Perjalanan di museum berlanjut ke ruang berikut di mana ada sebuah gambar gubernur Jendral Hindia Belanda dan kutipan dari Max Havelaar: "Kepada Anda saya  bertanya  dengan penuh keyakinan: Apakah kerajaan  Anda ingin membuat lebih dari tiga puluh juta rakyat di Hindia Timur ditindas dan dihisab atas nama Anda?"
Pada gambar lain juga ada hirarki pemerintahan pada zaman itu dimana gubernur jendral adalah yang tertinggi dan kemudian bercabang dua yaitu jalur Belanda dan kaum bangsawan :  pada jalur  Belanda ini ada pangkat Residen, Asisten Residen, Controller dan  Asisten Controller sementara pada jalur lokal ada pangkat Bupati ,Patih , Wedana dan Asisten Wedana.
Selama berada di museum ini, saya seakan-akan  terlempar ke masa lalu, dari satu ruang ke ruang lain dan melihat kembali masa lampau  dari kacamata masa kini.
Pada sebuah rak, dipajang berbagai edisi buku Max Havelaar baik dalam bahasa Indonesia dan ada juga yang dalam bahasa Belanda. Â Buku ini bisa kita buka, baca dan simak asalkan tidak dibawa pulang.
Di dalam ruangan lain, terdapat berbagai kutipan pendapat tokoh seperti RA Kartini, Pramoedya Ananta Toer dan bahkan sosok  perintis kemerdekaan Filipina,Jose Rizal yang terkenal dengan karyanya Noli me Tangere dan El Filibusteresmo.
Namun yang paling mengesankan adalah ujaran Achmad Subardjo, tokoh perintis kemerdekaan yang pernah menjadi Perdana Menteri:
"Max  Havelaar menyentuh lubuk  hatiku,  Aku turut merasakan ketidakadilan terhadap rakyat yang dilakukan penguasa -penguasa dari bangsanya sendiri dan Tuan-tuan besar Belanda"
Di ruangan lain, tersedia lintasan sejarah yang berhubungan dengan Lebak dan Rangkasbitung, terutama mengenai perjuangan melawan Belanda. Â Misalnya saja Haji Wakhia pada 1854 dan juga Nyimas Gamparan pada 1829 -1830. Â Namun yang paling terkenal adalah pemberontakan Petani di Banten pada 1888.Â