Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pelajaran tentang Kehidupan yang Ada di Candra Naya

3 Juni 2022   11:12 Diperbarui: 3 Juni 2022   11:23 1493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wow, keren dan ajaib!  Demikian kesan pertama saya ketika masuk ke Kompleks Gedung Candra Naya. Sebuah bangunan tua nan cantik berarsitektur Tiong Hoa yang ada di kolong hotel dan apartemen yang mencakar langit di tengah kota Jakarta. Alamatnya  di Jalan Gajah Mada 188. 

Air mancur: Dokpri
Air mancur: Dokpri

Perjalanan ke Candra Naya dimulai dari bagian belakang, karena tempat parkir kendaraan kebetulan lebih dekat ke bagian belakang gedung. Saya memulai pengembaraan dari sebuah kolam dengan air mancur yang cantik.  Di dalam kolam ini ikan-ikan koi warna-warni berenang dengan riangnya. Selain air mancur utama di tengah kolam, di tepi kolam juga ada beberapa patung katak emas yang menyemburkan air dengan gembira.

Koridor di belakang gedung: Dokpri
Koridor di belakang gedung: Dokpri

Tepat di depan kolam ada koridor berupa jalan-jalan penghubung yang memiliki atap cantik khas Tiong Hoa yang mirip kelenteng. Di bagian bawah atap banyak hiasan berbentuk lampion warna merah bertuliskan aksara Hanzi.  Lampion serupa juga banyak di gantung menghiasi bagian luar bangunan-bangunan yang ada di kompleks ini. 

Relief: Dokpri
Relief: Dokpri

Di dinding gedung di dekat kolam, ada hiasan berbentuk relief besar berwarna dominan merah dan hijau, dengan sedikit biru dan kuning. Bentuknya mirip daun teratai dengan kendi dan bermahkota stupa. Saya sendiri tidak tahu apa arti dan makna lambang yang ada di dinding ini karena sama sekali tidak ada informasi. 

Katak Emas: Dokpri
Katak Emas: Dokpri

Saya kembali ke kolam ikan dan memperhatikan bentuk katak emas yang mulutnya terbuka menyemburatkan air. Ternyata di sekeliling katak emas ini banyak sekali uang kepeng yang bolong di tengah dan dikalungkan baik di sekitar kaki maupun leher sang katak. Di tengah kolam juga terdapat beberapa piringan dari batu berbentuk bulat dan berisi lembaran-lembaran bunga teratai. Rasanya betah berlama-lama menikmati kolam ikan ini. Tenteram sekali rasa hati dan saya tidak merasa berada di tengah kesibukan kota Jakarta.

Lorong terbuka: Dokpri
Lorong terbuka: Dokpri

Tidak jauh dari kolam, ada sebuah lorong terbuka antara bangunan utama dan deretan bangunan samping yang dijadikan restoran. Di lorong ini juga ada deretan tempat duduk dengan payung pelindung warna merah yang kebetulan siang itu sangat sepi. Mungkin resto atau cafenya belum buka atau memang kebetulan sepi pengunjung.

Hiasan Lukisan Keramik: Dokpri
Hiasan Lukisan Keramik: Dokpri

Saya kemudian mendekati bagian belakang gedung utama dan tertarik pada sebuah hiasan keramik yang ada di dinding di atas pintu berbentuk relung. Hiasan ini berbentuk skrol dengan tiga bagian. 

Di bagian utama di tengah terdapat lukisan kehidupan di Tiongkok pada zaman dahulu dengan gambar dua lelaki sedang bercengkerama di sebuah paviliun, mungkin seorang ayah yang sedang menasehati anaknya.  Juga seorang lelaki lagi berada di taman di dekat paviliun. Gambar ini diapit hiasan  bunga dan burung serta tulisan  dalam aksara Hanzi yang berderet rapi dari atas ke bawah.

Moon Gate: Dokpri
Moon Gate: Dokpri

Memasuki bangunan utama, saya melewati pintu berbentuk bulan yang disebut moon gate, sangat has Tiongkok seperti yang sering dilihat dalam film-film silat.  Bahkan pintu ke arah toilet juga berbentuk bulan.

Saya kemudian memasuki salah satu ruangan yang kosong, namun di dindingnya digantung banyak hiasan dan bertuliskan ajaran dan pesan moral yang menyentuh jiwa. Salah satunya bertuliskan Jangan Marah. Ada baiknya dikutip kata-kata bijak tersebut:

Ini adalah nasehat untuk kita dapat hidup sehat dan Bahagia, semoga dapat diteladani: Jangan Marah.

  • Hidup bagaikan sandiwara, kalau ada jodoh baru dapat bertemu
  • Tidak mudah saling menolong sampai tua
  • Sangat disayangkan karena hal yang kecil menjadi marah, kalau dipikirkan kembali mengapa harus demikian,

Dan masih banyak lagi pesan menarik yang dikutip dari Budaya Rumpun Padi.

Patung Buddha: Dokpri
Patung Buddha: Dokpri

Di ruangan yang lain juga terdapat hiasan kaligrafi Tiongkok dan sesekali ada juga meja altar kecil berisi patung Buddha dan Dewi Kwan Im. Juga ada lukisan pemandangan, kata-kata mutiara serta gambar dewa dewi.  Bahkan ada sebuah dinding berisi deretan topeng atau figur kecil tokoh-tokoh dalam mitologi dan legenda Tiongkok.  

Jendela-jendela yang besar dan langit-langit yang tinggi membuat bangunan ini tetap nyaman karena memiliki sirkulasi udara yang baik. Khas model bangunan tempo dulu.

Cahaya Mentari: Dokpri
Cahaya Mentari: Dokpri

Ruang utama gedung ini bahkan dilengkapi dengan atap yang transparan sehingga cahaya mentari bisa menerangi ruangan. Terlihat kerangka atap dari kayu berwarna kombinasi hitam hijau dan garis-garis kuning emas yang sangat indah menawan dengan ukiran-ukiran khas Tionghoa.  

Sekilas mirip juga dengan ukiran Jepara atau Bali, walau detailnya berbeda.  Selain hiasan lampion kecil warna merah, ada juga hiasan gantung berbentuk hewan mitologi Tiongkok seperti liong alias naga. Benar-benar rumah yang indah.

Namun saya belum puas membaca berbagai papan display yang berisi kebijakan-kebijakan khas Tiongkok yang mungkin bisa memberikan inspirasi.  Salah satunya berjudul 36 Strategies.  

Judulnya mungkin salah tulis karena bisa saja diterjemahkan dari bahasa Inggris. Dijelaskan bahwa di Tiongkok ada dua maha karya tentang ilmu perang, yaitu Sun Tzu Art of War dan The 36 Strategies.  Dua maha karya ini dalam dunia kemiliteran tidak ada tandingannya.  

Sekarang strategi ini juga dipakai dalam dunia bisnis, politik, ekonomi dan diplomatik.  Ternyata dalam strategi ini penuh dengan perhitungan yang memiliki banyak taktik perubahan yang sulit diperkirakan oleh lawan dan berhubungan erat dengan sebuah mahakarya berjudul Ie Ching alias Buku Perubahan.

Selain mengenai Ie Ching, juga ada papan yang menjelaskan mengenai Dao De Jing. Dijelaskan bahwa Dao De Jing ini merupakan sebuah kitab yang dianggap sebagai kitab suci agama Tao. 

Kitab ini merupakan karangan seorang filsuf Tiongkok bernama Lao Zi yang  memiliki nama asli Li Dan atau Li Er. Nama Lao Zi ini konon bermakna Orang tua yang arif dan bijaksana. Ajaran Lao Zi mengenai Dao (alam semesta )dan De ( budi pekerti ) bisa membuat manusia menjadi lebih baik. Pada papan itu hanya diterjemahkan 5 bab dari keseluruhan 80 bab yang ada dalam buku.

Salah satu ruangan: Dokpri
Salah satu ruangan: Dokpri

Pada dinding yang lain, juga ada informasi mengenai ajaran Chu Zi yang merupakan warisan klasik Tiongkok yang sangat dijunjung tinggi masyarakat Tionghoa karena berisimempunyai nilai tata susila yang tinggi. Ada beberapa point menarik yang saya catat, antara lain: kemuliaan seorang bapak adalah cinta kasihnya, kemuliaan seorang anak adalah baktinya kepada orang tua; kemuliaan seorang kakak adalah rasa persahabatan, kemuliaan seorang adik adalah rasa hormatnya kepada yang lebih tua; kemuliaan seorang suami adalah kesabarannya, kemuliaan seorang istri adalah kelemahlembutannya; serta kemulian seorang guru adalah susilanya; dan kemuliaan dalam persahabatan adalah kepercayaannya.  Wah indah sekali kata-kata tersebut.

Bukan hanya tentang Chu Zi, di dinding Candra Naya ini juga ada penjelasan tentang Di Zi Gui, yang merupakan intisari ajaran dan filsafat Konghucu mengenai moralitas da perilaku anak. 

Menurut beliau moralitas dan perilaku luhur dan disiplin yang baik adalah dasat bagi pendidikan anak, anak sejak dini harus dibimbing dengan dasar-dasar yang ada pada Di Zi Gui ini.

Saya kemudian berjalan terus menuju beranda utama rumah ini. Di sini dipajang beberapa potret Mayor Khouw Kim An, yang merupakan pemilik rumah ini. Ada potret beliau ketika berpangkat mayor dan ada juga potret ketika berpangkat kapten.   

Saya kemudian keluar melalui pintu besar yang terbuka lebar. Kedua daun pintunya berwarna hitam dengan masing-masing tertulis dua aksara Hanzi dengan warna emas. Sementara gembok pintu ini berbentuk segi delapan atau Patkwa yang juga berwarna emas.  

Beranda muka: dokpri
Beranda muka: dokpri

Di beranda, mengapit pintu utama, ada papan informasi yang menjelaskan bahwa Mayor Khouw Kim An dilahirkan di Batavia pada 1879 dan merupakan salah seorang pendiri Tiong Hoa Hwee Kian. Beliau pernah menjabat sebagai letnan, kapten dan kemudian diangkat menjadi mayor  pada 1910.  

Dijelaskan juga bahwa rumah ini kemungkinan dibangun pada tahun 1807 atau 1867, yang merupakan tahun Kelinci Api. Dari dua kemungkinan ini, bisa saja rumah ini dibangun oleh ayah atau kakek mayor Khouw sendiri.  

Sang mayor baru pindah ke rumah ini pada 1934 setelah sebelumnya tinggal di Bogor. Namun saat Jepang masuk ke Indonesia pada 1942, Mayor  Kouw ditangkap  dan akhirnya meninggal dalam tahanan Jepang di Cimahi pada Februari 1945.

Pojok lain Candra Naya: Dokpri
Pojok lain Candra Naya: Dokpri

Selain kisah Mayor Khouw,  juga ada sekilas informasi mengenai sejarah Gedung Candra Naya ini. Setelah perang dunia II berakhir, pada 1946 berdiri Yayasan Sin Ming Hui yang berkantor di tempat ini. Yayasan ini bergerak dalam bidang sosial yang kemudian berhasil mendirikan Rumah Saki Bumi Waras, dan juga dalam bidang pendidikan sehingga banyak sekolah dari tingkat SD hingga SMA  pernah ada di tempat ini . Bahkan Yayasan ini juga yang kemudian mendirikan cikal bakal Universitas Tarumanegara.

Tempat ini juga pernah menjadi pusat kegiatan olahraga seperti bulu tangkis, bola sodok dan binaraga. Bahkan para juara bulu tangkis Indonesia perebut Piala Thomas seperti Tan Joe Hok dan Ferry Souneville juga berlatih di sini.

Pada 1965, karena perubahan politik, nama Sin Ming Hui kemudian diganti menjadi Candra Naya.  Kegiatan berlangsung terus hingga 1992 ketika gedung ini kemudian dijual oleh pemiliknya dan sempat mau dirobohkan untuk dibangun area komersial, bahkan sempat juga mau dipindahkan ke Taman Mini.

Sejarah akhirnya mencatat sebuah keajaiban yang aneh. gedung utama dan sebagian bangunan masih bisa diselamatkan sebagai cagar budaya walau harus rela berada dibawah dan diapit gedung pencakar langit yang modern.

Saya kemudian keluar gedung dan sejenak memandang keseluruhan gedung dari depan di kejauhan.  Walau  ada di bawah bayang-bayang pencakar langit yang mengelilinginya, namun keanggunannya tetap tidak pudar. Selain bentuk pintunya yang elegan, bentuk atapnya yang lancip di kedua ujungnya memberikan kesan tersendiri akan bangunan khas Tiongkok yang pernah memberi rona sejarah di ibu kota Jakarta.

Semoga kisah Gedung Candra Naya dan juga ajaran kebijkan tentang kehidupan yang ada di dalamnya dapat membuat kita lebih arif untuk menghargai peninggalan sejarah.  Betapa banyak gedung saksi sejarah masa lampau yang sudah dihancurkan dan  tidak dapat diwariskan untuk generasi yang akan datang.  

Salam Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun