Turki merupakan negara yang selalu menarik untuk dikunjungi. Negeri dengan kota -kota yang indah dan masyarakat yang ramah serta kuliner yang lezat dan budaya yang kaya dan beragam.
Akan tetapi Turki juga menarik karena memiliki mata uang yang nilai nya memiliki sejarah panjang mengalami  depresiasi yang tinggi dan  inflasi yang cukup signifikan.
Ketika pertama kali ke Turki di akhir abad 20 lalu, saya cukup kaget mengalami naik taksi berjuta-juta dan bahkan untuk ke toilet umum juga harus membayar ratusan ribu Lira. Kala itu nilai tukar Lira sekitar 500 ribu Lira per 1 US Dolar. Â Namun dalam kunjungan berikut sekitar tahun 2010 nilai Lira tiba tiba saja berubah, 1 USD harganya sekitar 1,6 atau 1,7 Lira saja. Â Ternyata Lira telah mengalami perubahan nilai dengan menghilangkan enam nol. Â Namun nilai ini tidak bertahan terlalu lam, pada kunjungan tahun 2018 nilai Lira sudah lumayan terpuruk di 4 Lira per USD.. dan berita terakhir saat ini nilai lira sudah sekitar 34 Lita per USD. Â
Lalu apa hubungannya dengan Erdogan dan Assad? Kita baru saja disuguhi berita kejatuhan Assaad di Suriah setelah Ia mewarisi kekuasaan sang ayah dan ayah anak ini berkuasa sekitar setengah abad di negeri yang dulu disebut Syam. Â
Yuk kita ulas apakah Erdogan yang juga begitu kuat dan cukup lama berkuasa di Turki bisa jatuh, baik karena ekonomi atau pengaruh asing.
Ketika membandingkan nasib Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dengan Bashar al-Assad dari Suriah, banyak faktor baik politik, ekonomi, maupun sosial yang membuat skenario ini layak dianalisis.
Sejarah menunjukkan bahwa pemimpin otoriter cenderung menghadapi tantangan besar ketika dukungan domestik goyah atau intervensi luar menjadi tak terhindarkan. Namun, perbandingan ini juga menunjukkan bahwa nasib Erdogan bisa jadi sangat berbeda dan sama sekali tidak bisa disandingkan dengan Asaad.
Erdogan dan Assad: Kesamaan dan Perbedaan
1.Dukungan Internasional:
*Assad: Ketika pemberontakan di Suriah dimulai pada 2011, banyak negara Barat dan regional, termasuk Turki, mendukung oposisi. Namun, Assad bertahan karena dukungan dari Rusia dan Iran, yang melakukan intervensi militer langsung untuk melindungi rezimnya.
*Erdogan: Hubungan Turki dengan Barat, meskipun tegang, jauh lebih kompleks. Sebagai anggota NATO, Turki memiliki posisi strategis yang sulit diabaikan, terutama dalam konflik seperti perang Rusia-Ukraina. Meski demikian, kebijakan Erdogan yang sering bertentangan dengan sekutu Barat---termasuk akuisisi sistem pertahanan Rusia---membuat hubungan ini penuh risiko.
2.Kondisi Internal:
*Assad: Rezim Assad menghadapi pemberontakan luas yang diperburuk oleh ketegangan sektarian. Populasi Sunni mayoritas merasa terpinggirkan oleh minoritas Alawi yang menguasai kekuasaan.
*Erdogan: Sementara itu, Erdogan menghadapi perpecahan politik yang lebih ideologis. Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) memiliki basis dukungan kuat di kalangan konservatif dan pedesaan, tetapi oposisi urban yang sekuler semakin bersatu.
3.Kekuatan Militer:
*Assad: Ketika konflik Suriah dimulai, banyak anggota militer membelot ke oposisi, menciptakan perang saudara.
*Erdogan: Setelah upaya kudeta pada 2016, Erdogan memperkuat kontrol atas militer, memastikan kesetiaan mereka melalui pembersihan besar-besaran dan reformasi struktural.
Pembelajaran dari Negara-Negara Lain
Sejarah memberikan banyak pelajaran tentang bagaimana pemimpin seperti Erdogan dapat bertahan atau jatuh:
1.Libya (Muammar Gaddafi):
Gaddafi jatuh setelah pemberontakan yang didukung NATO pada 2011. Isolasi diplomatik, represi domestik, dan ketidakpuasan ekonomi menjadi penyebab utama.
*Erdogan berada dalam posisi yang lebih kuat secara geopolitik. Turki adalah pusat transit energi, memiliki ekonomi besar, dan memainkan peran penting di Timur Tengah dan Eropa.
2.Mesir (Hosni Mubarak):
Mubarak digulingkan dalam Arab Spring karena tekanan rakyat yang kecewa dengan ekonomi dan represi politik.
*Seperti Mubarak, Erdogan menghadapi inflasi tinggi dan ketidakpuasan ekonomi. Namun, ia berhasil meredam protes besar-besaran melalui kebijakan populis, seperti menaikkan upah minimum dan menggenjot investasi publik.
3.Iran (Shah Mohammad Reza Pahlavi):
Shah Iran digulingkan pada 1979 setelah revolusi besar-besaran yang didukung lintas kelas. Ketidakpuasan ekonomi dan keterputusan dengan rakyat menjadi katalis revolusi tersebut.
*Erdogan, meski dikritik, terus membangun hubungan emosional dengan rakyat melalui narasi nasionalisme dan Islamisme. Ini membuatnya lebih dekat dengan rakyat dibanding Shah.