"Kita tidak boleh mengambil foto di jembatan yang dijaga tentara dan untuk masuk paspor akan ditahan dan dikembalikan ketika keluat nanti," demikian penjelasan mas Agus.
Ternyata pengalaman kami sedikit berbeda, untuk masuk paspor dan GBAO masing-masing difoto oleh tentara di pintu gerbang dari kawat berduri.
Lelaki berjanggut dan berewok kebat dengan pakaian salwar gamis berkeliaran di pasar ini. Ada yang etnis pasthun, sebagian ada juga etnis Hazara yang khas dengan paras Mongoloid.
Berbagai jenis barang dagangan baik pakaian baru atau bekas, sepatu, topi, tas, kerajinan tangan dan pakaian tradisional dapat ditemukan di sini.
Kalau haus dapat membeku minuman kaleng produk Afghanistan. Harganya sekitar 5 Somoni dan kita juga bisa bertransaksi dengan mata uang Afghani.
Asyiknya warga Afghanistan ini juga sangat suka difoto atau mengajak kami berfoto. Apalagi dengan Maya yang menjadi primadona. Mungkin mereka jarang melihat perempuan dengan penampilan modis tanpa hijab dan burka.
Makan siang dengan menu saslik atau sate khas Afghanistan serta buah semangka dan melon terasa sangat menyegarkan di bawah teriknya matahari Pamir.
Di sepanjang perjalanan di lembah Wahan ini pula kami mendengarkan dan menyaksikan sekilas sejarah dan kisah tentang garis batas yang cukup mengharukan.