DAURAH MINHAJUS SUNNAH -- 1446 HTRAWAS MOJOKERTO -- 11 Rabiul Akhir 1446 H/14 Oktober 2024
SYAIKH HAMED BIN ABDUL AZIIZ AL-ATIIQ hafizhahullah
SYARAH Al-ARBAIN AN-NAWAWIYAH -- Syarah 40 Hadits an-Nawawiyah
Ditulis oleh : ustadz Zaki Rakhmawan Abu Usaid
Telah melakukan editing oleh Taufik Eldrian
Â
Kutipan " Â Hari ini orang-orang berbicara tentang kecerdasan sosial, kecerdasan finansial, kecerdasan industri, kecerdasan teknologi, berbagai jenis kecerdasan. Seorang mukmin secara umum, dan seorang penuntut ilmu secara khusus, harus memiliki kecerdasan syar'i, kecerdasan dalam beribadah kepada Allah Ta'ala"
Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam kepada nabi yang mulia  Muhammad Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, hamba  dan Rasul-Nya, semoga Allah memberi rahmat dan kesejahteraan kepada beliau, keluarganya, serta para sahabatnya.
Â
Para syaikh yang mulia,
Ini adalah pelajaran pertama dalam penjelasan kitab yang diberkahi ini, yaitu Al-Arba'in An-Nawawiyah yang berisi hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Â saya ingin memberikan beberapa pendahuluan terkait ilmu dan dakwah kepada Allah Azza wa Jalla. Kita akan membahas sedikit mengenai metode penjelasan dan bagaimana kita akan berjalan bersama-sama, insya Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah.
Â
Â
Saya katakan, wahai syaikh-syaikh saya, hal pertama dari semua ini, pendahuluan pertama adalah: niat, niat. Niat, niat. "Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas dalam menjalankan agama bagi-Nya.
" Wahai para syaikh yang mulia, syaikh-syaikh saya, saudara-saudara saya, dan anak-anak saya, pekerjaan yang kita lakukan ini adalah salah satu dari ibadah yang paling mulia, tetapi dengan syarat niat di dalamnya harus benar.
Â
Jika niat tidak benar, maka itu menjadi salah satu dosa besar, dan kita berlindung kepada Allah dari hal itu.Â
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah: "Orang pertama yang akan dijerumuskan ke dalam api neraka pada hari kiamat ada tiga." Dan di antara mereka disebutkan "seorang yang membaca Al-Qur'an." Allah akan mendatangkan orang itu pada hari kiamat, lalu Allah memperlihatkan nikmat-nikmat-Nya kepadanya dan berkata: "Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat-nikmat ini?" Orang itu menjawab: "Ya  Rabbku, aku membaca Al-Qur'an karena-Mu, maka aku mempelajarinya dan mengajarkannya."
Â
Ini adalah ilmu, ilmu syar'i yang berkaitan dengan Al-Qur'an, mempelajari Al-Qur'an dari segi lafaz-lafaznya, makna-maknanya, hukum-hukumnya, dan dalil-dalilnya. Orang itu berkata bahwa dia telah mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya.Â
"Namun Allah Azza wa Jalla berkata kepadanya: "Engkau berdusta, engkau membaca Al-Qur'an supaya dikatakan bahwa engkau adalah seorang pembaca Al-Qur'an, supaya dikatakan bahwa engkau seorang syaikh, supaya dikatakan bahwa engkau seorang imam, supaya dikatakan bahwa engkau seorang faqih, supaya dikatakan bahwa engkau seorang alim, supaya dikatakan bahwa engkau seorang doktor, supaya dikatakan bahwa engkau apapun yang terkait dengan dunia, dan kita berlindung kepada Allah dari itu. Dan apa yang dikatakan telah terwujud di dunia, engkau telah mendapatkan bagianmu di dunia. Bawalah dia ke neraka."
Â
Â
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan firman Allah Ta'ala: "Barang siapa yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, Kami akan penuhi perbuatan mereka di dalamnya." (Surah Hud (11:15-16)).Â
Mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan di dunia, mereka akan disebut sebagai syaikh, Qori' pembaca Al-Qur'an, alim, faqih, doktor. Itu akan dikatakan tentang mereka, dan Kami akan penuhi perbuatan mereka di dunia dan mereka tidak akan dirugikan. Namun bagi mereka tidak ada apa-apa di akhirat selain neraka.
Â
Â
"Mereka adalah orang-orang yang tidak mendapatkan apa-apa di akhirat kecuali neraka. Dan sia-sialah apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan hilanglah apa yang telah mereka kerjakan."Â
Kita berlindung kepada Allah dari hal itu. Kita berlindung kepada Allah dari amal dan ibadah yang menjadi penyesalan dan kerugian di hadapan Allah Ta'ala. Kita memohon kepada Allah agar memberikan kita keikhlasan dalam perkataan dan perbuatan.
Â
Dan niat ini, wahai para syaikh yang mulia, saudara-saudaraku dan anak-anakku, seorang mukmin dapat memperbanyak niatnya.
 Hari ini orang-orang berbicara tentang kecerdasan sosial, kecerdasan finansial, kecerdasan industri, kecerdasan teknologi, berbagai jenis kecerdasan. Seorang mukmin secara umum, dan seorang penuntut ilmu secara khusus, harus memiliki kecerdasan syar'i, kecerdasan dalam beribadah kepada Allah Ta'ala. Dengan satu ibadah, kamu bisa menyembah Allah Azza wa Jalla melalui sepuluh ibadah.
Â
Dengan satu ibadah, kamu bisa menyembah Allah Azza wa Jalla dengan satu ibadah, dan kamu juga bisa menyembah Allah dengan satu ibadah melalui sepuluh ibadah. Bagaimana caranya? Dengan niat.
Sebagai contoh, ketika kamu menuntut ilmu, kamu bisa berniat dengan satu niat, dan kamu bisa berniat dengan beberapa niat sekaligus, sehingga kamu menyembah Allah Azza wa Jalla dengan satu ibadah melalui beberapa ibadah. Kamu bisa berniat untuk menaati Allah, dan berniat dengan menuntut ilmu untuk menaati Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, berniat dengan menuntut ilmu untuk menyebarkan Kitab Allah, berniat dengan menuntut ilmu untuk menyebarkan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, berniat dengan menuntut ilmu untuk menyebarkan tauhid, berniat untuk menyebarkan sunnah, berniat untuk melarang syirik, kekufuran, ateisme, dan bid'ah, berniat untuk menyeru kepada manhaj salaf, dan melarang fanatisme kelompok.
Â
Kamu bisa berniat dengan menuntut ilmu untuk mengangkat kebodohan dari dirimu, berniat untuk mengangkat kebodohan dari keluargamu, berniat untuk mengangkat kebodohan dari umat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Kamu bisa menambah niat-niat ini.Â
Maka lihatlah, berapa banyak ibadah yang kita sia-siakan karena kita tidak memahami niat, tidak memperhatikan niat, tidak berjuang untuk niat, dan tidak mencari beberapa niat dalam satu amal.
Â
Sebagai contoh, ketika kamu ingin bepergian ke negara lain atau pulau lain, kamu bisa berniat dengan satu niat, dan kamu bisa berniat dengan banyak niat: menyeru kepada tauhid dan sunnah, menyeru kepada manhaj salaf, melarang syirik, melarang kekufuran, melarang ateisme, melarang bid'ah, dan melarang fanatisme kelompok. Kamu bisa berniat untuk menyambung silaturahmi, berniat untuk mengunjungi saudara seiman, berniat untuk menjenguk orang sakit, dan kamu bisa memperbanyak niat-niat ini sebanyak yang kamu mampu.
Â
Kamu bisa berniat untuk membantu saudara-saudaramu yang lemah, mungkin dakwah mereka baru, atau mereka termasuk yang lemah di daerah mereka. Maka kamu berniat untuk memperkuat mereka dan memberi dukungan kepada mereka. Demikianlah, ketika kamu menuntut ilmu, cobalah untuk memperbanyak niat, dan ketika kamu menuntut ilmu dan berdakwah kepada Allah, perbanyaklah niat-niat yang baik.
Â
Dengan ini, wahai para syaikh yang mulia, orang-orang yang beruntung telah menang. Abu Bakar As-Siddiq tidak mendahului mereka dengan banyaknya puasa dan shalat, tetapi dengan sesuatu yang tertanam dalam hatinya, yaitu niat. Dua orang melakukan satu amal yang sama dengan niat yang baik, tetapi yang satu menyembah Allah Azza wa Jalla dengan satu ibadah, sedangkan orang yang di sebelahnya menyembah Allah dengan sepuluh, dua puluh, bahkan tiga puluh ibadah.
Â
Hal kedua, wahai para syaikh yang mulia, saudara-saudaraku, dan anak-anakku, ilmu yang kita tuntut ini tidak akan menjadi ilmu yang benar dan diterima kecuali jika sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Bukankah ilmu itu ibadah? Ya. Bukankah ia termasuk ibadah yang paling mulia? Ya. Maka, ilmu memerlukan syarat yang sama dengan setiap ibadah, yaitu niat dan ittiba' (mengikuti sunnah).
Bagaimana caramu menuntut ilmu? Apakah kamu menuntut ilmu dengan cara Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya? Dengan mengagungkan Al-Qur'an dan sunnah sesuai cara salaf umat ini? Atau kamu menuntut ilmu dengan cara orang-orang yang menyelisihi? Mengutamakan akal, perasaan, pengalaman, banyaknya orang, mimpi, ilham, atau bisikan hati? Apakah ini cara Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam? Tidak. Ini bukan cara Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan bukan cara para sahabat radhiallahu'anhum.
Â
Dan tidak ada yang tersesat dari makhluk dalam hal ini kecuali karena mereka meninggalkan jalan yang benar dalam menuntut ilmu sesuai petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan petunjuk para sahabatnya. Jika mereka tidak mengikuti petunjukmu, maka ketahuilah bahwa mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka. Pembagian dalam ilmu, wahai para syaikh yang mulia, adalah dua: mengikuti atau berbuat bid'ah. Jika mereka tidak mengikutimu, maka ketahuilah bahwa mereka mengikuti hawa nafsu mereka. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan (dalam agama).
Â
Pembagian itu dua, tidak ada yang ketiga, wahai hamba-hamba Allah. Ketika para ahli kalam yang berpegang pada prinsip-prinsip Jahmiyah dan diikuti oleh Mu'tazilah muncul, Ahlus Sunnah menolak mereka dengan kitab dan sunnah serta apa yang menjadi pegangan salaf umat ini. Lalu muncul kelompok yang ingin mengambil dari kedua belah pihak, yaitu kelompok Asy'ariyah dan Maturidiyah. Mereka mengklaim bahwa mereka akan mengambil kitab dan sunnah dari Ahlul Hadits, tetapi juga mengambil akal dari Jahmiyah dan Mu'tazilah.
Apa yang terjadi? Hal itu menghasilkan sesuatu yang cacat, sampai-sampai sebagian pengikutnya tidak bisa menjelaskannya, seperti masalah "kasb" pada Asy'ariyah, dan masalah-masalah lainnya yang bahkan mereka sendiri kadang-kadang tidak mampu menjelaskannya. Maka tidak ada jalan lain bagi kalian kecuali mengikuti jalan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam ilmu, berpegang teguh pada metode ilmu melalui kitab dan sunnah, serta apa yang dipegang oleh salaf umat ini.
Â
Prinsip ini, yaitu berpegang teguh kepada Kitab Allah, sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan apa yang dipegang oleh salaf umat ini, sangat jelas dalam Kitab Allah, sunnah Rasul-Nya, dan ijma' Ahlus Sunnah wal Jamaah. Allah Ta'ala berfirman: "Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman, Kami akan biarkan dia di jalan yang dia pilih, dan Kami akan masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali." (Surah An-Nisa' (4:115))
Â
Â
Dan Allah Ta'ala berfirman: "Jika mereka beriman sebagaimana kalian beriman, sungguh mereka telah mendapat petunjuk." (Surah Al-Baqarah (2:137)). Pembagian itu dua: mengikuti atau membuat bid'ah. Jika mereka beriman seperti kalian beriman, mereka telah mendapat petunjuk, namun jika mereka tidak beriman seperti kalian beriman, maka mereka tersesat, dan kita berlindung kepada Allah dari itu.
Â
Allah Ta'ala berfirman: "Dan orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya." (Surah Al-Bayyinah (98:8)) Allah Azza wa Jalla menggantungkan keridhaan-Nya kepada dua kelompok ini.
Â
Sekarang, apa yang tersisa? Mereka yang mengikuti para sahabat dengan baik. Saya memohon kepada Allah agar menjadikan saya dan kalian termasuk dari mereka. Adapun tentang sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ada banyak hadits yang menjelaskannya, di antaranya adalah hadits Amirul Mukminin Mu'awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para perawi hadits lainnya: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu."
Â
Para sahabat bertanya: "Siapakah mereka, ya Rasulullah?" Nabi menjawab: "Mereka yang berada di atas jalan yang aku dan para sahabatku berada di atasnya hari ini." (HR. At-Tirmidzi no. 2641 dan at-Thabrani no.14646, Al-Hakim no. 444, shohih). Â Hadits agung ini dilemahkan oleh para pengikut jalan-jalan bid'ah, yang mengatakan bahwa jalan menuju Allah sebanyak nafas manusia.
Â
Oleh karena itu, mereka tidak puas dengan cara Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sampai mereka menambahkan cara-cara lain, seperti metode ini dan itu. Setiap orang yang mengaitkan dirinya dengan metode-metode ini sebenarnya mengakui dan menyaksikan bahwa mereka menyelisihi cara Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, karena jika mereka adalah pengikut Rasulullah , mereka akan mengaitkan diri mereka dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan dengan si fulan dan si fulan.
Â
Mereka mengatakan bahwa hadits ini lemah, sampai-sampai mereka mengatakan: "Semua golongan selamat," dan kita berlindung kepada Allah dari itu. Mereka menyangka bahwa hadits ini adalah satu-satunya hadits dalam bab ini. Padahal hadits ini hanyalah salah satu dari puluhan hadits lainnya, di antaranya adalah hadits 'Irbadh bin Sariyah radhiyallahu 'anhu yang berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menasihati kami dengan nasihat yang mendalam, hati-hati menjadi takut karenanya dan mata-mata berlinang air mata." Â (HR. Abu Dawud no. 4607, Ahmad no. 17185)
Â
Kami berkata: "Ya Rasulullah, seolah-olah ini adalah nasihat perpisahan, maka berilah kami wasiat." Rasulullah bersabda: "Aku wasiatkan kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat, dan sesungguhnya siapa yang hidup di antara kalian akan melihat banyak perselisihan. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi geraham kalian, dan berhati-hatilah terhadap perkara baru, karena setiap perkara baru adalah bid'ah."
Â
Wahai para syaikh yang mulia, hadits 'Irbadh ini secara lafaz dan makna sesuai dengan hadits Mu'awiyah. Perhatikanlah dalam hadits Mu'awiyah, beliau berkata: "Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan." Sedangkan dalam hadits 'Irbadh: "Siapa yang hidup di antara kalian akan melihat banyak perselisihan." Di sini disebutkan perselisihan, sementara di hadits lainnya disebutkan jumlah golongannya, dan di sini tidak disebutkan jumlah.
Â
Dalam hadits Mu'awiyah, para sahabat meminta kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ciri-ciri dari golongan yang selamat, maka beliau menjawab: "Mereka yang berada di atas jalan yang aku dan para sahabatku berada di atasnya hari ini."
Dalam hadits 'Irbadh disebutkan: "Maka berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk setelahku." Tiada  Rabb selain Allah, sungguh kedua hadits ini (hadits 'Irbadh dan hadits Mu'awiyah) benar-benar sama dalam lafaz dan makna. Demikian pula hadits Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menggambar garis lurus untuk kami, lalu beliau menggambar beberapa garis kecil di kanan dan kirinya, kemudian beliau bersabda: "Ini adalah jalan Allah, dan ini adalah jalan-jalan yang di atas setiap jalan ada setan yang mengajak kepadanya." Lalu beliau membaca firman Allah Ta'ala: "Dan bahwa ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah dia dan jangan mengikuti jalan-jalan lain, karena jalan-jalan itu akan memisahkan kalian dari jalan-Nya." (HR. Ahmad no. 4142, an-Nasaai dalam as-Sunan al-Kubro no. 11174).
Â
Perhatikan dalam hadits Ibnu Mas'ud, berapa jumlah jalan menuju Allah? Satu. Sementara jalan-jalan yang menyimpang adalah banyak. Ini sesuai dengan hadits 'Irbadh dan hadits Mu'awiyah. Apa tanda jalan yang lurus? "Dan bahwa ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah dia." Inilah mengikuti: "Berpeganglah kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk." Dan "Mereka yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya hari ini."
Â
Dan dalam hadits Mu'awiyah, Amirul Mukminin, yang diriwayatkan dalam Shahihain dan hadits lainnya, disebutkan: "Akan selalu ada sekelompok dari umatku yang berada di atas kebenaran, menegakkan urusan Allah, tidak akan memudaratkan mereka orang yang meninggalkan mereka atau orang yang menentang mereka, sampai datang perintah Allah sementara mereka tetap dalam keadaan demikian."
Â
Maka apa yang ditunjukkan oleh hal ini? Golongan yang selamat, kelompok yang mendapat pertolongan, serta perpecahan umat setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ke dalam berbagai golongan ini. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Tidak ada celaan bagi orang yang menampakkan manhaj salaf dan menisbahkan dirinya kepadanya, bahkan harus diterima darinya, karena manhaj salaf tidak lain kecuali kebenaran berdasarkan kesepakatan."
Â
Dan ini yang ditunjukkan oleh Al-Qur'an dan sunnah, serta akal yang sehat. Wahai para syaikh yang mulia, mata mana yang awas dan hati mana yang terang benderang hari ini yang tidak melihat perpecahan yang terjadi pada umat ini dan perselisihan yang ada? Siapa yang bisa mengingkari hal ini? Hanya orang yang buta matanya dan buta hatinya yang mengingkari hal ini, kita berlindung kepada Allah dari hal tersebut.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H