Pada bulan Juni, tahun lalu, hal yang sama juga terjadi. Usai ribuan orang-orang dari etnis Rohingya terdampar di pantai Aceh, foto-foto palsu langsung bermunculan.
Salah satu foto misalnya, menunjukan biksu Buddha berdiri di atas potongan tubuh manusia. Di media sosial, di Facebook dan di Twitter, foto itu dikaitkan dengan kekejaman yang dilakukan terhadap etnis Rohingya. Tetapi, orang-orang harusnya terperanjat, bahwa ternyata foto itu adalah foto palsu. Foto itu adalah foto yang diambil pada saat gempa besar terjadi di Cina. Pada April 2010.
Ada foto lain yang beredar yang mengkisahkan deretan mayat yang menghitam yang diunggah dan diberi caption dengan kalimat sangat emosional "ribuan ummat Muslim Rohingya Myanmar dibakar hidup-hidup oleh tentara kafir."
Benarkah demikian?
Sebuah riset sederhana menggunakan mesin pencari google yang saya baca menunjukkan bahwa foto tersebut ternyata bukan foto kekejaman terhadap etnis Rohingnya. Yang benar, foto itu adalah foto korban meninggal ketika bus berisi bahan bakar terguling dan meledak di Demokratik Republik Kongo, pada 2010, yang menewaskan lebih dari 200 orang.
Setelah Lyudmila Vorobieva menulis surat itu, kini saya pun semakin diserang kegamangan atas kebenaran berita. Berita pelintiran dan pengetahuan (fakta) hari ini sama-sama memiliki ruang yang sama besar untuk menyelamatkan dan untuk menyesatkan manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H