Berbeda dengan pada masa sebelum Perubahan UUD 1945 dimana pengertian lembaga negara lebih menunjukkan pada pengertian sebagai alat kelengkapan negara (state's organs) yang diwujudkan menjadi lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara, perubahanperubahan di masa Reformasi menunjukkan pengertian yang berbeda. Tidak terdapat lagi sebutan lembaga tertinggi dan lembaga tinggi. Lembaga-lembaga yang diatur dalam UUD 1945 disebut sebagai lembaga negara, meskipun dari fungsi tidak melaksanakan fungsi ketatanegaraan, melainkan fungsi pendukung (auxiliary function). Bahkan, lembaga-lembaga yang disebut sebagai "komisi" atau sebutan lain dikualifikasi pula sebagai lembaga negara, semata-mata karena undang-undang yang membentuknya memberikan kualifikasi tersebut. Padahal dilihat dari fungsi, badan-badan tersebut bukanlah alat kelengkapan negara karena tidak bertindak untuk dan atas nama negara.
Sebagai respons, Bagir Manan menyatakan sebaiknya menggunakan kualifikasi badan yang bersifat ketatanegaraan dan badan yang tidak bersifat ketatanegaraan.18 Kualifikasi tersebut didasarkan pada fungsi, tugas dan wewenang sebagaimana diatur secara substantif dalam UUD 1945 atau undang-undang mengenai badan tersebut.19 Atas dasar pendekatan fungsi tersebut, lembaga-lembaga yang diatur dalam UUD 1945 tidak dengan serta dikualifikasi sebagai alat kelengkapan negara.
Dalam praktik terdapat bermacam kerancuan atau anomali akibat perubahan pengertian lembaga negara yang mengakibatkan kerancuan pada berbagai aspek dalam kelembagaan negara, terutama hubungan antar lembaga. Pada saat awal berdirinya Komisi Yudisial terdapat anggapan bahwa Komisi ini mempunyai kedudukan yang setara dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi karena diatur dalam Bab Kekuasaan Kehakiman. Akibatnya, sering terjadi "tension" antara ketiga lembaga tersebut.
"Ketegangan" juga seringkali terjadi antara cabang legislatif dengan eksekutif, atau antara cabang kekuasaan legislatif dengan lembaga lainnya. Akibat Perubahan UUD 1945, DPR seringkali memperlihatkan dirinya sebagai lembaga yang sangat dominan dalam penyelenggaraan negara. Untuk "melancarkan" hubungan dengan DPR, Presiden memilih menteri-menteri dari berbagai partai politik sehingga menimbulkan apa yang disebut sebagai "Kabinet Koalisi", suatu praktik menyimpang dari sistem presidensil yang menghendaki pembentukan kabinet ahli atau zaken cabinet. Selain itu, contoh terakhir dapat dilihat adanya keinginan beberapa fraksi DPR yang akan menggunakan hak angket terhadap KPK dengan alasan dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan.
2. Hubungan kelembagaan dan persoalan dalam praktik
Salah satu aspek berkenaan dengan kelembagaan negara adalah aspek hubungan. Hubungan ini akan ditentukan oleh kualifikasi sebagai badan ketatanegaraan atau bukan badan ketatanegaraan. Dalam kaitan ini, Â
"Dari tinjauan hukum, hubungan kelembagaan negara dapat bersifat ketatanegaraan (staatsrechtelijk) atau tidak bersifat ketatanegaraan misalnya hubungan yang bersifat administratif (administratiefrechtelijk). Tetapi tidak sebaliknya. Badan-badan yang bukan lembaga kenegaraan tidak dapat melakukan hubungan yang bersifat ketatanegaraan, karena hubungan itu tidak dilakukan untuk dan atas nama negara. Kalaupun dalam keadaan tertentu dipandang melakukan tugas yang bersifat ketatanegaraan, hal itu semata karena suatu "pelimpahan" dari pemegang kekuasaan asli (original power) ketatanegaraan. Tugas dan wewenang ketatanegaraan badan semacam ini bersifat 11 derivatif belaka (tidak original). Misalnya kejaksaan yang bertindak untuk dan atas nama negara, semata-mata karena pelimpahan dari penyelenggara negara dibidang pemerintahan (eksekutif)". 20 Lebih lanjut Bagir Manan menjelaskan bahwa dalam praktik dijumpai beraneka ragam hubungan antar kelembagaan negara, antara lain:21
(a) Hubungan kerjasama atau hubungan kolegial sebagaimana
diperlihatkan melalui hubungan kerjasama antara DPR dan Presiden dalam hal pembentukan undang-undang.
(b) Hubungan pertanggungjawaban dalam sistem pemerintahan
parlementer dimana cabang kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada cabang kekuasaan legislatif.