity). Sementara Pasal 135 dan 136 KUHP yang menyangkut penginaan terhadap istri raja dan gubernur jenderal dihapus dalam KUHP sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun