Papua merupakan salah satu hutan hujan tropis terbesar dan terkaya di dunia, yang menyimpan keanekaragaman hayati luar biasa serta menjadi rumah bagi berbagai flora dan fauna langka. Selain itu, hutan ini juga memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global dan menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat adat yang telah tinggal di sana selama berabad-abad.Â
HutanNamun, dalam beberapa dekade terakhir, hutan Papua menghadapi ancaman serius dari aktivitas pembukaan lahan, terutama untuk perkebunan kelapa sawit.Â
Pembabatan hutan ini dapat mengancam keberlanjutan lingkungan dan perubahan iklim yang dampaknya tidak hanya dirasakan Masyarakat disana tetapi juga seluruh Indonesia bahkan dunia. Selain itu, pembabatan hutan ini juga menimbulkan berbagai dampak sosial dan ekonomi yang kontroversial.
Bagi masyarakat adat Papua, hutan adalah lebih dari sekadar sumber daya alam; hutan adalah bagian integral dari kehidupan dan budaya mereka. Hutan menyediakan makanan, obat-obatan, dan bahan bangunan, serta memiliki nilai spiritual yang mendalam dan sumber kegembiraan.Â
Ketika hutan ditebang untuk perkebunan sawit, masyarakat adat kehilangan akses ke sumber daya ini, yang berdampak langsung pada mata pencaharian dan kesejahteraan mereka. Proses pembebasan hutan adat sering kali dilakukan tanpa konsultasi atau persetujuan yang memadai dari masyarakat setempat, sering kali dengan menggunakan manipulasi, intimidasi dan kekerasan.
Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, merilis data luas perkebunan sawit di Indonesia per provinsi, termasuk Papua dan Papua Barat. Data sementara tahun 2020 dan estimasi 2021 menunjukkan bahwa luas perkebunan sawit di Papua meningkat dari 159,7 ribu hektare (ha) pada 2020 menjadi 162,2 ribu ha pada 2021, bertambah 3 ribu ha dalam satu tahun. Di Papua Barat, luasnya lebih kecil, yakni 51 ribu ha pada 2020 dan 51,8 ribu ha pada 2021.
Namun baru-baru ini,masyarakat adat dari Papua yakni suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, dan Suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya  mengadakan aksi damai di depan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat serta  mengajukan gugatan hukum melawan pemerintah dan Perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat mereka.Â
Suku Awyu menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). PT IAL mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro--bagian dari Suku Awyu. Sementara sub Suku Moi Sigin melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin untuk perkebunan sawit.
Sebelumnya, memang pihak Perusahaan itu melaksanakan sosialisai dengan masyarakat adat tetapi mereka hanya disuruh datang, diam dan mendengarkan serta dipaksa untuk menandatangani surat persetujuan. Oleh karena itu, Sebagian besar dari masyarakat adat tidak menyetujui izin untuk Perkebunan sawit tersebut.Â
Namun ada juga masyarakat yang menyetujui dikarenakan ada gertakan-gertakan dan juga ada permainan dari Perusahaan dengan pemberian uang dalam jumlah tertentu pada sebagian dari masyarakat untuk mendukung rencana Perusahaan. Meski tak mendapakan izin dari mayoritas masyarakat, izin lingkungan pada akhirnya tetap keluar.Â
Masyarakat pun tidak tahu sudah ada izin lokasi itu. Ternyata pemerintah daerah yaitu Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) sudah mengeluarkan persetujuan kelayakan lingkungan dan dokumen analisis dampak lingkungan (AMDAL) dari proyek tersebut tidak dapat diakses oleh masyarakat. Sebab itulah, Masyarakat suku Awyu dan suku Moi mengajukan permohonan dan gugatan.
Hal ini mencerminkan kelemahan dalam kebijakan dan regulasi yang mengatur penggunaan lahan di Papua. Meskipun ada undang-undang yang melindungi hak-hak masyarakat adat dan lingkungan, implementasinya sering kali lemah dan tidak konsisten.Â
Korupsi dan kurangnya transparansi dalam proses perizinan memperburuk masalah ini, memungkinkan perusahaan perkebunan untuk melanggar aturan dengan impunitas. Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menyeimbangkan antara pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan melalui berbagai kebijakan, namun tantangan dalam penegakan hukum dan pengawasan lapangan membuat kebijakan ini kurang efektif.
Dalam konteks Papua, pembebasan lahan hutan adat untuk kebun sawit mencerminkan ketidakseimbangan antara kepentingan pusat dan daerah. Pemerintah pusat dan perusahaan besar sering kali memprioritaskan keuntungan ekonomi dari perkebunan sawit tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan masyarakat adat. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan dan resistensi di kalangan masyarakat Papua, yang merasa bahwa hak-hak mereka diabaikan dan identitas budaya mereka terancam.
Hal tersebut mengilustrasikan pentingnya kebijakan yang inklusif dan adil dalam upaya mencapai integrasi nasional. Teori Myron Weiner menyoroti bahwa mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan tidak melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan dapat merusak persatuan dan stabilitas nasional.Â
Oleh karena itu, pemerintah perlu mengembangkan kebijakan yang menghormati hak-hak masyarakat adat, memastikan partisipasi mereka, meningkatkan kesadaran dan edukasi tentang pentingnya hutan adat bagi ekosistem dan masyarakat serta mendorong pembangunan yang berkelanjutan dan adil untuk menciptakan integrasi nasional yang sejati.
Selain itu, pemerintah dan organisasi non-pemerintah dapat bekerja sama untuk mengembangkan alternatif ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat adat.Â
Agroforestri, ekowisata, dan produksi komoditas non-kayu adalah beberapa contoh kegiatan yang dapat memberikan pendapatan tanpa merusak lingkungan. Program-program ini harus dirancang dengan partisipasi aktif dari masyarakat adat untuk memastikan bahwa mereka sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H