Nah, aku sama sekali tidak punya tiga persyaratan itu, sehingga sesungguhnya tidak layak jadi ketua. Namun, kondisi saat itu adalah bagaikan ungkapan "tak ada rotan akar pun jadi". Pengurus lama rata-rata sudah uzur dan sakit-sakitan, sehingga diperlukan tenaga segar, maka dipilihlah aku.
Aku bukanlah orang yang kaya. Tidak punya pekerjaan tetap dan harus membiaya 2 orang anak yang lagi kuliah di luar daerah. Aku hanyalah mantan ketua dewan, yang sudah kehilangan jabatan itu sekitar 5 tahun. Aku tidak berpengalaman mengelola lembaga pendidikan secara langsung.
Singkat cerita, setelah menerima amanah sebagai ketua yayasan, aku dan teman-teman pengurus melakukan evaluasi. Hasilnya, lembaga pendidikan ini di bawah pembinaan pengurus yayasan sebelumnya ternyata sudah lumayan bagus. Dari semula hanya satu lembaga pendidikan (SMPNU) sudah bertambah satu lagi (SMKNU).
Kualitas dua lembaga pendidikan itu sudah lumayan baik, sehingga mendapat kepercayaan yang tinggi dari masyarakat. Sayangnya sedikit lengah dalam mengantisipasi perkembangan yang terjadi, dan menyiapkan fasilitasnya. Kekurangan ruang kelas menyebabkan siswa terpaksa belajar pagi sore. Setiap tahun ajaran baru terpaksa membatasi murid yang masuk (bukan kekurangan murid sebagaimana terjadi di banyak lembaga pendidikan yang lain).
Di mana masalahnya? Lahan sempit, sehingga tidak bisa membangun ruang kelas baru.
Kenapa tidak mencari lahan baru? Tak ada uang.
Kenapa tidak menghimpun uang? Sudah, tetapi tidak pernah cukup. Pergerakan harga tanah jauh lebih cepat dari pengumpulan uang.
Itulah gambaran kondisi objektif yang kuhadapi saat menerima amanah sebagai ketua yayasan itu. Alhamdulillah aku dan kawan-kawan pengurus baru tidak menyerah. Yakin bahwa setiap masalah pasti ada solusinya. Berprasangka baik dengan Allah SWT, bahwa beliau tidak akan pernah membiarkan seseorang atau kelompok orang yang sedang berikhtiar di jalan-Nya.
Tahap awal kami sepakat merubah pola pikir atau maindset, bahwa pengembangan lembaga pendidikan tidak harus  dimulai dari ketersediaan uang, seperti yang dipahami banyak orang selama ini. Kita memang perlu uang, tetapi bukan dari uang kita berangkat dalam melakukan pengembangan. Masih banyak modal lain yang bisa dipergunakan, selain uang. Insya Allah uang akan menyusul saja belakangan.
Dengan perubahan maindset itu kami ubah pola kerja lama. Dulu cari uang baru cari lahan, kini cari lahan dulu, baru uangnya. Alhamdulillah lahan ketemu, bayar dana seadanya sebagai uang muka, cicil pembayaran selanjutnya sambil ngumpulin uang. Alhamdulillah setelah lima tahun berjalan, lahan sekitar 1 hektar sudah terbeli, lunas terbayar senilai lebih 1 milyar rupiah, dengan dana awal hanya 100 jt rupiah.
Berlanjut ke pembenahan legalitas, seperti yang sedang dilakukan Mas Budi Kenzin saat ini. Legalitas selesai, lanjut ikhtiar lain yang bisa dilakukan. Buka jaringan seluas-luasnya, manfaatkan medsos.