Proses-proses dalam tubuh diperantarai oleh dua komponen yang saling bertaut; Hormondan Transmiter saraf(neurotransmiter). Hormon dilepas di darah dan menjangkau daerah-daerah target yang jauh. Sementara transmiter saraf dilepas dicelah sinapsis dan bekerja secara lokal. Bidang kajian Psikoneuroendokrinologimengkaji peranan hormon dan transmiter saraf ini dalam kaitannya dengan kondisi mental dan pikiran. Ilmu ini sedang berada pada aras puncak perkembangan dalam sains kedokteran sekalipun banyak kalangan kesehatan dan kedokteran yang meragukan hubungan sinergis pikiran dengan hormon dan transmiter saraf.
Kajian-kajian psikoneuroimunologi dan psikoneuroendokrinologi memberi banyak informasi dan inspirasi bagaimana proses timbulnya penyakit serta penyembuhannya.
Hubungan resiprokal antara faktor lingkungan dan ekspresi gen membuktikan adanya kaitan erat antara perilaku manusia dan perubahan-perubahan gen di otak. Intervensi pengalaman dan pendidikan, misalnya, dapat merubahan ekspresi gen pada sel saraf. Demikian sebaliknya. Ini artinya, dalam beberapa hal faktor genetika bukanlah faktor yang tidak bisa diubah. Evolusi genetika merupakan keniscayaan. Fenomena ini membuktikan kebenaran kata-kata Hazrat Inayat Khan; You are what you think.
Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa farmakoterapi bukanlah satu-satunya bahan penyembuh. Kondisi psikis, lingkungan sekitar, keyakinan diri, pemahaman agama, dll, juga memberikan kontribusi yang sangat. Penelitian penyakit kanker, AIDS, atau sekadar infeksi-infeksi ringan, mendukung pendapat ini. Dalam kasus-kasus ini otak merupakan komponen sentral yang mengatur semua itu.
3. Psikoneuroendokrinologi
Sejak ide spekulatif para filsuf Yunani hingga basis empiris oleh Sigmund Freud[10] kajian tentang hubungan jiwa-badan (Soul-Body) atau ‘Kesadaran’[11] merupakan topik yang tak pernah habis diteliti ketika membahas manusia. Rene Descartes (1596-1650) boleh jadi merupakan filsuf-matematikawan Barat yang paling banyak dirujuk ketika membahas hubungan jiwa badan ini.
Descartes menyatakan bahwa jiwa (Soul) mengontrol gerakan otot tubuh melalui komponen otak bernama Kelenjar Pineal yang terletak persis di tengah otak. Kelenjar ini berfungsi bagaikan joystickyang bila digerakkan akan menyebabkan pengaliran cairan dari kamar-kamar cairan otak (Ventricel Cerebri) ke dalam serat saraf di otot. Bagi Descartes, hubungan kelenjar Pineal dan cairan otak bagaikan pompa hidraulik. Argumentasi spekulatif inilah mungkin yang menjadi salah dasar pemikirannya yang terkenal; Cogitu ergo Sum.Â
Selain Descartes dan Freud, hubungan Jiwa-badan atau kesadaran mendapat perhatian ahli neurosains terkenal Sir John Eccles. Perbedaannya, Descartes adalah ahli matematika yang tidak menguasai ilmu-ilmu saraf (neurosains), sementara Eccles sangat menguasainya. Level pembicaraan Descartes juga pada level sistem. Sedangkan Eccles sudah pada level seluler dan molekuler. Eccles menggunakan teori Karl Popper tentang dunia untuk menjelaskan bagaimana manusia membentuk kesadarannya tentang realitas. Eccles menyebut Outer Sense(obyek-obyek fisik), Inner Sense(kesadaran dan pengalaman subyektif),dan Pure Ego.[12]
Topik ini juga menjadi kajian menarik para filsuf-saintias muslim, seperti al-Farabi dan Ibn Sina yang mencoba menerangkan (secara filosofis) hubungan antara Sang Pencipa dengan ciptaan-Nya, melalui konsep ‘Akal bertingkat. Demikian halnya Ibn ‘Arabi Ibn ‘Arabi yang mencoba membahas hubungan jiwa-badan melalui konsepnya tentang dunia-dunia dasar (basicworlds), yang terdiri dari Spiritual world, bodily world,dan Imaginal world.Ibn ‘Arabi dan hampir seluruh pemikir muslim menggunakan konsep 3 dunia ini untuk menjelaskan mikrokosmos manusia.[13]
Dengan berkembangnya disilplin ilmu baru psikoneuroendokrinologi[14](kadang juga dipadukan dengan psikoneuroimunoendokrinologiuntuk melihat kaitannya dengan penyembuhan penyakit) kaitan antara jiwa-badan makin terbuka lebar dan memperoleh bukti eksperimental yang kuat. Terdapat bukti kuat bahwa hubungan Jiwa-badan itu bersifat organo-biologik (jadi, tidak semata hubungan spekulatif seperti misalnya pendapat al-Ghazali tentang Qolbdi dada sebelah kiri, yang menunjuk jantung). Sifat organobiologik ini memungkinkan penjelasan yang lebih tepat tentang bagaimanajiwa-badan itu berhubungan, dan bagaimana otak membangun kesadaran (baik awakemaupun aware) dalam diri manusia.
Kaitan komponen otak bernama Hypothalamus-Pituitary-Adrenal yang dikenal dengan istilah HPA Axis menjadi dasar penjelasan organobiologik itu. Keadaan-keadaan sehat dan sadar, maupun gangguan neuropsikiatris (seperti schizophrenia, majnun) merupakan hasil hubungan timbal balik HPA axis melalui kerja hormon, neurotransmitter dan gen. Salah satu teori neurosains misalnya menjelaskan bahwa schizophrenia disebabkan oleh gangguan biologis dalam 5 faktor resiko, mulai dari gangguan enzim yang mengatur pembentukan dan pelepasan neurotransmiter (faktor resiko 1), migrasi sel saraf yang terlampau jauh (faktor resiko 2), pembentukan sinapsis yang keliru (faktor resiko 3), dan kerja sel saraf yang terganggu (faktor resiko 4 dan 5).[15] Untuk keadaan normal, seperti pengaturan memori dan bahasa, banyak faktor-faktor biologis yang terlibat.