Â
Berita meninggalnya seorang taruna karena penganiayaan oleh senior di Sekolah Tinggi Iilmu Pelayaran sedang hangat dibicarakan dan  menjadi perhatian publik. Akibatnya, sistem dan tradisi yang ada di sekolah-sekolah kedinasan berasrama  pun menjadi sorotan. Lalu seperti apakah sebenarnya tradisi turun temurun yang terus dilestarikan di sekolah sekolah tersebut? Yuk sejenak kita ikuti kisah nyata berdasarkan pengalaman beberapa puluh tahun yang lalu di salah satu sekolah kedinasan tersebut.
Â
Mari kita kembali menerawang ke masa lebih dari 40 tahun yang lalu, tepatnya Januari  1981.  Saya masih ingat tanggal 17 Januari 1981 adalah hari pertama saya masuk ke kampus Curug sebagai calon taruna setelah sebelumnya beberapa kali mampir ke sana dalam proses pendaftaran.  Walau proses pendaftaran sudah dimulai sejak pertengahan 1980 tetapi surat panggilan untuk masuk kampus baru diterima sekitar Desember 1980 dan 17 Januari 1981 menjadi hari pertama masuk kampus.
Â
Kampus Curug yang sekarang bernama Politeknik Penerbangan Indonesia (PPI) kala itu bernama PLP atau Pendidikan  dan Latihan Penerbangan. Sekolah penerbangan ini memang sudah berganti nama beberapa kali sejak didirikan pada tahun 1952 dengan nama Akademi penerbangan Indonesia (API).  Â
Seiring perjalanan waktu sekolah ini sempat berganti nama menjadi Lembaga Pendidikan Perhubungan Udara, (LPPU), Pendidikan dan Latihan Penerbangan (PL P), Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI), dan Politeknik Penerbangan Indonesia (PPI ).
Â
Setelah beberapa belas jam menuju kampus dengan jalan darat dan laut saya tiba di pintu gerbang kampus jalan naik kendaraan umum.  Dari jalan raya Tangerang Jakarta yang bernama simpang Bitung, letak kampus berada sekitar 9 atau 10 kilometer di sebelah selatan.  Sejak di titik in, para  calon taruna harus menghadapi 'perpeloncoan' yang unik dan sukar dilupakan karena memang berbeda dengan di kampus biasa.Â
Â
Sejak dari pintu gerbang, para catar atau calon taruna sudah disambut dengan tradisi khas Curug, yaitu, jalan jongkok dengan memanggul koper menuju ke tempat pendaftaran ulang, gedung serba guna yang jaraknya lumayan jauh, masih beberapa ratus meter dari pintu herbang. Lumayan melelahkan dan membuat hati langsung ciut. Namun untuk yang berpikiran positif, ini merupakan ajang penempaan fisik dan mental.Â
Â
Hal yang juga tidak bisa dilupakan adalah ketika para calon taruna juga harus kembali berjalan jongkok sambil memanggul koper ketika masuk ke barak masing-masing. Â Kebetulan saya dan beberapa teman satu angkatan ditempatkan di barak India yang cukup jauh di dalam karena nama-nama barak dimulai dari Alfa, Bravo, Charles, Delta, dan seterusnya . Â
Â
Sambil berjalan jongkok di koridor barak yang panjang ini pula kami mulai mengalami perundungan secara verbal lengkap dengan intimidasi yang membuat hati bergetar. Â Namun kebanyakan hanya merupakan ujian mental saja. Â
Â
Hari-hari  pertama di kampus memang bak neraka bagi sebagian besar calon taruna.  Apa lagi bagi yang diantarkan orang tua dengan kendaraan pribadi yang relatif mewah biasanya akan dicatat nama dan lokasi baraknya dan biasa nya akan rajin dikunjungi senior untuk mendapat perlakuan khusus. Tidak mengherankan jika sebagian dari mereka ada yang mengundurkan diri. Â
Â
Program pertama kami di kampus dalam satu minggu pertama kala itu dinamakan Pekan Jativani. Pada masa ini semua calon taruna diwajibkan mengikuti rentetan acara pengenalan kampus dasar-dasar baris berbaris dan juga kedisiplinan lainnya.  Namun yang paling sulit dilupakan adalah setiap malam kami harus  melewati acara tidak resmi perkenalan dengan senior yang mendatangi barak-barak dengan segala perbuatan yang kadang membuat kami takut.  Banyak sekali latihan dan kegiatan yang cukup menuras energi dan tenaga dan kegiatan ini diakhiri dengan berjalan kaki atau baris berbaris lebih dari 20 kilometer dari kawasan di luar kampus. Â
Â
Sering kali kami diperintahkan untuk berbaris di depan barak masing-masing dan kemudian ditanya asal daerah, nama dan bahkan berbaris rapi sambil berhitung dengan bahasa daerah masing-masing. Â Nah di sinilah banyak kelucuan yang terjadi sehingga masih diingat sampai sekarang. Misalnya seorang teman yang berasal dari tanah Sunda berhitung dua hiji setelah angka dua puluh dan ada hitungan dari berbagai bahasa daerah yang lain.
Â
Â
Masih banyak lagi berbagai jenis hukuman yang sering diterima yunior yang pada umumnya berupa hukuman fisik seperti push up atau squat jump atau sekedar lucu-lucuan dan menghibur seperti disuruh bernyanyi atau menari. Â Yang jelas memang semua perintah harus dipatuhi agar tidak mendapat hukuman tambahan.
Â
Dalam kegiatan ini pula  kekerasan sering terjadi seperti pemukulan yang untungnya di  kampus kami masih bisa dikendalikan dengan baik sehingga tidak pernah melampaui batas. Apalagi sampai memakan korban jiwa. Yang banyak terjadi adalah ada sebagian yang mengundurkan diri saja dengan alasan tidak sanggup terus belajar di sini. Â
Â
Â
Ternyata melalui kunjungan yang cukup sering ini setiap malam dan dilanjutkan dengan interaksi selama belajar, pada umumnya kami cukup mengenal sesama taruna baik yang satu angkatan maupun para senior walau dari berbagai jurusan pendidikan yang berbeda. Â Di kampus Curug ini ada beberapa jurusan baik penerbang, teknik pesawat udara, teknik listrik bandara dan juga operasional penerbangan seperti pengatur lalu lintas udara atau ATC.
Â
Tradisi ini terus berjalan, taruna yang baru masuk berstatus junior pun akan  berubah menjadi senior ketika kemudian taruna yang lebih yunior batu masuk. Hal ini langsung tampak kasar mata dengan epaulet yang dipakai pada seragam sehari-hari PDH (pakaian dinas harian) maupun PDUK (pakaian dinas upacara kecil) dan PDUB (pakaian dinas upacara. Besar)  dengan bar satu, dua, atau tiga yang menunjukkan senioritas seorang taruna di kampus .
Â
Lalu apakah selama belajar di kampus saya pernah mengalami kekerasan secara fisik? Â Jawabannya pernah, namun masih dalam tahap wajar dan sama sekali tidak berbahaya atau menyebabkan luka. Â Sebatas latihan fisik dan mungkin mental yang bahkan menyebabkan kita lebih mengenal dengan senior tersebut. Â
Pada gilirannya, ketika menjadi senior, memang ada sebagian teman yang sekan-akan ingin membalas dendam dengan memperlakukan hal yang sama seperti yang dulu dialami sewaktu baru masuk sebagai taruna yunior. Namun karena pihak pembina kampus juga sudah memperingati agar jangan sampai ada kekerasan fisik yang melampaui batas, pada umumnya selama saya belajar dan kemudian sampai  lulus pun belum pernah mendengar adanya kasus seperti yang terjadi di kampus lain.  a
Â
Selain itu ada juga pengalaman yang menarik selama belajar di sini.  Dalam rangka mempererat persahabatan, kami  juga pernah bertandang ke kampus lain seperti misalnya ke PLAP yang untuk pertandingan olah raga.  Pada masa itu kampus PLAP yang dulunya bernama AIP berada di kawasan Gunung Sahari di Ancol sebelum pindah ke lokasinya sekarang ini.  Uniknya ketika itu mereka berseragam celana pendek untuk pakaian sehari hari. Â
Â
Demikian sekilas pengalaman belajar di sekolah kedinasan berasrama yang konon memiliki tradisi hubungan senior dan yunior yang unik.  Di kampus Curug, berita dan kisah misteri dan gaib sebenarnya jauh lebih marak dibandingkan dengan kisah kekerasan sesama taruna.  Â
Â
Semoga tradisi kekerasan sudah tidak ada lagi termasuk yang sampai memakan korban. Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H