Mohon tunggu...
Dr.Taufik Hidayat
Dr.Taufik Hidayat Mohon Tunggu... Dosen - dokter forensik

Seorang dokter yang suka jalan-jalan,makan-makan,baca-baca, foto-foto, nonton-nonton dan nulis-nulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sepotong Cerita Perjalanan ke Tanah Sangiran

16 Juni 2016   11:35 Diperbarui: 20 Juni 2023   22:22 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ide untuk bertandang ke Sangiran tidak datang begitu saja melesak kedalam otakku. Semenjak sekolah menengah, aku sudah tahu tentang Sangiran dari buku pelajaran sejarah. Pelajaran sejarah yang diajarkan ketika itu begitu menjemukan bagi murid-murid sekolah menengah yang menganggap kemahiran bermatematika dan berfisika sebagai lambang kejeniusan. Meskipun demikian, secara antimainstream, aku menyukai pelajaran sejarah karena bagiku mempelajari peradaban umat manusia dimasa lampau ibarat memasuki alam lain dengan nuansa berbeda. “Suatu saat, aku akan ke Sangiran untuk membuktikan kebenaran dan keindahan sejarah”, niat itu pernah terbersit didalam hati remajaku. Sebuah niat yang kelak akan dikabulkan oleh Allah SWT.

Hari terus merangkak maju. Waktu melipat dengan sangat cepat. Perjalanan takdir membawa diriku merantau ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan. Sejak pertama kali menginjakkan kaki dikota pelajar dan budaya ini, aku sudah jatuh cinta. Benarlah kabar yang aku dengar dari para musafir, bahwa Yogyakarta sangat recommended untuk dijajah oleh para pengejar ilmu dan pejalan berkantong cekak. Zaman telah merawat sebagian Yogyakarta dan membiarkan keagungan budaya dan tradisi lama Jawa hidup berdampingan dengan budaya urban kaum modern. Selain sarat akan sejarah dan budaya, bentang geografi Yogyakarta yang beragam memberikan nilai lebih kenapa daerah ini menjadi sangat dikenal diseantero nusantara bahkan dunia. Biaya hidup yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain, menjadikan Yogyakarta benar-benar surga yang sempurna untuk para pengelana.

Niat yang pernah terbertik lima belas tahun silam sudah saatnya untuk diwujudkan menjadi sebuah kenyataan. Sangiran tidaklah terlalu jauh dari Yogyakarta, setidaknya masih satu pulau walau beda propinsi. Hari yang dinanti akhirnya tibalah jua. Bersama rekan-rekan residen forensik, kami akan menghabiskan akhir pekan dengan tujuan kampung halaman homo erectus yang sangat terkenal di pentas sejarah itu.

residen forensik di museum Sangiran (Dokpri)
residen forensik di museum Sangiran (Dokpri)

Medio April 2015. Pada suatu hari diakhir pekan yang cerah.

Bismillah. Aku dan seorang teman residen forensik menumpang kereta api paling pagi dari stasiun Yogyakarta menuju kota Solo, Jawa Tengah. Moda transportasi di pulau Jawa lebih maju dan bervariasi dibandingkan dengan transportasi yang ada di pulau asalku. Aku tidak mengatakan kalau dikampungku tidak ada kereta api. Akan tetapi, di pulau Jawa, pembangunan jalur kereta api yang pada awalnya diprakarsai oleh pemerintah Hindia Belanda itu tetap terjaga serta terus dikembangkan sampai hari ini. Jalur kereta api saat ini sudah terhubung hampir kesetiap kota di pulau Jawa yang padat penduduk.

Setelah lebih kurang satu jam perjalanan menembus udara pagi, kereta api Sriwedari yang kami naiki sampai distasiun Solo Balapan. Gesekan antara roda dengan rel kereta terdengar berdecit saat kereta api mulai berhenti. Untuk kereta api lokal antara Yogyakarta ke Solo maupun sebaliknya, tiket tersedia hampir setiap jam dengan beragam pilihan kereta. Kereta api Sriwedari ini merupakan salah satu diantaranya dan merupakan kereta yang cukup nyaman. Sepanjang perjalanan, pemukiman dan persawahan silih berganti terbentang dibalik jendela kereta. Demi melihat persawahan ditempa kuningnya berkas sinar mentari pagi dan rumpun padi yang meliuk disapa angin, kenangan akan kampung halaman dikaki Bukit Barisan sana terlempar begitu saja kepelupuk mata, menimbulkan riak kecil kerinduan. Ditambah sayup-sayup ratapan lagu Minang yang mengisi liang telingaku membuat pagi itu terguncang oleh kemelankolisan. Terkadang, menjadi sedikit hormonal itu memberikan sentuhan berwarna dalam kehidupan ini.

Distasiun sudah menanti seorang senior yang akan membawa kami ke tempat kejadian perkara. Solo sendiri merupakan dapur bagi masakan Jawa yang enak-enak, setidaknya begitulah pendapat teman-teman seresidensiku. Seniorku rumahnya memang di Solo, jadi dia tahu setiap lekuk kota Solo yang menyimpan sejuta kelezatan kuliner itu. Semilir angin kepagian membelai kota Solo, membuat hati mencelos dan perut semakin keroncongan. Susu murni hangat adalah asupan gizi pertama yang kami masukkan kedalam lambung sebagai penawar lapar, diikuti kue-kue jajanan pasar yang bertabur gula. Perjalanan dengan kereta api dipagi buta ternyata membawa kelaparan. Kami diajak kerumah si senior sambil menunggu matahari sedikit tinggi.

Keluarga seniorku akan ikut serta dan kami sepertinya akan menjadi bagian dari rombongan piknik sebuah keluarga bahagia. Tak apa-apalah, ada manfaatnya juga, selain bisa menghemat biaya perjalanan, kebersamaan akan menghilangkan kesan gila (jika dilakukan sendirian) bagi traveler minat khusus seperti yang akan kami lakukan pada hari itu. Berbicara tentang Sangiran, bahkan teman-teman seresidensiku yang orang Jawa tulen, belum pernah sekalipun kaki mereka menginjak di tanah pekuburan fosil itu.

Sangiran kaya akan fosil manusia dan hewan purba disetiap jengkal dan lapis tanahnya. Saat ini Sangiran menyandang prediket sebagai the homeland of the java man. Sangiran tidak hanya populer dalam lembaran buku sejarah sekolah menengah. Buku dan jurnal ilmiah paleoantropologi, bioantropologi, arkeologi dan lain sebagainya sangat akrab dengan Sangiran karena merupakan lahan penelitian kehidupan masa lalu dan manusia purba terlengkap didunia. Tiba-tiba aku teringat pada sepotong informasi yang pernah aku baca. Pada awal abad kedua puluh, Von Koeningswald, seorang ahli antropologi memulai penelitian dan menemukan fosil hominid di Sangiran. Dia mengikuti jejak pendahulunya Eugene Dubois, yang ternyata adalah seorang lulusan sekolah kedokteran. Sebelum melakukan penelitian dan penggalian manusia purba di Sangiran dan Trinil, Eugene Dubois pernah melakukan hal serupa di kampung halamanku (Sumatra Barat) dengan hasil nihil.

Dokpri
Dokpri

Setelah puas berbasa-basi, kami serombongan langsung menuju warung sarapan. Warung sarapan masakan Jawa yang dimasak oleh warga keturunan itu menyediakan semua jenis masakan Jawa secara prasmanan. Warung itu katanya begitu terkenal. Dan ternyata benar adanya. Pada saat kami datang warung kecil itu sedang centang prenang oleh kebrutalan nafsu umat manusia. Ada ayam bakar, ikan goreng, telor, tempe dan sebagainya. Secara visual, semua variasi masakan yang dihidangkan mampu merangsang kelenjer parotis untuk memproduksi saliva secara berlebihan, namun dari segi rasa dan aroma, tentunya kembali keselera masing-masing individu. Untuk masakan Jawa yang terkenal dengan dominasi rasa manis, masakan Jawa versi Solo tidaklah terlalu manis jika dibandingkan dengan masakan Jawa ala Jogja. Indra perasa dan pembau saya yang sudah akrab dengan aneka citarasa masakan Jawa, tentunya akan menerimanya sebagai masakan yang enak. Alhamdulillahirabbilalamin.

Sangiran merupakan nama sebuah daerah di kabupaten Sragen, Jawa Tengah yang berada sekitar 15 km diutara kota Solo. Perjalanan menuju Sangiran berjalan lancar. Kami berkendara membelah dan kemudian bersisian dengan Bengawan Solo yang populer itu. Matahari pada hari itu sangat bersahabat. Di situs Sangiran terdapat empat buah museum paleoantropologi, yang paling besar adalah museum induk Sangiran. Menuju museum, kita akan disajikan pemandangan bumi yang hijau. Barisan pohon jati memagari kiri dan kanan jalan. Kondisi jalanan yang sempit, berliku sekaligus sepi tersebut sempat membuat kami merasa waswas karena takut salah jalur. Deretan rumah joglo tradisional Jawa yang sebagian masih berlantaikan tanah turut mengapit jalan kecil dan mulus itu. Hal itu semakin meyakinkan kami bahwa berkemungkinan mobil telah melenceng dari jalur menuju museum. Namun, setelah melihat sebuah gerbang dan bangunan modern dari kejauhan, kami menjadi lega. Senyum kemenangan menghiasi wajah seolah kami baru usai berjuang menaklukan nafsu angkara murka.

Kami tiba dimuseum manusia purba klaster Bukuran saat matahari hampir tegak lurus dipetala langit. Siang itu matahari seolah mau memberitahu bahwa dia masih matahari yang sama sejak lembah Sangiran masih dihuni oleh anthropoid, bahkan jauh sebelum itu. Cakrawala semakin biru dan jernih ditempa sinar sang mentari. Paduan warna langit yang membiru dan hijaunya pepohonan jati disekitar museum menjalin harmoni apik dengan keriangan suasana hati. Karena ini adalah wisata minat khusus, maka hanya terlihat beberapa orang pengunjung saja yang berseliweran disekitar museum. Analisis primordial kami menyimpulkan bahwa hanya orang-orang yang gagal move on dari masa lalu saja yang akan berwisata ke museum, apalagi ini adalah museum manusia purba.

Dokpri
Dokpri

Kami tidak hanya terpukau dengan kemodernan tampilan arsitektur museum yang sangat elok. Dengan cepat kami mengambil posisi masing-masing untuk diabadikan melalui lensa kamera smartphone. Keinginan untuk segera mengunggah foto keberbagai akun media sosial seperti instagram, path, facebook bahkan grup whatsapp seketika sirna karena sinyal sepertinya enggan berkunjung ke ceruk Sangiran yang purba itu.

Didalam khazanah ilmu-ilmu kedokteran forensik, terdapat salah satu cabang yang mengkhususkan diri untuk individuasi dari tulang belulang. Cabang yang dimaksud adalah antropologi forensik. Kalau ditinjau dari sudut pandang antropologi, antropologi forensik merupakan dahan dari antropologi biologi atau antropologi ragawi/fisik. Bradley J. Adams didalam bukunya yang berjudul Forensic Anthropology berpendapat bahwa antropologi forensik merupakan bagian dari antropologi fisik yang mempelajari populasi manusia dari perspektif biologi dan evolusi. Sedangkan antropologi fisik adalah subdisiplin dari antropologi yang mempelajari umat manusia dari karakter fisik dan budaya. Antropologi forensik menggunakan metode dan tujuan dari antropologi fisik untuk menjawab berbagai pertanyaan medikolegal. Dalam melakukan fungsinya seorang antropologis sering bekerjasama dengan seorang patologis, detektif dan odontologis forensik untuk mengidentifikasi mayat, waktu kematian dan barang bukti lainnya. Paragraf ini sedikit bernuansa ilmiah, tujuannya supaya pembaca yakin dan tidak merasa dikelabui oleh penulis.

Kedatangan kami ke Sangiran sedikit banyak terinspirasi oleh mata kuliah antropologi forensik yang akan kami jalani disemester genap ini. Tujuan antropologi forensik yang lebih banyak untuk identifikasi individu memang tidak berkorelasi linier dengan kunjungan ke museum klaster Bukuran. Akan tetapi pengalaman ini bisa menjadi bahan pengayaan dari sebuah proses pembelajaran. Walaupun sebagian museum-museum di Sangiran juga memamerkan koleksi tulang hewan, namun museum manusia purba klaster Bukuran secara keseluruhan mengekspos tulang belulang hominid berikut biologi manusia dari level molekuler, seluler sampai individu, bahkan bioma. Setidaknya, kunjungan ke Sangiran menjadi sebuah kunjungan ilmiah pra mata kuliah antropologi forensik alih-alih sebagai tamasya belaka.

Dinginnya air conditioner menyerbu tubuh ketika kami memasuki ruang pamer museum. Dilantai atas dipamerkan dengan sangat menarik beberapa fosil hewan purba, peta teori migrasi dan tentunya landasan semua pemikiran kepurbakalaan: teori evolusi seleksi alam dari Charles Darwin. Juan Comas dalam bukunya Manual of Physical Anthropology yang secara bebas diterjemahkan oleh penulis menukilkan dengan sangat detail bagaimana sejarah perkembangan antropologi sebagai ilmu yang sarat dengan beban pertanyaan tentang asal muasal manusia. Bahkan pengetahuan tentang antropologi fisik manusia berawal dan terinspirasi dari tulisan the voyage of Hanno, seorang Kartago yang melakukan ekspedisi disepanjang pantai utara Afrika ribuan tahun yang lalu. Dialah yang pertama kali menemukan gorilla dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat membingungkan, karena dapat berprilaku seperti manusia.

Di era selanjutnya, pemikiran tentang antropologi bergulir ke zaman Aristoteles, dia berpendapat bahwa manusia adalah hewan yang komplit serta menganjurkan studi komparatif antara manusia dan hewan. Setelah memasuki era yang dikenal sebagai the century of anatomists, antropologi fisik berkembang seiring sejalan dengan ilmu anatomi, namun pertanyaan tentang dari mana kehidupan khususnya manusia berasal masih terus dipertanyakan lalu diperdebatkan para ahli dari masa ke masa.

Dokpri
Dokpri

Mengamati koleksi museum satu persatu memberikan ruang pada keheningan. Museum klaster Bukuran benar-benar sepi pengunjung siang itu. Pengunjung yang datangpun tenggelam dan hanyut dalam gejolak alam pikiran mereka masing-masing. Dimuseum, masa lalu bertemu dengan masa kini. Dimuseum, waktu seolah berlari mundur dan kita dilemparkan ke suatu noktah tak pasti di suatu kurun waktu yang terkadang acak dan samar.

Telah banyak pakar antropologi, zoologi dan anatomi menelorkan berbagai teori tentang penciptaan sebagai jawaban terhadap konsep genesis. Kita sempat mempelajarinya ketika belajar teori evolusi dalam mata pelajaran biologi dibangku sekolah menengah dulu. Siapa yang masih ingat doktrin Lamarckisme, neo Lamarckisme, Darwinisme dan seleksi alam bahkan neo Darwinisme? Walaupun dizaman sekarang telah ada para ahli yang mampu menggoyang teori evolusi Darwin, semisal Harun Yahya yang pada zaman aku kuliah videonya gencar diputar dalam berbagai daurah aktifis FSKI. Akan tetapi konsep evolusi masih tetap bertahan dalam kancah akademis dan tradisi ilmiah, khususnya pada penelitian bidang paleoantropologi.

Sebagai catatan, museum klaster Bukuran merupakan museum yang sangat ilmiah. Kami bisa mengakses jurnal paleoantropologi berskala internasional, semisal keluaran Elsevierdikomputer yang tersedia didalam museum. Dari sanalah kami tahu, bahwa beberapa dosen kami di Fakultas Kedokteran UGM, berjasa dan berkonstribusi aktif dalam memajukan penelitian dan landasan ilmiah manusia purba dari Sangiran. Sebagai museum modern, museum-museum di Sangiran secara keseluruhan telah mengembangkan gameilmu pengetahuan terutama biologi untuk kalangan umum. Jadi pengunjung bisa terlibat aktif berinteraksi dengan ilmu pengetahuan selama berada didalam museum.

Dokpri
Dokpri

Tatkala melihat manekin homo erectus yang diperkirakan pernah hidup jutaan tahun yang lalu, pikiranku kembali menggugat eksistensi manusia purba dari Sangiran itu. Apakah iya mereka benar-benar ada dan apakah benar mereka merupakan cikal bakal manusia? Bagaimana mungkin kera besar berjalan tegak itu menjadi nenek moyang kita? Pertanyaan yang sama mungkin akan terus bergulir meretas zaman. Dimasa sekolah menengah dulu, murid-murid menerima begitu saja pendapat sembrono bahwa fosil-fosil tersebut merupakan bagian yang tersisa dari nenek moyang kita. Namun, disaat ilmu pengetahuan telah berkhianat kepada zaman, akankah pendapat tersebut masih bisa ditolelir?

Kepercayaan yang bersumber pada agama monoteistik khususnya agama Islam menjelaskan didalam kitab suci Al-Quran, bahwa nenek moyang seluruh umat manusia modern adalah Adam. Tiga agama samawi yang masih bertahan, mungkin akan berpendapat sama, walaupun sampai saat ini fosil Adam dan Hawa tak kunjung ditemukan. Namun kitab suci sudah menegaskan secara gamblang tentang keberadaan dan peran mereka sebagai kakek nenek moyang spesies manusia. Al-Quranul Karim menyebutkan didalam surah Al Hijr ayat 26 yang terjemahannya sebagai berikut:“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk”. Yang dipertegas lagi dengan surat Al-‘Alaq ayat 2 tentang proses penciptaan umat manusia melalui firman-Nya yang berarti sebagai berikut:“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah”. Nabi Adam Alaihiwassalam dan istrinya Hawa merupakan manusia pertama, nenek moyang segala bangsa didunia yang darah dan DNA nya masih kita warisi hingga hari ini. Kita sebagai anak cucu Adam diberi kelebihan akal pikiran oleh Allah SWT sehingga bisa mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam memimpin bumi ini. Teknologi biologi molekuler analisis DNA telah membuktikan keberbedaan manusia dari spesies anggota hominidae lainnya.

Berbicara mengenai teori evolusi dan manusia purba ini tidak akan pernah habis-habisnya, bahkan ketika aku sudah keluar dari museum. Namun sepanjang pengamatanku, dari begitu banyak nama yang diberikan kepada berbagai jenis fosil tengkorak terduga manusia purba, dapat disimpulkan bahwa secara general para ahli paleoantropologi membagi hominid atas beberapa klasifikasi seperti pithecanthropus, neanderthaldanhomo sapiens (kita). Homo sapiens sendiri dikelompokkan oleh para ahli antropologi ke dalam beberapa ras. Dari buku teks, kita dapat mengetahui bahwa pembagian ras manusia itu pun sangat beragam. Secara umum kita telah mengenal adanya ras kaukasoid, mongoloid dan negroid. Di Indonesia sendiri kita juga memiliki ras tambahan yakni austromelanosoid (orang-orang Papua).

Dokpri
Dokpri

Pikiranku masih terpaut pada pajangan berbagai variasi fosil tengkorak dilantai dasar museum. Pajangan fosil yang diperkirakan para ahli adalah refleksi diri kita dari masa ke masa. Manekin semi robotik tersebut memperagakan kemungkinan fisik dari berbagai fosil tengkorak. Teringat sewaktu kecil dulu, aku adalah seorang penakut yang akan menjerit histeris ketika bertemu gambar tengkorak dan akan segera pingsan jika tengkorak tersebut nyata dihadapanku. Nah, puluhan tahun sesudah itu, aku termasuk kedalam kategori orang yang tumbuh sebagai pengagum setiap detail anatomi tubuh dan kerangka manusia, sungguh manusia itu selalu berubah. Tapi apakah manusia benar-benar berevolusi?

Matahari sudah sedikit tergelincir kearah barat ketika kami keluar dari museum klaster Bukuran. Didalam museum aku merasa seperti berada dizaman pleistosen dan ketika melewati pintu keluar museum aku kembali terlempar ke Sangiran abad 21 Masehi. Siang itu terik, udara panas menguar keudara seolah letusan gunung api purba Sangiran masih menyisakan panasnya. Katastrofi letusan diperkirakan mengubah jalan sejarah Sangiran untuk selama-lamanya disamping fenomena geologi lain. Zaman sekarang, tidak ada lagi pithecanthropus, mammoth, badak, bahkan kuda nil di Sangiran kecuali fosilnya. Pada hari ini adalah hal lumrah bagi masyarakat Sangiran untuk mendapatkan fosil diladang pertanian atau dihalaman rumah mereka. Bahkan masyarakat Sangiran mungkin sudah lihai mengidentifikasi fosil-fosil tersebut. Aku jadi teringat bahwa disepanjang jalan terdapat banyak baliho yang menampilkan fosil dan wujud makhluk hidup serta perkiraan tahun hidupnya di Sangiran.

Kami bertanya kepada petugas museum, kemana selanjutnya pengembaraan kami akan bisa berlanjut. Petugas kemudian mengatakan ada tiga museum lagi ditempat terpisah yang bisa kami kunjungi. Dikarenakan hari sudah beranjak siang, kami memutuskan untuk mengunjungi museum induk Sangiran saja. Mobil kami kembali melaju diatas jalan kecil dan mulus itu. Pandemi batu akik ternyata sampai ke pedalaman Sangiran. Hampir disetiap halaman rumah kami menemukan penjualan dan pengasahan batu akik. Dizaman neolitikum dahulu, nenek moyang katanya membuat peralatan berburu dan memuja dari batu, akankah diera teknologi informasi ini, zaman tersebut berulang? Jika hal itu terjadi, tidakkah kalian berpikir, bahwa Sangiran tetaplah sama bahkan semenjak zaman nenek moyang, batu tak pernah lepas dari gaya hidup mereka hingga saat ini.

Dokpri
Dokpri

Kami memasuki gerbang berhias gading mammoth di museum induk Sangiran. Patung the java man berdiri tegak menyambut setiap tamu yang datang. Museum induk ini terlihat lebih tua daripada museum klaster Bukuran. Dengan harga tiket masuk yang sangat murah meriah, kami kembali berpetualang menelusuri zaman dan menyeburkan diri kedalam pesonanya. Museum induk Sangiran lebih ramai pengunjung daripada museum klaster Bukuran. Aku segera teringat bahwa museum induk Sangiran inilah yang aku akses informasi keberadaannya pertama kali lewat mesin pencari google.

Entah kenapa aku selalu tertarik dengan museum. Hampir disetiap perjalanan ke tempat yang baru, aku akan menyempatkan diri untuk mengunjungi salah satu atau beberapa museum didaerah tersebut. Aku sangat suka museum yang benar-benar memberikan kenyamanan dan menyediakan informasi berharga tentang tema yang menjadi koleksinya. Museum induk Sangiran dan klaster Bukuran termasuk kedalam kategori museum yang aku sukai. Selain memamerkan wujud manusia purba dan diorama rekaan kehidupan prasejarah, museum induk Sangiran yang mempunyai empat ruang pamer juga menyajikan video rekonstruksi wajah. 

Mirip dengan apa yang akan kami pelajari dalam mata kuliah antropologi forensik, bedanya, rekonstruksi wajah dimuseum tidak diperuntukkan untuk menerka wajah pelaku atau korban tindak kriminal, namun untuk memberikan gambaran wajah hominid. Sekilas, rekaan wajah hominid tersebut terlihat menakutkan dimataku, namun atas nama ilmu pengetahuan, aku sangat menghargai usaha dan hasil kerja keras para ahli yang sudah memperkaya pustaka ilmu pengetahuan dan kebudayaan umat manusia.

Dokpri
Dokpri

Museum induk Sangiran memang lebih besar daripada museum klaster Bukuran. Didalam ruang pamer kita juga bisa melihat visualisasi berbagai macam penggalian situs yang dilakukan para ahli ilmu kepurbakalaan. Juga dipamerkan model penguburan manusia setelah era manusia purba berlalu. Lagi-lagi, keangkeran bisa berganti dengan rasa takjub. Ekshumasi adalah suatu proses penggalian kuburan. Didalam ilmu kedokteran forensik pun juga dikenal istilah ekshumasi, yang bertujuan untuk mendapatkan berbagai macam data dari si ahli kubur demi kepentingan medikolegal. Ilmu tentang kuburan sendiri dikenal dengan nama tafonomi. Dan tafonomi forensik merupakan ranting dari antropologi forensik. Lagi-lagi kita bisa meraba beberapa kesamaan metodologi antara kedokteran forensik dengan paleoantropologi.

Dimuseum induk Sangiran, sekilas kami membaca paparan tentang si Lucy yang terkenal itu, manusia purba sejenis australopithecus dari selatan berjenis kelamin wanita, yang menurut cerita merupakan jenis yang diberkati dengan kepintaran. Bahkan katanya di Nusa Tenggara Timur juga terdapat homo floresiensis yang sangat problematis.

Jam di smartphone-ku menunjukkan pukul dua siang. Asam laktat sudah mencapai kadar maksimal menggerogoti perototan ekstremitas inferior. Dilain regio, asam klorida pun sudah membanjiri gaster. Kehadiran asam-asam yang diproduksi oleh tubuh ini harus segera dinetralisir. Lawatan ke museum hari itu sudah saatnya untuk segera diakhiri. Tanpa basa-basi, mobil kami berlari meninggalkan cekungan Sangiran menuju Solo. Selamat tinggal Sangiran, the homeland of the java man yang permai. Selamat tinggal masa lalu. Kami akan mengukir masa sekarang dengan sejarah kami, namun biarkan kami mengisi perut dan beristirahat terlebih dahulu.

Dokpri
Dokpri

Didalam perjalanan pulang, dehidrasi membuat kami mesti singgah disuatu tempat untuk membasahi kerongkongan yaitu di kedai es durian. Sungguh nikmat menyesap semangkok es durian disiang menuju sore hari yang terik. Bahkan matahari masih belum mau mengurangi kesangarannya. Seliter air es dan beribu kalori glukosa dengan segera meniupkan kebugaran keraga kami. Sel-sel tubuh yang dahaga dan lapar kembali menyambung hidup untuk melanjutkan sejarahnya masing-masing. Sebelum menaiki kereta api pulang ke Yogyakarta, kami menikmati late lunch dengan menu seporsi selad Solo. Selad Solo merupakan kesatuan daging tumbuk, kentang, buncis, wortel, selada dan bahan lainnya yang disirami saos kaldu manis gurih. Sepiring selad Solo menutup cerita pendek perjalanan ziarah kami ke pemakaman purba yang bernama Sangiran. Sungguh sebuah penutup yang yummy.

Kereta api Madiun Jaya mulai menggilas rel meninggalkan stasiun Solo Balapan tepat pada pukul empat sore. Kereta api melaju ke arah barat daya. Ibarat memburu matahari April yang masih sombong bertengger diatas langit Jawa. Sinar matahari rembang petang mulai menguning ketika gerbong kereta berhenti di stasiun Yogyakarta. Kesibukan stasiun kereta api Yogyakarta terpampang nyata tanpa mengenal waktu. Manusia masih memadati stasiun antik dengan gaya bangunan kolonial tersebut. Ada yang menggelitik ketika petugas mengumumkan keberangkatan maupun kedatangan kereta. Ya, mereka menggunakan trilingual. Bahasa lainnya selain bahasa Indonesia dan Inggris adalah bahasa Jawa.

Terima kasih Allah SWT atas kesempatan berharga ini dan atas kuasa-Mu untuk tidak mengirimkan jenazah ke kamar jenazah selama kami melakukan ekspedisi ke Sangiran. Di sela-sela kesibukan dunia per-ppds-an kami yang tidak mengenal waktu, Engkau telah mengizinkan kami menelusuri lorong waktu untuk lebih mengenal kebesaran-Mu. Sesungguhnyalah kami hanya manusia lemah yang penuh kekurangan dan selalu berharap akan ridho-Mu.Amin.

***

Kamar kost Karangjati, Mei 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun