Ini urgen karena spiritualitas tadi semakin dibutuhkan di tengah kehidupan masyarakat kita yang condong materialistik.
Maka sangat baik  bila kita dapat menggali beberapa nilai spirit dalam perjalanan Nabi Ibrahim.
Tanpa mengesampingkan betapa ia juga cerdas secara kognitif dan kuat secara fisik ataupun kuat ekonomi dengan puluhan ribu ternaknya. Nilai spirit itu antara lain:
Pertama, Rasa ketuhanan.
Rasa ini selalu memenuhi ruang hati Nabi Ibrahim, hingga ada dialog romantis antar ia dan Tuhannya: Tunjukkan padaku bagaimana Engkau Menghidupkan yang mati? Jawab Allah: Apakah engkau belum percaya?. Nabi Ibrahim menjawab: hanya untuk menenangkan hati, hanya untuk tahu saja dan lebih mantap hatiku.
Rasa ini pula yang memberi ia kekuatan untuk rela dibakar", tetapi Allah menolongnya, tentu karena keihlasannya dalam bertuhan.
Dengan sikap ini pula ia berpindah(hijrah) dari Iraq ke Palestina, lalu ke Makkah yang tandus yang jaraknya hingga 2000an Km.
Kita pahami bersama bahwa rasa ketuhanan Nabi Ibrahim bukan rasa yang wwgombal atau palsu, tetapi rasa bertuhan yang ikhlas penuh sikap tunduk dan dan rela berkorban serta menyesuaikan diri dengan perintah dan larangan.
Atas sikap ini pula Nabi Ibrahim diuji dengan perintah untuk menyembelih anaknya, yang memang akan ia lakukan dan anaknya pun juga ikhlas penuh sabar.
Hingga Allah menggantinya dengan kibas, karena Allah tahu Nabi Ibrahim bakal betul-betul menyembelih anaknya.
Lantas tradisi menyembelih hewan qurban (dalam rangka dekat ke Allah) menjadi ritus tahunan ummat muslim.
Kedua, mengadu (awwah) kepada Allah.
Sikap mengaduh ini bukanlah sikap yang cengeng sebagai hamba, tetapi sebagai sikap keterikatan diri akan Tuhan.