Oleh Taufik Hidayat
"Masya Allah Pak, saya terharu.. " Kata Mas Budi Kenzin, "diskusi kemaren sangat bermanfaat buat saya. Pak Taufik Hidayat semakin buat saya semangat ngurus legalitas TPA. Terimakasih banyak."
 "Alhamdulillah, semangat terus Mas," jawabku terus menyemangati.
"Insya Allah, Pak."
Alhamdulillah tulisanku sebelumnya yang berjudul "Tulisan Itu Sedekah" membuat Sahabat Budi Kenzin tambah semangat. Dia semakin bersemangat untuk mengurus legalitas Taman Pendidikan Alqur'an yang sudah 9 tahun dikelola istrinya. Tentu dia sudah menyadari bahwa legalitas itu memang sangat penting, kalau memang menginginkan sebuah lembaga pendidikan maju dan berkembang.
Percakapan di atas menginspirasiku untuk membuat  tulisan ini, untuk lebih menyemangatinya. Mohon maaf isinya memang sudah pernah kumuat dalam tulisanku terdahulu. Jadi bagi sahabat yang sudah pernah membaca tulisanku dengan isi dan tema yang sama, mohon bisa dianggap ini sebagai ulangan, bukankah lancar kaji karena diulang, hehe.
Insya Allah dengan ditulis lagi seperti ini, akan lebih banyak manfaatnya. Tidak hanya bagi sahabat Budi Kenzin yang menyebabkan tulisan ini kubuat, tetapi juga, semoga, bermanfaat bagi Budi Kenzin-Budi Kenzin yang lain, yang saat ini juga lagi berusaha membangun dan mengembangkan lembaga pendidikan.
***
"Apa mungkin membangun lembaga pendidikan tanpa modal?"
Bisa jadi itulah pertanyaan yang muncul ketika anda membaca judul tulisan ini.
"Bukankah hanya buang angin saja yang gratis di dunia ini?"
Ya, memang tidak mungkin kalau tanpa modal sama sekali. Namun, dengan tulisan ini aku ingin mengingatkan bahwa modal itu jangan hanya dipahami sebagai uang atau finansial semata. Masih banyak modal lain yang bisa digunakan selain uang, misalnya legalitas yang akan diurus sahabat Budi Kenzin.
Kebetulan aku punya pengalaman membangun atau mengembangkan lembaga pendidikan yang nyaris tanpa menggunakan uang sebagai modal awalnya. Maksudku tidak semata-mata berangkat dari ketersediaan uang yang cukup, baru melakukan pengembangan.
Sekitar 5 tahun yang lalu, aku diminta menjadi ketua Yayasan Pendidikan NU Kota Banjarmasin. Yayasan ini membina dua lembaga pendidikan  yaitu SMPNU dan SMKNU.
Yayasan ini saat itu hanya memiliki dana yang minim, sementara aku yang diminta menjadi ketua yayasan bukanlah orang yang berpunya. Artinya, kalau semata-mata memandang uang sebagai modal untuk bisa membangun, maka SMPNU dan SMKNU Banjarmasin tidak akan pernah berkembang seperti sekarang.
Sebagai gambaran, 5 tahun yang lalu, dua sekolah itu berada di satu lokasi dengan lahan sempit, hanya sekitar 1.200 Â meter persegi. Kini alhamdulillah sudah berada di dua lokasi, dengan lahan lebih dari 1 hektar. Dulu sekolah pagi sore, kini sudah pagi semua. Artinya lahan dan bangunan sudah cukup, tidak kekurangan lagi.
Dulu bengkel praktek siswa berada di lingkungan sekolah, sehingga mengganggu proses belajar mengajar, kini sudah berdiri di pinggir jalan. Bengkel sudah berdiri di luar lingkungan sekolah dan bisa dikembangkan menjadi bengkel komersial, tidak semata-mata tempat praktek siswa. Hasilnya akan digunakan untuk melakukan pengembangan sekolah lebih lanjut lagi.
"Kok, bisa?"
Ya, ialah.  Kami di yayasan saat itu tidak memandang ketersediaan uang sebagai titik berangkat untuk melakukan pengembangan. Lakukan dahulu apa yang bisa, insya Allah uang akan datang. Bagi kami  uang bukan segala-galanya, walaupun segala-galanya memang memerlukan uang.
***
Biasanya, seorang ketua yayasan memiliki  tiga syarat, kaya, punya posisi penting, dan berpengalaman mengelola lembaga pendidikan. Kalau tidak bisa ketiganya, minimal salah satunya.
Dengan kemampuan finansial, akan sangat mudah mengembangkan lembaga pendidikan yang dibina. Dengan posisi penting, bisa  menggunakan pengaruhnya. Kalau tidak kaya dan tidak punya posisi penting, minimal punya pengalaman mengembangkan lembaga pendidikan, sehingga dengan pengalamannya itu lebih mudah melakukan pengembangan.
Nah, aku sama sekali tidak punya tiga persyaratan itu, sehingga sesungguhnya tidak layak jadi ketua. Namun, kondisi saat itu adalah bagaikan ungkapan "tak ada rotan akar pun jadi". Pengurus lama rata-rata sudah uzur dan sakit-sakitan, sehingga diperlukan tenaga segar, maka dipilihlah aku.
Aku bukanlah orang yang kaya. Tidak punya pekerjaan tetap dan harus membiaya 2 orang anak yang lagi kuliah di luar daerah. Aku hanyalah mantan ketua dewan, yang sudah kehilangan jabatan itu sekitar 5 tahun. Aku tidak berpengalaman mengelola lembaga pendidikan secara langsung.
Singkat cerita, setelah menerima amanah sebagai ketua yayasan, aku dan teman-teman pengurus melakukan evaluasi. Hasilnya, lembaga pendidikan ini di bawah pembinaan pengurus yayasan sebelumnya ternyata sudah lumayan bagus. Dari semula hanya satu lembaga pendidikan (SMPNU) sudah bertambah satu lagi (SMKNU).
Kualitas dua lembaga pendidikan itu sudah lumayan baik, sehingga mendapat kepercayaan yang tinggi dari masyarakat. Sayangnya sedikit lengah dalam mengantisipasi perkembangan yang terjadi, dan menyiapkan fasilitasnya. Kekurangan ruang kelas menyebabkan siswa terpaksa belajar pagi sore. Setiap tahun ajaran baru terpaksa membatasi murid yang masuk (bukan kekurangan murid sebagaimana terjadi di banyak lembaga pendidikan yang lain).
Di mana masalahnya? Lahan sempit, sehingga tidak bisa membangun ruang kelas baru.
Kenapa tidak mencari lahan baru? Tak ada uang.
Kenapa tidak menghimpun uang? Sudah, tetapi tidak pernah cukup. Pergerakan harga tanah jauh lebih cepat dari pengumpulan uang.
Itulah gambaran kondisi objektif yang kuhadapi saat menerima amanah sebagai ketua yayasan itu. Alhamdulillah aku dan kawan-kawan pengurus baru tidak menyerah. Yakin bahwa setiap masalah pasti ada solusinya. Berprasangka baik dengan Allah SWT, bahwa beliau tidak akan pernah membiarkan seseorang atau kelompok orang yang sedang berikhtiar di jalan-Nya.
Tahap awal kami sepakat merubah pola pikir atau maindset, bahwa pengembangan lembaga pendidikan tidak harus  dimulai dari ketersediaan uang, seperti yang dipahami banyak orang selama ini. Kita memang perlu uang, tetapi bukan dari uang kita berangkat dalam melakukan pengembangan. Masih banyak modal lain yang bisa dipergunakan, selain uang. Insya Allah uang akan menyusul saja belakangan.
Dengan perubahan maindset itu kami ubah pola kerja lama. Dulu cari uang baru cari lahan, kini cari lahan dulu, baru uangnya. Alhamdulillah lahan ketemu, bayar dana seadanya sebagai uang muka, cicil pembayaran selanjutnya sambil ngumpulin uang. Alhamdulillah setelah lima tahun berjalan, lahan sekitar 1 hektar sudah terbeli, lunas terbayar senilai lebih 1 milyar rupiah, dengan dana awal hanya 100 jt rupiah.
Berlanjut ke pembenahan legalitas, seperti yang sedang dilakukan Mas Budi Kenzin saat ini. Legalitas selesai, lanjut ikhtiar lain yang bisa dilakukan. Buka jaringan seluas-luasnya, manfaatkan medsos.
Alhamdulillah, Â setelah lahan cukup luas tersedia dan legalitas selesai, kepercayaan banyak pihak meningkat, baik pemerintah maupun masyarakat. Dari pemerintah dapat bangunan. Dari masyarakat, baik yang di kenal di dunia nyata, maupun hanya di dunia maya, Â banyak masuk sumbangan.
Alhamdulillah, kini ikhtiar pengembangan fasilitas fisik relatif  telah selesai. Yayasan sudah mulai bisa fokus pada pengembangan ke dalam. Pengembangan kualitas belajar dan mengajar.
Alhamdulillah, terbukti bahwa modal awal membangun lembaga pendidikan itu bukanlah uang, melainkan kemauan. Kemauan untuk berubah dan kemauan untuk bekerja keras mewujudkannya. Manfaatkan apa saja yang bisa digunakan, jangan semata-mata terfokus pada ketersediaan uang.
Semoga sharing pengalaman ini bermanfaat bagi banyak pihak, yang saat ini bersama penulis dan Mas Budi Kenzin, sedang berikhtiar mengembangkan lembaga pendidikan. Aamiin YRA
Bjm, 15/11/2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H