Budaya di Indonesia yang kental dengan nilai-nilai religius dan tradisi memaafkan juga mempengaruhi cara rakyat menyikapi pemimpin. Dalam banyak tradisi agama, ada ajaran untuk mendoakan pemimpin, terlepas dari kesalahan atau kekurangannya.
Hal ini didorong oleh keyakinan bahwa mendoakan pemimpin akan membawa kebaikan bagi negara dan masyarakat secara keseluruhan. Sebaliknya, mencela pemimpin dianggap sebagai tindakan negatif yang berpotensi membawa dampak buruk.
 Selain itu, rakyat cenderung memaklumi kekurangan pemimpin dengan menggunakan narasi moral bahwa "tidak ada pemimpin yang sempurna."Â
Tradisi memaafkan dan memberikan kesempatan kedua bagi pemimpin membuat dukungan kepada presiden bertahan, meskipun ada ketidakpuasan atas kebijakan-kebijakan tertentu.
Dukungan terhadap presiden yang gagal mensejahterakan rakyat dan terlibat dalam politik dinasti merupakan fenomena kompleks yang melibatkan berbagai faktor psikologis massa. Kharisma pemimpin, efek nostalgia, kultus personalitas, keterbatasan informasi, dan pola berpikir kolektif semuanya berperan dalam mempertahankan dukungan rakyat.Â
Di samping itu, harapan dan ketergantungan pada figur otoritas, serta nilai-nilai religius dan budaya memaafkan, semakin memperkuat fenomena ini. Pada akhirnya, dukungan kepada pemimpin bukan hanya soal rasionalitas, tetapi juga soal emosi dan persepsi kolektif. Pemimpin yang mampu membangun ikatan emosional dengan rakyat dapat tetap mendapatkan dukungan, meskipun hasil kerjanya tidak selalu sesuai harapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H