Dengan demikian munculnya kata "presiden" dalam Pasal 134 KUHP adalah marupakan penggantian dari kata "raja", maka yang menjadi pertanyaan di sini adalah apakah tepat istilah raja diganti menjadi presiden? Kenapa bukan kata "gubernur jenderal" yang diganti menjadi kata "presiden", bukankah gubernur jenderal adalah kepala pemerintahan yang lebih mirip dengan presiden yang juga sebagai kepala pemerintahan (dalam konteks UUD 1945 pasca amandeman). Untuk penjawab pertanyaan di atas, maka diperlukan kajian sejarah hukum ketatanegaraan di Indonesia.
 Raja adalah simbol pemersatu negara, raja bukan kepala pemerintahan di negara Hindia Belanda. Sebagai kepala pemerintahan di Hindia Belanda adalah gubernur jenderal. Maka pada waktu itu bukan cuma raja tidak boleh dihina tetapi juga gubernur jenderal bahkan istri raja pun termasuk yang tidak boleh dihina.
Jika dilihat sistem ketatanegaraan pada awal kemerdekaan Indonesia (4 bulan pasca kemerdekan[5]), dimana sistem pemerintahannya adalah sistem perdana menteri, perdana menteri sebagai kepala eksekutif atau kepala pemerintahan, sedangkan Presiden Soekarno waktu itu hanya sebagai kepala negara, maka dapat dipahami bahwa kedudukan presiden merupakan simbol pemersatu negara Indonesia, bukan pelaksana kekuasaan pemerintahan.Â
Sebagai simbol, wajar jika martabat presiden (kepala negara) harus dihpormati, sama halnya kita wajib menghormati simbol bendara merah mutih, simbol garuda pancasila, dan simbol lagu kebangsaan Indonesia. Atas dasar kesamaan dari sisi simbol ini maka dapat dipahami kalau kata "raja" dalam Pasal 134 KUHP diganti dengan kata "presiden".Â
Namun demikian sistem parlementer itu tidak bertahan lama, karena begitu kembali kepada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem pemerintahannya berganti mejandi sistem presidensial (atau quasi presidensial) dalam arti yang memegang pemerintahan tertinggi bukan lagi perdana menteri tetapi presiden.Â
Dengan demikian substansi simbol raja dalam diri presiden sebelum Dekrit suduh seharusnya tidak ada lagi. Artinya sejak Negara Indonesia menganut sistem pemerintahan di bawah UUD Dekrit itu kedudukan presiden sudah jauh berbeda dengan simbol raja di atas. Lain halnya apabila kata yang diganti dengan kata "presiden" adalah kata "gubernur jenderal" karena gubernur jenderal sama dengan presiden sebagai pemegang kepala pemerintahan.
Jadi dilihat dari semangat penghapusan Pasal 136 KUHP yang berisi penghinaan terhadap gubernur jenderal itu -yang pada dasarnya sama dengan presiden sebagai kepala pemerintahan- maka sudah seharusnya Pasal 134 KUHP itu tidak perlu diterapkan dalam praktek karena sudah tidak relevan lagi di era UUD Dektrit Presiden. Apalagi di era UUD 1945 amandemen yang telah memberikan spirit demokrasi dan penguatan hak asasi manusia. Maka tepat pendapat ahli Boy Mardjono yang menyarakan sebaiknya penghinaan presiden itu dimasukan dalam pasal penghinaan biasa atau pencemaran nama baik sebagaimana di atur dalam 310 KUHP. Pandangan ini sama dengan pendapat ahli Sutito yang disampaikan dalam persidangan.
 Penutup
Pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden sebagai suatu delik pidana sudah final dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Putusan MK tahun 2006.
 Pasal penghinaan pada umumnya sebagai delik aduan masih berlaku. Delik aduan pada hakekatnya bukan atau belum perbuatan pidana. Baru bernilai perbuatan pidana apabila ada pengaduan langsung dari pihak yang dihina.
UUD 1945 tidak mengenal istilah kepala negara, hanya disebut Presiden pemegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD ini. Kepala negara tidak otomatis atau tidak identik dengan presiden***