Mohon tunggu...
Dr.Taufik Hidayat
Dr.Taufik Hidayat Mohon Tunggu... Dosen - dokter forensik

Seorang dokter yang suka jalan-jalan,makan-makan,baca-baca, foto-foto, nonton-nonton dan nulis-nulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sepotong Cerita Perjalanan ke Tanah Sangiran

16 Juni 2016   11:35 Diperbarui: 20 Juni 2023   22:22 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah puas berbasa-basi, kami serombongan langsung menuju warung sarapan. Warung sarapan masakan Jawa yang dimasak oleh warga keturunan itu menyediakan semua jenis masakan Jawa secara prasmanan. Warung itu katanya begitu terkenal. Dan ternyata benar adanya. Pada saat kami datang warung kecil itu sedang centang prenang oleh kebrutalan nafsu umat manusia. Ada ayam bakar, ikan goreng, telor, tempe dan sebagainya. Secara visual, semua variasi masakan yang dihidangkan mampu merangsang kelenjer parotis untuk memproduksi saliva secara berlebihan, namun dari segi rasa dan aroma, tentunya kembali keselera masing-masing individu. Untuk masakan Jawa yang terkenal dengan dominasi rasa manis, masakan Jawa versi Solo tidaklah terlalu manis jika dibandingkan dengan masakan Jawa ala Jogja. Indra perasa dan pembau saya yang sudah akrab dengan aneka citarasa masakan Jawa, tentunya akan menerimanya sebagai masakan yang enak. Alhamdulillahirabbilalamin.

Sangiran merupakan nama sebuah daerah di kabupaten Sragen, Jawa Tengah yang berada sekitar 15 km diutara kota Solo. Perjalanan menuju Sangiran berjalan lancar. Kami berkendara membelah dan kemudian bersisian dengan Bengawan Solo yang populer itu. Matahari pada hari itu sangat bersahabat. Di situs Sangiran terdapat empat buah museum paleoantropologi, yang paling besar adalah museum induk Sangiran. Menuju museum, kita akan disajikan pemandangan bumi yang hijau. Barisan pohon jati memagari kiri dan kanan jalan. Kondisi jalanan yang sempit, berliku sekaligus sepi tersebut sempat membuat kami merasa waswas karena takut salah jalur. Deretan rumah joglo tradisional Jawa yang sebagian masih berlantaikan tanah turut mengapit jalan kecil dan mulus itu. Hal itu semakin meyakinkan kami bahwa berkemungkinan mobil telah melenceng dari jalur menuju museum. Namun, setelah melihat sebuah gerbang dan bangunan modern dari kejauhan, kami menjadi lega. Senyum kemenangan menghiasi wajah seolah kami baru usai berjuang menaklukan nafsu angkara murka.

Kami tiba dimuseum manusia purba klaster Bukuran saat matahari hampir tegak lurus dipetala langit. Siang itu matahari seolah mau memberitahu bahwa dia masih matahari yang sama sejak lembah Sangiran masih dihuni oleh anthropoid, bahkan jauh sebelum itu. Cakrawala semakin biru dan jernih ditempa sinar sang mentari. Paduan warna langit yang membiru dan hijaunya pepohonan jati disekitar museum menjalin harmoni apik dengan keriangan suasana hati. Karena ini adalah wisata minat khusus, maka hanya terlihat beberapa orang pengunjung saja yang berseliweran disekitar museum. Analisis primordial kami menyimpulkan bahwa hanya orang-orang yang gagal move on dari masa lalu saja yang akan berwisata ke museum, apalagi ini adalah museum manusia purba.

Dokpri
Dokpri

Kami tidak hanya terpukau dengan kemodernan tampilan arsitektur museum yang sangat elok. Dengan cepat kami mengambil posisi masing-masing untuk diabadikan melalui lensa kamera smartphone. Keinginan untuk segera mengunggah foto keberbagai akun media sosial seperti instagram, path, facebook bahkan grup whatsapp seketika sirna karena sinyal sepertinya enggan berkunjung ke ceruk Sangiran yang purba itu.

Didalam khazanah ilmu-ilmu kedokteran forensik, terdapat salah satu cabang yang mengkhususkan diri untuk individuasi dari tulang belulang. Cabang yang dimaksud adalah antropologi forensik. Kalau ditinjau dari sudut pandang antropologi, antropologi forensik merupakan dahan dari antropologi biologi atau antropologi ragawi/fisik. Bradley J. Adams didalam bukunya yang berjudul Forensic Anthropology berpendapat bahwa antropologi forensik merupakan bagian dari antropologi fisik yang mempelajari populasi manusia dari perspektif biologi dan evolusi. Sedangkan antropologi fisik adalah subdisiplin dari antropologi yang mempelajari umat manusia dari karakter fisik dan budaya. Antropologi forensik menggunakan metode dan tujuan dari antropologi fisik untuk menjawab berbagai pertanyaan medikolegal. Dalam melakukan fungsinya seorang antropologis sering bekerjasama dengan seorang patologis, detektif dan odontologis forensik untuk mengidentifikasi mayat, waktu kematian dan barang bukti lainnya. Paragraf ini sedikit bernuansa ilmiah, tujuannya supaya pembaca yakin dan tidak merasa dikelabui oleh penulis.

Kedatangan kami ke Sangiran sedikit banyak terinspirasi oleh mata kuliah antropologi forensik yang akan kami jalani disemester genap ini. Tujuan antropologi forensik yang lebih banyak untuk identifikasi individu memang tidak berkorelasi linier dengan kunjungan ke museum klaster Bukuran. Akan tetapi pengalaman ini bisa menjadi bahan pengayaan dari sebuah proses pembelajaran. Walaupun sebagian museum-museum di Sangiran juga memamerkan koleksi tulang hewan, namun museum manusia purba klaster Bukuran secara keseluruhan mengekspos tulang belulang hominid berikut biologi manusia dari level molekuler, seluler sampai individu, bahkan bioma. Setidaknya, kunjungan ke Sangiran menjadi sebuah kunjungan ilmiah pra mata kuliah antropologi forensik alih-alih sebagai tamasya belaka.

Dinginnya air conditioner menyerbu tubuh ketika kami memasuki ruang pamer museum. Dilantai atas dipamerkan dengan sangat menarik beberapa fosil hewan purba, peta teori migrasi dan tentunya landasan semua pemikiran kepurbakalaan: teori evolusi seleksi alam dari Charles Darwin. Juan Comas dalam bukunya Manual of Physical Anthropology yang secara bebas diterjemahkan oleh penulis menukilkan dengan sangat detail bagaimana sejarah perkembangan antropologi sebagai ilmu yang sarat dengan beban pertanyaan tentang asal muasal manusia. Bahkan pengetahuan tentang antropologi fisik manusia berawal dan terinspirasi dari tulisan the voyage of Hanno, seorang Kartago yang melakukan ekspedisi disepanjang pantai utara Afrika ribuan tahun yang lalu. Dialah yang pertama kali menemukan gorilla dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat membingungkan, karena dapat berprilaku seperti manusia.

Di era selanjutnya, pemikiran tentang antropologi bergulir ke zaman Aristoteles, dia berpendapat bahwa manusia adalah hewan yang komplit serta menganjurkan studi komparatif antara manusia dan hewan. Setelah memasuki era yang dikenal sebagai the century of anatomists, antropologi fisik berkembang seiring sejalan dengan ilmu anatomi, namun pertanyaan tentang dari mana kehidupan khususnya manusia berasal masih terus dipertanyakan lalu diperdebatkan para ahli dari masa ke masa.

Dokpri
Dokpri

Mengamati koleksi museum satu persatu memberikan ruang pada keheningan. Museum klaster Bukuran benar-benar sepi pengunjung siang itu. Pengunjung yang datangpun tenggelam dan hanyut dalam gejolak alam pikiran mereka masing-masing. Dimuseum, masa lalu bertemu dengan masa kini. Dimuseum, waktu seolah berlari mundur dan kita dilemparkan ke suatu noktah tak pasti di suatu kurun waktu yang terkadang acak dan samar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun