Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan: Dari zaman Belanda ke Zaman Bingung

11 Januari 2025   10:28 Diperbarui: 11 Januari 2025   10:28 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan: ilustrasi AI


Pernah dengar cerita dari kakek-nenek tentang sekolah zaman Belanda? Katanya, meskipun akses pendidikan sangat terbatas, guru itu dihormati, pendidikan terarah, dan hasilnya terasa nyata. Sekarang, meskipun pendidikan lebih terbuka dan bisa diakses hampir semua kalangan, kita malah sering merasa tersesat dalam kebijakan yang berubah-ubah, penuh jargon, tapi minim dampak nyata.

Tenang, ini bukan kritik serius. Ini cuma usaha mentertawakan diri sendiri sambil merenung, kenapa pendidikan kita seperti drama tanpa akhir yang penuh plot twist.

Zaman Belanda: Guru Sebagai Sosok Mulia

Di masa kolonial, guru memiliki peran sentral. Mereka adalah sosok terhormat, bukan hanya karena tugasnya mengajar, tetapi juga karena kemampuannya membangun karakter murid. Anak-anak diajarkan disiplin, menghormati orang lain, dan memahami tanggung jawab.

Meski pendidikan hanya tersedia bagi segelintir orang, kualitasnya diakui. Kurikulum sederhana---membaca, menulis, berhitung, dan memahami lingkungan. Tidak ada beban administrasi yang membuat guru stres atau tuntutan nilai yang membuat murid kebingungan.

Zaman Sekarang: Guru Sibuk Administrasi, Murid Sibuk Nilai

Setelah kemerdekaan, akses pendidikan dibuka untuk semua. Tapi, kualitas pendidikan justru terasa berjalan di tempat. Guru yang dulu fokus mendidik kini lebih banyak sibuk mengisi laporan dan administrasi. Kurikulum sering kali berubah seiring pergantian menteri, dan setiap perubahan disertai jargon bombastis yang sulit dipahami.

Murid juga tidak kalah bingung. Mereka dikejar angka dan ranking, tapi sering kehilangan esensi belajar. Karakter yang dulu jadi pilar pendidikan kini sering terabaikan. Kita fokus pada hafalan dan hasil tes, tapi lupa membangun pemikiran kritis dan keterampilan hidup.

Semua Ingin ke Universitas, Pendidikan Kejuruan Tertinggal

Salah satu dilema besar adalah rendahnya perhatian pada pendidikan vokasi atau kejuruan. Semua orang berlomba masuk universitas, seolah-olah gelar akademik adalah satu-satunya jaminan masa depan. Padahal, tidak semua pekerjaan membutuhkan gelar tinggi, dan banyak peluang kerja yang justru memerlukan keterampilan praktis.

Ironisnya, bahkan pendidikan vokasi sekarang sering dipaksakan mengikuti pola universitas. Tugas akhir yang seharusnya sederhana malah dijadikan bak penelitian ilmiah. Bukannya melahirkan tenaga kerja terampil, kita justru membuat pendidikan vokasi menjadi ladang stres baru bagi mahasiswa.

Lalu bagaimana dengan penelitian? Banyak penelitian di Indonesia, termasuk yang dilakukan oleh mahasiswa dan dosen, sering hanya berhenti di perpustakaan. Formalitas diutamakan, tapi manfaatnya jarang terasa. Bahkan untuk tingkat doktor sekalipun, tidak sedikit penelitian yang sekadar memenuhi syarat administratif tanpa memberikan dampak nyata.

Semua Dosen Harus Meneliti, Tapi Apa Hasilnya?

Saat ini, dosen sering dibebani kewajiban untuk menjadi peneliti. Padahal, tidak semua dosen berbakat atau berminat dalam penelitian. Sebagian besar dari mereka sebenarnya lebih unggul dalam mengajar atau membimbing mahasiswa secara langsung.

Namun, sistem pendidikan kita memaksa semua dosen untuk menghasilkan publikasi, seolah-olah itu adalah satu-satunya tolok ukur kualitas. Akibatnya, banyak penelitian yang dilakukan asal-asalan hanya untuk memenuhi syarat. Dalam beberapa kasus, penelitian bahkan menjadi ladang bisnis baru, di mana prosesnya lebih menguntungkan pihak tertentu daripada menghasilkan inovasi yang berguna.

Makan Siang Gratis: Harapan atau Slogan?

Di tengah semua dilema ini, muncul program makan siang gratis untuk murid sekolah, sebagai bagian dari upaya mencapai "Indonesia Emas 2045". Tujuannya mulia---agar murid tidak hanya pintar, tapi juga sehat.

Tapi, jangan sampai ini hanya jadi mimpi di siang bolong yang penuh slogan. Makan siang bergizi memang penting, tapi tanpa perbaikan sistem pendidikan secara menyeluruh, semua ini hanya akan jadi tambal sulam. Bayangkan, murid kenyang, tapi guru masih sibuk mengojek, kurikulum masih membingungkan, dan penelitian masih "mengisi perpustakaan tanpa makna."

Apa yang Bisa Dilakukan?

Daripada terus-menerus menyalahkan, mari fokus pada solusi:

1.Perkuat Pendidikan Vokasi
Pendidikan kejuruan harus diperkuat dengan orientasi pada keterampilan praktis. Jangan memaksakan pola akademik yang tidak sesuai, apalagi membuat tugas akhir menjadi beban.

2.Berikan Guru Kehidupan yang Layak
Guru adalah pilar pendidikan. Berikan mereka pelatihan berkualitas, tunjangan memadai, dan kurangi beban administrasi yang tidak relevan.

3.Fokus pada Karakter dan Keterampilan Hidup
Pendidikan tidak hanya soal nilai akademik, tapi juga membangun karakter dan keterampilan hidup. Kita butuh generasi yang mampu berpikir kritis, berinovasi, dan berempati.

4.Berhenti Berubah Hanya Karena Ganti Menteri
Konsistensi kebijakan sangat penting. Pendidikan tidak bisa maju jika setiap lima tahun berubah arah.

5.Evaluasi Penelitian Akademik
Penelitian harus diarahkan pada dampak nyata, bukan sekadar memenuhi angka. Tidak semua dosen harus menjadi peneliti; biarkan mereka fokus pada keahlian masing-masing, baik itu mengajar, membimbing, atau mengembangkan komunitas.

Kesimpulan: Tertawa Sambil Optimis

Pendidikan Indonesia memang penuh ironi dan dilema, tapi itu bukan alasan untuk kehilangan harapan. Guru-guru yang berdedikasi, murid yang semangat belajar, dan masyarakat yang peduli adalah modal utama kita.

Mari kita berhenti menjadikan pendidikan sebagai sekadar slogan atau alat politik, dan mulai menjadikannya prioritas nyata. Sampai saat itu tiba, mari tertawa bersama---bukan untuk mengejek, tapi untuk tetap optimis menghadapi tantangan. Siapa tahu, suatu hari nanti "Indonesia Emas 2045" benar-benar bukan sekadar mimpi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun