"Kita tidak boleh mengambil foto di jembatan yang dijaga tentara dan untuk masuk paspor akan ditahan dan dikembalikan ketika keluat nanti," demikian penjelasan mas Agus.
Ternyata pengalaman kami sedikit berbeda, untuk masuk ke bazaar,  paspor dan GBAO Permit  masing-masing difoto oleh tentara perempuan yang cantik di pintu gerbang yang dihiasi  kawat berduri.
Pasar atau Afghan Bazaar ini merupakan lokasi khusus tempat warga Afghan dan Tajik serta wisatawan asing dapat berinteraksi di perbatasan Afghanistan Tajikistan. Kebanyakan penjual merupakan warga Afghanistan yang hanya bisa masuk ke Bazaar ini tetapi tidak bisa masuk ke wilayah Tajikistan.Â
Lelaki berjanggut dan berewok lebat  dengan pakaian salwar gamis berkeliaran di pasar ini. Ada yang etnis pasthun, sebagian ada juga etnis Hazara yang khas dengan paras Mongoloid.
Berbagai jenis barang dagangan baik pakaian baru atau bekas, sepatu, topi, tas, kerajinan tangan dan pakaian tradisional dapat ditemukan di sini. Â Maya, salah seorang peserta yang paling rajin berbelanja, sempat membeli sebuah tas cantik dengan harga 150 Somoni. Â Dengan bangga dia juga menunjukkan beberapa lembar uang Afghani (mata uang Afghanistan) yang didapat dari kembalian transaksi. Â Di sini memang berlaku dua jenis mata uang; Somoni Tajikistan dan Afghani Afghanistan .
Kalau kebetulan haus, kita  dapat membeli minuman kaleng produk Afghanistan. Harganya sekitar 5 Somoni dan kita juga bisa bertransaksi dengan mata uang Afghani.
Asyiknya warga Afghanistan ini juga sangat suka difoto atau mengajak kami berfoto. Apalagi dengan Maya yang menjadi primadona. Mungkin mereka jarang melihat perempuan dengan penampilan modis tanpa hijab dan burka.
Makan siang dengan menu saslik atau sate khas Afghanistan serta buah semangka dan melon terasa sangat menyegarkan di bawah teriknya matahari Pamir. Â Matahari memang sangat panas menyengat sementara udara cukup sejuk bila ada hembusan angin. Sayangnya di Bazaar ini angin jarang berhembus. Â Yang membuat sebagian harus mengernyitkan dahi adalah jika harus berkunjung ke Xojatxona atau toilet. Â Walau harus membayar 2 Somoni, kondisinya sangat mengerikan karena tanpa air sama sekali.
Di sepanjang perjalanan di lembah Wahan ini pula kami mendengarkan dan menyaksikan sekilas sejarah dan kisah tentang garis batas yang cukup mengharukan.
Mas Agus sendiri bercerita seperti yang pernah ditulisnya di buku Garus Batas bahwa Sungai Amur Daryadi sepanjang perbatasan ini sejatinya bak cermin. Bahkan nama -nama tempat di Afghanistan dan Tajikistan sepanjang koridor ini juga sama.Â