Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Surat Lyudmila Vorobieva, Hoaks dan Kegamangan Saya atas Kebenaran

19 Oktober 2018   14:50 Diperbarui: 19 Oktober 2018   14:57 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: dokumen pribadi

SAYA, kemarin, sangat tertarik membaca surat yang ditulis Lyudmila Vorobieva yang dipublikasikan Media Indonesia, Kamis, 18 Oktober 2018.

Dalam surat yang diberi judul "Kedubes Rusia Tanggapi Artikel Di Media Indonesia", Duta Besar Rusia untuk Indonesia itu menuliskan tanggapannya atas artikel yang ditulis Ketua Dewan Redaksi Media Group yang berjudul Waspadai Hoaks Made in Russia yang dipublikasikan pada Senin (8/10/18). Menurut Lyudmila Vorobieva, artikel tersebut mendistorsi apa yang sebenarnya terjadi di ruang media di Rusia.

Disebutkan oleh Vorobieva bahwa Rusia sebenarnya terus memerangi hoaks secara aktif. Pada April 2018, menurutnya, parlemen Rusia mengadopsi RUU terkait pemberantasan berita hoaks di jejaring sosial. Rusia juga telah menerima amendemen yang menetapkan denda atas penyebaran informasi hoaks hingga US$ 750 ribu.

Dalam sidang ke-40 Komite Informasi PBB pihak Rusia sekali lagi, seperti pada satu tahun sebelumnya, mengusulkan sistim atau mekanisme universal untuk memberantas fake news.

Namun, menurut Lyudmila Vorobieva lagi, pada saat Rusia sedang aktif memerangi hoaks tersebut (ternyata malah) banyak kantor berita Barat menganggap sebagai hal pantas penggunaan propaganda bohong tersebut. Contohnya belakangan ini adalah: fitnah terhadap upaya-upaya Rusia untuk memberantas terorisme di Suriah, rupa-rupa 'berita-berita kimia' yang mengatakan seakan-akan ada keterlibatan orang-orang Rusia. Semua ini, menurutnya, adalah bagian dari hoaks yang sengaja disebar untuk tujuan politik (tertentu).

Saya sangat tertatik dengan salah satu bagian tulisan Lyudmila Vorobieva tersebut. Dikatakan oleh Duta besar itu bahwa "banyak kantor berita Barat menganggap sebagai hal pantas penggunaan propaganda bohong". Bagi saya, kalimat ini, setidaknya, mengandung makna bahwa apa-apa yang disaji oleh banyak kantor berita (Barat) saat ini "mungkin" tidak benar.

Apakah yang ditulis Duta Besar Rusia Untuk Indonesia itu benar adanya?

Jika sebelumnya saya dan (mungkin) banyak pembaca 'sangat' yakin akan kebenaran berita-berita dan artikel yang menyajikan kisah dan foto kekejaman tentara dan tragedi kemanusiaan di Suriah dan bom-bom kimia yang (sangat) mendominasi ruang media global dan media sosial, maka, kini saya pun mulai semakin berpertanyaan: benarkah berita dan foto itu?

Usai membaca surat Vorobieva tersebut, saya menjadi gamang. Dan, ternyata, kegamangan saya ini (sebenarnya) bukanlah yang pertama kali.

Dalam catatan yang saya ingat, beberapa tahun yang lalu, saya mungkin adalah sedikit dari sekian ribu atau mungkin puluhan ribu orang yang memercayai foto yang kerap disebar yang menggambarkan seorang anak berlumuran darah sedang dibopong seorang tentara. Foto itu seolah ingin menunjukkan pesan kuat adanya kekejaman kelompok tertentu di satu negara yang sedang dilanda konflik. Foto itu juga pernah singgah di hape saya. Kegamangan saya, saat itu, berawal dari ketika saya usai membaca berita dari salah satu media (saya lupa kapan dan siapa yang  menulis -- yang saya ingat hanya satu: saya baca dari media asing). Media asing itu menyebutkan foto-foto itu tidak benar!

Setelah saya gamang atas kebenaran foto-foto tentara yang membopong anak yang berlumuran darah itu, saya pun mulai ragu ketika menerima kiriman foto-foto tragedi kemanusiaan, yang kerap diklaim sebagai tragedi pembunuhan brutal etnis tertentu, seperti foto-foto tragedi etnis Rohingya yang dibagikan ke ribuan orang. Ke puluhan group WhatsApp dan memancing ribuan amarah. Betapa suara-suara di Group WhatsApp (yang saya ikuti) itu sangat penuh dengan suara kemarahan. Suara-suara teman-teman saya begitu meluap-luap. Sangat emosional.

Pada bulan Juni, tahun lalu, hal yang sama juga terjadi. Usai ribuan orang-orang dari etnis Rohingya terdampar di pantai Aceh, foto-foto palsu langsung bermunculan.

Salah satu foto misalnya, menunjukan biksu Buddha berdiri di atas potongan tubuh manusia. Di media sosial, di Facebook dan di Twitter, foto itu dikaitkan dengan kekejaman yang dilakukan terhadap etnis Rohingya. Tetapi, orang-orang harusnya terperanjat, bahwa ternyata foto itu adalah foto palsu. Foto itu adalah foto yang diambil pada saat gempa besar terjadi di Cina. Pada April 2010.

Ada foto lain yang beredar yang mengkisahkan deretan mayat yang menghitam yang diunggah dan diberi caption dengan kalimat sangat emosional "ribuan ummat Muslim Rohingya Myanmar dibakar hidup-hidup oleh tentara kafir."

Benarkah demikian?

Sebuah riset sederhana menggunakan mesin pencari google yang saya baca menunjukkan bahwa foto tersebut ternyata bukan foto kekejaman terhadap etnis Rohingnya. Yang benar, foto itu adalah foto korban meninggal ketika bus berisi bahan bakar terguling dan meledak di Demokratik Republik Kongo, pada 2010, yang menewaskan lebih dari 200 orang.

Setelah Lyudmila Vorobieva menulis surat itu, kini saya pun semakin diserang kegamangan atas kebenaran berita. Berita pelintiran dan pengetahuan (fakta) hari ini sama-sama memiliki ruang yang sama besar untuk menyelamatkan dan untuk menyesatkan manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun