Secara rasional, seorang pemimpin yang gagal mensejahterakan rakyat dan terlibat dalam praktik politik dinasti seharusnya menuai kritik dan penurunan dukungan. Namun, fenomena yang sering terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia, menunjukkan hal sebaliknya: banyak rakyat masih mengidolakan, menyukai, dan bahkan mendoakan pemimpin seperti itu.Â
Dalam konteks ini, penjelasan tidak hanya bisa dicari dalam politik, tetapi juga melalui psikologi massa, yang membahas bagaimana emosi, persepsi kolektif, dan hubungan sosial memengaruhi perilaku dan sikap publik.
Seorang pemimpin seringkali dipersepsikan lebih dari sekadar orang dengan kebijakan-kebijakan yang tepat. Pemimpin dengan karisma kuat dapat menciptakan ikatan emosional dengan rakyat. Kharisma ini muncul bukan hanya karena keberhasilan program, melainkan melalui public image yang dibangun lewat gaya komunikasi, kehadiran fisik, dan bahasa tubuh yang meyakinkan.Â
Pemimpin yang terlihat dekat dengan rakyat, berbicara dengan nada emosional, atau memproyeksikan kehangatan pribadi sering kali dipersepsikan sebagai "pemimpin rakyat" meskipun kebijakan-kebijakan yang dijalankan tidak selalu membawa kesejahteraan konkret.
Dalam psikologi massa, fenomena ini dikenal sebagai transference, yaitu proses di mana individu atau kelompok massa memproyeksikan harapan dan kebutuhan emosional mereka pada seorang tokoh.Â
Dengan kata lain, rakyat melihat sosok presiden bukan hanya sebagai seorang birokrat yang menjalankan tugas negara, tetapi juga sebagai simbol harapan dan pemenuhan emosi kolektif. Pemimpin yang dianggap "merakyat" dapat mengompensasi kegagalan kebijakan dengan sekadar menunjukkan kepedulian secara simbolik. Dalam banyak kasus, rakyat cenderung mengingat dan memegang teguh kenangan-kenangan positif dari masa lalu seorang pemimpin, meskipun realitas saat ini menunjukkan sebaliknya.
Psikolog sosial menyebut fenomena ini sebagai rosy retrospection, di mana manusia cenderung menilai masa lalu lebih baik daripada yang sebenarnya. Jika seorang presiden pada masa-masa awal kepemimpinannya mampu memberikan harapan atau menciptakan perubahan kecil yang signifikan, memori kolektif rakyat akan terus memusatkan perhatian pada keberhasilan itu, bukan pada kegagalan di kemudian hari.
 Pemimpin yang pernah berperan dalam pembangunan monumental atau proyek simbolik (meskipun dampaknya terbatas) akan dikenang dalam kerangka romantis. Hal ini diperkuat oleh narasi dan propaganda politik yang menyebarkan pesan-pesan nostalgia tentang keberhasilan masa lalu.Â
Dengan begitu, sebagian rakyat merasa berutang budi atau bersimpati, bahkan jika kesejahteraan yang dijanjikan tidak kunjung tiba. Banyak pemimpin berhasil membangun kultus personalitas, yakni ketika popularitas seseorang menjadi begitu kuat hingga terpisah dari kinerjanya. Kultus personalitas bekerja melalui pencitraan yang intensif dan propaganda yang menggambarkan pemimpin sebagai sosok luar biasa, bahkan di luar batas-batas kemanusiaan biasa.
Media massa, konten digital, dan para pendukung loyal turut memperkuat citra tersebut, membuat rakyat melihat pemimpin bukan hanya sebagai manusia, tetapi sebagai ikon. Pemimpin dalam sistem politik dinasti sering kali berhasil membangun kultus semacam ini. Pemimpin yang karismatik dapat "menurunkan" reputasinya kepada anggota keluarganya, membuat politik dinasti tampak wajar atau bahkan diharapkan.