Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Molly, Meli, dan Aku

22 Januari 2019   10:05 Diperbarui: 22 Januari 2019   18:22 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menemukan molly persis di depan pintu kamar kontrakan saya. Suatu pagi.

Dengan bulatan putih di hidung yang warnanya sangat kontras dengan warna tubuhnya yang dipenuhi bulu berwarna hitam, molly jantan tampak sangat manis.

Saya nyaris hendak mengusirnya pagi itu. Tetapi, begitu saya melihat sorot matanya, yang tajam, saya tiba-tiba menjadi iba. Seandainya saya bisa memahami bahasanya, melalui sorot matanya itu, mungkin molly ingin meminta belas kasihan saya. Dan tentu saja: makan.

Maka, segera saja saya ambil beberapa ikan pindang dari dalam kulkas dan saya taruh di piring plastik yang biasa saya sediakan untuk kucing betina yang kerap datang ke kamar sebelumnya.

Molly segera memakan ikan pindang di piring plastik itu. Dengan sangat lahap. Sesekali ia mengangkat kepalanya yang bulat lalu menatap ke arahku. Melanjutkan makan lagi. Saya pikir, mungkin ia sangat lapar...

Usai menghabiskan ikan pindang, molly duduk selonjoran di lantai. Di pojokan kamar. Matanya tetap tajam menatapku. Ah, sorot matanya itu seperti mampu menembus ruang paling dalam perasaan saya. Aneh! Aku seperti bisa menterjemahkan dan mengerti permohonannya: ia minta perlindungan. Aku mengusap kepalanya dan lalu membawanya keluar kamar karena aku harus segera berangkat bekerja.

Seperti pagi tadi, hari itu, malam harinya, molly datang kembali ke kamarku. Dan ia minta makan lagi. Aku membuka kulkas dan memberinya ikan pindang.

Molly. Panggilan itu tiba-tiba saja melintas di kepala saya. Pikir saya, agar mirip dengan meli -- nama kucing betina yang sebelumnya sering mampir di kamar saya.

Sejak hari itu lah, kucing dengan bulatan putih di hidung itu selalu datang ke kamar. Setiap pagi dan malam. Ia seperti hafal, kapan saya ada dan kapan saya tidak ada.

Saya kerap iba dan bahkan merasa bersalah jika molly datang dan saya tak bisa memberinya ikan pindang. Maka, setelah itu, demi molly, aku pun mulai lebih rajin membeli ikan pindang di satu pasar tradiosional. Di bilangan setiabudi Jakarta selatan. Sebelum saya berangkat bekerja.

Kadang-kadang, ketika saya pulang bekerja, ketika malam sudah sangat larut, molly sudah menungguiku di pertigaan jalan di dekat pangkalan ojek atau di depan pagar besi rumah kontrakan. Lalu ia menguntit di belakangku, atau berlari-lari kecil di depanku. Jika ia di depan, sesekali ia berhenti, menengokkan kepalanya ke belakang, sekedar memastikan bahwa saya masih berjalan di belakangnya.

Dan begitu pintu kamar kubuka, ia langsung menghambur masuk kamar. Memanjangkan tubuhnya, lalu duduk selonjoran persis di samping kulkas.

Jika saya tak segera memberinya makan, ia berguling-guling, berjalan kesana kemari dan sesekali menatapku. Saya sering tersenyum menggodanya dengan cara membuka pintu kulkas tapi tak segera mengambilkannya ikan pindang. 

Setelah kenyang, ia biasanya akan duduk selonjoran dan menggaruk-garuk tubuhnya dengan kaki belakangnya, lalu tak lama kemudian ia tidur di lantai, atau di atas keset kamar mandi.  Atau juga di atas tumpukan koran bekas langganan kantor yang saya bawa pulang.

Aku membiarkan saja segala tingkahnya yang lucu. 

Pagi hari, sebelum jam 5, setelah ayat-ayat Allah nyaring disuarakan melalui pengeras suara di masjid, ia kerap mengeong di depan pintu kamar. Kadang saya mendengar suara kukunya yang mencakar-cakar pintu kamar. Mungkin ia berusaha membangunkanku. Dan tentu saja: mengingatkanku untuk memberinya makan pagi.

Sekitar jam 7 pagi, usai makan, seperti tahu bahwa saya harus segera pergi bekerja, molly juga ikut menyeruak keluar kamar begitu pintu aku buka. Menatapku sebentar lalu ia berlari dan menghilang entah kemana. Dan untuk kemudian, nanti ia akan datang lagi ketika saya pulang kerja pada malam hari. Begitulah seterusnya, hingga lama-lama aku merasa molly telah menjadi bagian dari hari-hariku.

Setelah molly rajin datang ke kamarku, kini, temanku jadi bertambah. Kadang-kadang, molly datang bersama kucing betina berwarna putih hitam yang sudah menjadi bagian dari penghuni kamarku sebelumnya. Atau, kadang-kadang molly datang sendirian.

Aku kerap memerhatikan molly dan meli (si kucing betina itu) menyerbu wadah plastik berisi ikan pindang. Mereka makan bareng. Bersama-sama. Tidak saling bertengkar memerebutkan ikan. Aku melihat dan mengingat keakraban itu berbulan-bulan.

Melihat kucing-kucing itu, saya kadang-kadang terlihat sangat konyol!  Memikirkan sesuatu yang tidak mungkin. Aku kadang merasa "iri" akan takdirNya dan menjadikan mereka menjadi kucing. Tuhan menakdirkan hidup mereka mengalir demikian saja. Tidak seperti manusia yang selalu sibuk; sibuk mencari uang, sibuk dengan masa depan, sibuk bertengkar. Sibuk mencari kuasa. Sibuk memfitnah, sibuk mencaci, sibuk mencari salah, sibuk memerebutkan harta dan sikut menyikut.

Saya juga melihat molly adalah mahlukNya yang tak pernah menyimpan dendam. Kepada siapapun. Apakah kepada manusia yang pernah mengusirnya, memukili, menendangnya dengan gagang sapu atau membuangnya di pasar-pasar yang riuh.

Tapi, saya tahu: Tuhan sudah menetapkan takdirNya...  Adakah hak saya untuk meminta merubah ketetapanNya?

***
23 Juni 2018. Setelah memakirkan mobil, aku bergegas masuk kamar. Perjalanan Jakarta -- Surabaya lalu ke  Semarang lalu balik lagi ke Surabaya pulang pergi benar-benar membuatku lelah. Aku segera membaringkan tubuh di kasur dan menyalakan penyejuk udara.

Langit sudah agak merah ketika aku melihat keluar dari jendela kamar. Rasa lapar membuatku terbangun. Aku membuka pintu. Dan, ya Tuhan, aku tiba-tiba ingat molly. Biasanya, begitu pintu aku buka, ia pasti datang menghambur.

Jam berlalu menjadi hari dan hari berlalu menjadi minggu, tapi molly tak kunjung datang. Saya seperti merasa bersalah meninggalkan molly hampir sepuluh hari lamanya. Kasihan molly...

Saya tiba-tiba menjadi risau. Seandainya, ya seandainya, semua mahluk yang bernama manusia itu berhati mulia, mampu menyayangi sesama, mungkin saya tidak akan risau. Molly pasti tetap akan mendapatkan ikan pindang kesukaannya setiap hari. Dan molly pasti tetap bisa mendapatkan tempat bermain seperti di kamar saya.  

Apakah molly masih hidup atau apakah mahluk kecil itu sudah meregang nyawa? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun