Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Rahasia Museum Multatuli yang Tidak Diajarkan di Sekolah

30 Juni 2022   20:19 Diperbarui: 1 Juli 2022   14:32 1501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah lama  sebenarnya saya ingin beranjangsana ke Rangkasbitung dengan tujuan  utama mampir ke Museum Multatuli yang didirikan sejak 2018 lalu.  Kunjungan  terakhir saya ke Rangkas adalah sekitar tahun 2016 atau 2017.

Dari jalan tol Tangerang Merak, kendaraan belok ke kiri di sekitar Km 62 mengikuti arah Rangkasbitung-Tanjung lesung melalui jalan tol yang baru tahun 2021 lalu diresmikan. Asyiknya, jalan tol ini masih sepi kendaraan sehingga dapat melaju lancar menuju Rangkasbitung.

Lokasi museum yang ada tepat di depan alun-alun memang sangat strategis. Tempat parkir juga tersedia luas  di depan alun-alun.

"Museum Multatuli," demikian deretan huruf-huruf besar yang  ada di depan bangunan yang tampak manis berhias pendopo. Di sebelahnya ada  bangunan yang merupakan perpustakaan Saijah  dan Adinda.

Perpustakaan
Perpustakaan": Dokpri

Nama Saijah dan Adinda mengingatkan saya akan tokoh-tokoh yang diceritakan dalam buku Max Havelaar, karangan Multatuli.

Di pendopo, kami hanya mengisi buku tamu dan tidak dipungut biaya sama sekali.  Pengunjung juga diberi dua buah leaflet yang menjelaskan sekilas  tentang Multatuli dan museumnya.

Mozaik: Dokpri
Mozaik: Dokpri

Gambar Multatuli berbentuk mozaik kaca menyambut di ruang pertama museum. Selain itu ada juga sebuah maket museum dan tulisan; Tugas Manusia adalah Menjadi Manusia.

Di ruangan berikutnya, dipamerkan replika kapal-kapal VOC yang digunakan Belanda zaman dulu dan penjelasan mengenai komoditas rempah-rempah seperti pala, kayumanis, cengkeh dan lada. Di sini, pengunjung dapat mempelajari kembali sejarah masuknya Belanda ke Nusantara dalam rangka mencari rempah-rempah. 

Kapal VOC: Dokpri
Kapal VOC: Dokpri

Perjalanan di museum berlanjut ke ruang berikut di mana ada sebuah gambar gubernur Jendral Hindia Belanda dan kutipan dari Max Havelaar: "Kepada Anda saya  bertanya  dengan penuh keyakinan: Apakah kerajaan  Anda ingin membuat lebih dari tiga puluh juta rakyat di Hindia Timur ditindas dan dihisab atas nama Anda?"

Gub Jendral: Dokpri
Gub Jendral: Dokpri

Pada gambar lain juga ada hirarki pemerintahan pada zaman itu dimana gubernur jendral adalah yang tertinggi dan kemudian bercabang dua yaitu jalur Belanda dan kaum bangsawan :  pada jalur  Belanda ini ada pangkat Residen, Asisten Residen, Controller dan  Asisten Controller sementara pada jalur lokal ada pangkat Bupati ,Patih , Wedana dan Asisten Wedana.

Selama berada di museum ini, saya seakan-akan  terlempar ke masa lalu, dari satu ruang ke ruang lain dan melihat kembali masa lampau  dari kacamata masa kini.

Max Havelaar: Dokpri
Max Havelaar: Dokpri

Pada sebuah rak, dipajang berbagai edisi buku Max Havelaar baik dalam bahasa Indonesia dan ada juga yang dalam bahasa Belanda.  Buku ini bisa kita buka, baca dan simak asalkan tidak dibawa pulang.

Di dalam ruangan lain, terdapat berbagai kutipan pendapat tokoh seperti RA Kartini, Pramoedya Ananta Toer dan bahkan sosok  perintis kemerdekaan Filipina,Jose Rizal yang terkenal dengan karyanya Noli me Tangere dan El Filibusteresmo.

Namun yang paling mengesankan adalah ujaran Achmad Subardjo, tokoh perintis kemerdekaan yang pernah menjadi Perdana Menteri:

"Max  Havelaar menyentuh lubuk  hatiku,  Aku turut merasakan ketidakadilan terhadap rakyat yang dilakukan penguasa -penguasa dari bangsanya sendiri dan Tuan-tuan besar Belanda"

Pemberontakan Petani Banten 1888: Dokpri
Pemberontakan Petani Banten 1888: Dokpri

Di ruangan lain, tersedia lintasan sejarah yang berhubungan dengan Lebak dan Rangkasbitung, terutama mengenai perjuangan melawan Belanda.  Misalnya saja Haji Wakhia pada 1854 dan juga Nyimas Gamparan pada 1829 -1830.  Namun yang paling terkenal adalah pemberontakan Petani di Banten pada 1888. 

Namun ada lagi sebuah fakta yang sedikit mengejutkan, yaitu tentang salah seorang tokoh yang diangkat menjadi Bupati karena berhasil memadamkan pemberontakan Nyai Gamparan. Singkatnya, bisa dikatakan bahwa dalam melanggengkan kekuasaan di Nusantara, Belanda juga banyak mendapat bantuan tokoh setempat.

Berkunjung ke museum ini, kita juga diperkenalkan dengan sosok dan tokoh yang pernah bersinggungan dengan Rangkasbitung dan Lebak, di antara nya penyair Rendra yang hadir dengan puisi Orang-orang Rangkasbitung, Tan Malaka yang beberapa kali mampir ke Rangkas, dan juga Eugenia van Beers yang lahir di Rangkasbitung pada 1914 dan kemudian menikah dengan Jan Van Halen dan kemudian anak mereka mendirikan grup musik Van Halen.

Orang-Orang Rangkasbitung: Dokpri
Orang-Orang Rangkasbitung: Dokpri

Berkunjung ke sini, bukan hanya kita lebih mengetahui sedikit banyak tentang Multatuli atau Eduard Douwes Dekker, tetapi juga dapat melihat beberapa benda peninggalan zaman dahulu seperti sebuah prasasti dari zaman Tarumanegara, kostum bupati Lebak era zaman baheula dan juga bahkan sebuah potongan ubin rumah Multatuli.

Di bagian belakang museum ada sebuah peta yang menggambarkan lokasi wisata di kabupaten Lebak. Sayang, Saya hanya sempat mampir ke beranda perpustakaan Saijah dan Adinda dan kantin, karena perpustakaan sedang tutup. Di sini ditampilkan gambar deretan bupati Lebak sejak awal abad ke 19 hingga sekarang.

Hujan rintik mulai membasahi bumi Lebak, saya kemudian mampir ke halaman museum dan melihat patung Multatuli yang sejak duduk membaca. Di dekatnya  juga ada patung Saijah. Sekali lagi saya masuk ke beranda museum dan menemukan kutipan dari buku Max Havelaar:

"Saya tahu, saya tahu pembaca! Tulisan saya ini membosankan. (Max havelaar -- Multatuli)

Max Havelaar: Dokpri
Max Havelaar: Dokpri

Di pendopo, ada perangkat alat musik tradisional dan yang membuat saya sedikit kaget adalah perkataan salah seorang petugas museum yang menyatakan bahwa museum ini mungkin akan ditutup karena kekurangan dana. Entah apakah informasi ini benar atau tidak. Tetapi sayang sekali kalau museum ini memang sampai ditutup, apalagi kalau hanya karena kekurangan dana.

Di sini kita bisa belajar mengenai Multatuli dan maha karyanya Max Havelaar dan sekaligus mengetahui sekelumit fakta sejarah yang mungkin tidak pernah diajarkan di sekolah.  Salah satunya adalah ketidakadilan yang dialami rakyat oleh penguasa bangsa sendiri.

Ah rasanya hal ini masih relevan hingga saat ini. Setelah sekitar satu setengah abad sejak Multatuli ada di Lebak.

Akhir kata baiklah saya kutip pidato Eduard Douwes Dekker, sehari setelah dilantik menjadi Asisten Residen Lebak pada 22 Januari 1856:

"Tuan-tuan, kepala negeri Banten Kidul, marilah kita bersukacita bahwa daerah kita miskin sekali. Kita dapat melakukan sesuatu yang mulia."

Rangkasbitung , Juni 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun