Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Ini Alasan Gereja Kristen Pasundan di Depok Tidak Berbahasa Sunda

19 Desember 2023   15:13 Diperbarui: 19 Desember 2023   15:24 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu, saya berangkat menuju stasiun Depok Lama atau Depok saja dan kemudian menuju tempat berkumpul di sebuah cafe tidak jauh dari stasiun.  Di sini sudah berkumpul sebagian besar peserta tur yang akan dipandu oleh Mas Adjie, pemandu wisata yang sangat mumpuni mengenai kawasan kota Depok dan kebetulan juga berdomisili di Depok.


Sekitar pukul 9.45 pagi acara pengayaan bertajuk Jelajah Belanda Depok yang diselenggarakan oleh DPP Himpunan Pramuwisata Indonesia DKI Jakarta dimulai langsung di destinasi  pertama yang dikunjungi, yaitu GKP atau Gereja Kristen Pasundan Depok.

Kebetulan gereja ini lokasinya sangat dekat dengan stasiun Depok arah keluar menuju Jalan Kartini.

 Tampak Muka : dokpri
 Tampak Muka : dokpri

Kami berkumpul di halaman gereja yang cukup luas dan disambut oleh Pak Hendra yang merupakan pengurus gereja ditemani seorang balak dari dinas pariwisata Kota Depok.

Sekilas, tampak muka bangunan gereja tampak sederhana dengan warna krem yang mendominasi.  Pintu masuknya berukuran tidak terlalu besar dengan hiasan berbentuk lengkungan di atasnya.  Pintu ini di apit dengan sepasang ornamen berbentuk salib yang terbuat dari kaca. Di bagian tengah, tertulis nama gereja yaitu GKP Jamaat Depok.

 Di halaman Gereja: dokpri
 Di halaman Gereja: dokpri

Pak Hendra kemudian menceritakan sekilas mengenai sejarah gereja yang konon merupakan salah satu yang tertua di Depok.


Secara resmi GKP Jamaat Depok ini diresmikan pada 6 September 1953 karena pada saat itu diselenggarakan kegiatan  ibadah pertama di tempat ini.

Namun sebenarnya di sini sebelumnya juga sudah ada kegiatan lain yang berhubungan dengan keagamaan seperti klinik dan juga konon seminari pertama di Depok yang kemudian menjadi cikal bakal sekolah tinggi teologi yang ada di Jakarta.

Kami kemudian  memasuki ruangan gereja yang tidak terlalu luas tetapi terasa cukup asri dan cantik. Melewati pintu kita akan sampai ke tembok atau dinding penghalang yang dilapisi kayu warna plitur coklat dengan tulisan GKP Jamaat Depok dari kuningan.

Dinding  penghalang itu ternyata tidak memiliki maksud tertentu dan dibuat hanya dengan tujuan kenyamanan dan ketenangan sewaktu beribadah saja.


Deretan kursi untuk jemaat berbaris  rapi dan kedua sisi gereja terbuat dari dinding yang memiliki ornamen dari anyaman bambu yang memberikan nuansa  tradisional khas tanah Pasundan.

Interior gereja: dokpri 
Interior gereja: dokpri 

Mimbar atau altar gereja tampak sederhana dengan sebuah salib ukuran besar menjadi latar belakang.

Pak Hendra juga sekilas menjelaskan  perbedaan penampakan gereja Protestan dan Katolik, yaitu tidak adanya patung Kristus dan juga patung orang suci di gereja Protestan.

Warna  ungu juga sangat dominan di interior gereja seperti pada spanduk yang ada di belakang altar. Salah satunya bertuliskan nukilan ayat Alkitab  : "Kemuliaan bagi Allah dan Damai Sejahtera di
Bumi,"

Selain itu juga ada mimbar yang diselimuti kain warna ungu berhiaskan salib warna putih. Di depannya ada meja altar bertaplak  kain warna ungu dengan sebuah kitab besar yang  terbuka dan juga dekorasi lilin sebagai pemanis di dekatnya.

Suasana perayaan Natal sudah semarak di gereja ini. Di sini pula peserta dipersilahkan untuk bertanya dan berdiskusi.  Bahkan  sempat juga diperlihatkan sebuah foto tua  gereja ini sebelum direnovasi.

 foto tia GKP Depok:  dok GKP Depok
 foto tia GKP Depok:  dok GKP Depok


Menurut  Pak Hendra, bangunan ini pernah diusulkan untuk menjadi cagar budaya, namun karena sudah tidak asli lagi maka hanya bisa dimasukkan ke dalam wilayah cagar budaya di kawasan kota Depok Lama.

Keberadaan gereja ini dan banyaknya gereja -gereja di kawasan Depok Lama ini memang tidak dapat dipisahkan dari sejarah kawasan Depok Lama  yang penduduknya sering diplesetkan  sebagai Belanda Depok. Namun pada kunjungan kali ini pula kamu mendapat informasi bahwa mereka sendiri tidak suka disebut dengan Belanda Depok.  Wah kalau begitu tajuk jalan-jalan kami kali ini terasa kurang tepat?

Dan sebagai informasi tambahan  yang diberikan oleh Pak Hendra adalah tentang nama Pasundan pada gereja ini. Bila di gereja lain nama yang bersifat kedaerahan ini bisa menandakan ciri etnis dan juga bahasa pengantar yang dipakai dalam beribadah, maka nama Pasundan di gereja ini hanya menunjukkan kewilayahan karena jemaatnya sendiri terdiri dari berbagai etnis dan kebetulan jarang yang beretnis Sunda. Sehingga di GKP Depok ini ibadah diselenggarakan dengan bahasa Indonesia.

 Foto bersama : HPI 
 Foto bersama : HPI 

Setelah sekitar 45 menit di gereja ini, kami mohon pamit untuk melanjutkan anjangsana ke destinasi berikutnya dengan berjalan kaki menyusuri kota Depok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun