Disusun Oleh Rauda Salsabila Maarif, Natasya Samsun, Irvan Usman
Seorang konselor yang baik harus menjadi orang yang penting dalam perkembangan siswa di sekolah. bukan hanya dari segi akademis saja, namun konselor juga bisa membantu mengintervensi kondisi psikologis anak secara positif supaya masa pendidikannya optimal (Jaelani et al., 2024). Berikut contoh peranan penting practitioner BK atau konselor di bawah ini:
Membantu siswa menentukan tujuan pendidikan Sebagai bagian dari bimbingan dan konseling, Guru BK membantu peserta didik mengetahui dan menentukan tujuan pendidikan mereka. konselor membimbing peserta didik dalam menggali minat, bakat, dan ambisi mereka, dan mengarahkan peserta didik untuk menyusun tujuan pendidikan yang realistis dan dapat dicapai, sesuai dengan potensi peserta didik tersebut.
Menghadapi tekanan sekolah Konselor berperan penting dalam membantu peserta didik mengontrol dan mengatasi tekanan sekolah. konselor membantu peserta didik memahami dan mengetahui sumber stres, dan memberikan strategi dan teknik untuk mengatasi stres tersebut. Dengan konseling dan dukungan emosional, konselor membantu peserta didik supaya merasa lebih rileks dan siap dalam mendapati masalah di sekolah, nah hal ini disebut juga dengan resiliensi remaja maka dari itu ini merupakan tanggung jawab practitioner bk untuk meningkatkan resiliensi pada peserta didik.
Mengembangkan strategi belajar efektif Seorang konselor juga berperan dalam membantu peserta didik menggeluti strategi belajar yang efektif. Dengan mengetahui kebutuhan belajar individu peserta didik, konselor bisa membantu peserta didik memahami cara belajar yang paling efektif bagi tiap individu, membantu peserta didik memahami materi dengan lebih baik dan mengupgrade prestasi akademik peserta didik tersebut.
Membantu mengembangkan keterampilan sosial Konselor membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan sosial. Dari berinteraksi dengan teman sebaya hingga menghargai perbedaan orang lain, practitioner BK membantu siswa memahami dan menjalankan interaksi sosial yang sehat dan positif.
Mengatasi masalah pribadi Konselor juga membantu peserta didik dalam mengentaskan masalah pribadi. konselor membantu peserta didik menemukan masalah mereka, menemukan solusi yang tepat, dan mengembangkan keterampilan penyelesaian masalah yang akan bermanfaat sampai kapan pun mereka hidup.
Membantu siswa dalam pengambilan keputusan Akhirnya, konselor juga berperan penting dalam membantu peserta didik dalam proses pengambilan keputusan. konselor memberikan arahan dan support yang memungkinkan peserta didik untuk menentukan keputusan yang berinformasi dan bertanggung jawab, baik dalam ranah akademik maupun pribadi (Hidayah, 2022).
Resiliensi pertama kali dipakai dalam ekologi, dimana ketahanan mengacu pada kemampuan ekosistem untuk bangkit kembali setelah guncangan besar Merek dan Jax (2007) dalam (Adger et al., 2000). Resiliensi adalah kemampuan untuk bertahan dan menyesuaikan, serta kapasitas individu untuk melalui dan mengentaskan masalah setelah mengalami kesulitan (Grotberg, 1999). (Reivich dan Shatte, 2002) mengungkapkan bahwa resiliensi merupakan kemampuan seseorang dalam mengatasi dan beradaptasi terhadap peristiwa yang berat dirasakan atau problem besar yang terjadi dalam kehidupan. Individu berusaha bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesulitan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya. (Al Siebert, 2005) menjelaskan resiliensi yaitu kesanggupan untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup pada tingkat yang tinggi, menjaga kesehatan dalam kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan mengatasi kesedihan, merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak tepat lagi dengan situasi yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan kekerasan. Resiliensi bukan sebuah konsep umum yang terwujud dalam seluruh ranah kehidupan individu. Seseorang mungkin akan siap terhadap satu stresor yang spesifik, namun belum tentu demikian terhadap stresor yang lain. Resiliensi merupakan fenomena multidimensional dengan hal yang spesifik dan meliputi berbagai perubahan dalam perkembangan (Zimmerman dan Arun Kumar, 1994). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa resiliensi merupakan sebuah proses yang melibatkan peran berbagai faktor individual maupun sosial atau lingkungan, dimana seseorang dapat mencerminkan kekuatan dan ketangguhan dirinya untuk bangkit dari pengalaman atau situasi sulit yang menghambat perkembangannya (Jaelani et al., 2024).
(Reivich dan Shatte, 2002) berpendapat ada tujuh aspek yangdapat membentuk resiliensi, yaitu :
Regulasi Emosi (Emotion regulation)Â
Pengendalian emosi, kemampuan untuk tetap merasa tenangwalaupun berada dalam tekanan.
Pengendalian (Implus)
Berhubungan dengan pengendalian emosi, individu yang mempumengontrol implusnya cenderung mampu mengendalikan emosinya.
OptimismeÂ
Individu yang percaya bahwa segala sesuatu dapat berubahmenjadi lebih baik.
Analisis PenyebabÂ
Masalah (Causal Analysis) Kemmapuan individu dalam mengidentifikasi penyebab masalah yang dialaminya. Kemampuan menyesuaikan diri secara kognitif dan dapat mengenali penyebab dari kesulitan yang dihapadinya.
Empati (Empaty)Â
Mampu menginterpretasikan bahasa nonverbal dari orang lain,seperti ekspresi wajah, nada suara, bahasa tubuh.
Efikasi Diri (Self-efficay)Â
Keyakinan bahwa individu dapat menyelesaikan masalah, melalui pengalaman dan keyakinan akan kemampuan untuk berhasil dalam hidupnya.
Pencapaian (Reaching Out)Â
Kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan menggambarkan dimana resiliensi membuat individu mampu meningkatkan aspek-aspek positif dalam kehidupannya. Manusia di masyarakat kerapkali memilih kehidupan yang standar dibandingkan menggapai peluang untuk sukses tetapi harus berhadapan dengan resiko yang besar. Dengan kata lain seseorang lebih memilih capaian yang biasa saja dengan resiko kecil daripada capaian tinggi namun perlu effort keras untuk mendapatkannya. Akibatnya, individu tersebut banyak menunjukan rasa takut dan jauh dari karakterresilien.
Grotberg (1999) mengartikan resiliensi sebagai kesanggupan individu untuk menghadapi, mengatasi, menjadi kuat ketika mendapati rintangan dan halangan. Setiap individu memiliki kesanggupan untuk menjadi resilien, dan setiap individu bisa untuk belajar bagaimana menghadapi rintangan dan halangan dalam hidupnya sehingga nantinya menjadi individu yang resilien Grotberg (1999) mengartikan resiliensi sebagai kesanggupan individu untuk menghadapi, mengatasi, menjadi kuat ketika mendapati rintangan dan halangan. Setiap individu memiliki kesanggupan untuk menjadi resilien, dan setiap individu bisa untuk belajar bagaimana menghadapi rintangan dan halauan dalam hidupnya sehingga nantinya menjadi individu yang resilien.
Grotberg (1999) menyebut bahwa faktor resiliensi meliputi I have, I am, dan I can. Ketiganya akan saling berkaitan dan menentukan bagaimana resiliensi individu kemudian.
I Have
I have merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan besarnya dukungan sosial yang diperoleh dari lingkungan sekitar. Individu yang memiliki kepercayaan rendah terhadap lingkungannya cenderung memiliki sedikit jaringan sosial dan menganggap bahwa lingkungan sekitar tidak memberikan dukungan positif untuk dirinya. Sumber I have menjadi penentu bagi pembentukan resiliensi, yaitu: Hubungan yang dilandasi dengan kepercayaan (trust), Struktur dan aturan yang ada dalam keluarga atau lingkungan sosial, Model-model peran, Dorongan seseorang untuk mandiri, Akses terhadap fasilitas seperti layanan kesehatan, pendidikan, keamanan, dan kesejahteraan.
I am
I am adalah sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatanpribadi yang ada pada dalam diri individu. Sumber ini mencakup perasaan, sikap, dan keyakinan pribadi. Sumber I am dalam membentuk resiliensi, yaitu: Penilaian personal, Memiliki empati, kepedulian, dan cinta terhadap orang lain. Mampu merasa bahagia dengan diri sendiri, Memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri dan dapat menerima konsekuensi atas segala tindakan, Optimis, percaya diri dan memiliki harapan akan masa depan.
I can
I can adalah sumber resiliensi yang berhubungan dengan upaya yang dilakukan oleh seseorang dalam mengentaskan suatu permasalahan dengan kemampuan diri sendiri. I can meliputi penilaian atas kemampuan diri sendiri seperti kemampuan menyelesaikan permasalahan, keterampilan sosial, dan interpersonal. Sumber resiliensi ini terdiri dari Kemampuan berkomunikasi, Problem working atau pemecahan masalah, Kemampuan mengelola perasaan, emosi dan implus- implus, Kemampuan mengukur emosi sendiri dan orang lain, Kemampuan menjalin hubungan yang penuh kepercayaan. Ketiga faktor I've (external supports), I'm (inner strengths), dan I can (imterpersonal and problem working skill) saling terikat dan akan menginterpensi perilaku seseorang dengan tindakan- tindakan positif yang diberikan oleh lingkungan sekitar pada situasi dan kondisi yang dihadapi. Anak remaja dapat belajar untuk mampu bereaksi berbagai tekanan dan kesulitan secara resilien. Perasaan takut dan tidak berdaya dapat diubah menjadi kekuatan untuk dapat menghadapi setiap permasalahan yang sedang dialami dengan dukungan keliarga dan lingkungan sekitar.
KESIMPULAN
Konselor sekolah memainkan peran penting dalam membantu siswa mengembangkan secara akademis dan emosional. Mereka membantu siswa menentukan tujuan pendidikan, menghadapi tekanan sekolah, mengembangkan strategi belajar efektif, mengembangkan keterampilan sosial, mengatasi masalah pribadi dan membantu pengambilan keputusan. Resiliensi, kemampuan untuk bangkit dari kesulitan, merupakan aspek penting dalam perkembangan remaja. Faktor-faktor seperti dukungan sosial (I Have), kekuatan pribadi (I Am) dan kemampuan mengatasi masalah (I Can) mempengaruhi resiliensi. Konselor dan lingkungan sekolah dapat membantu meningkatkan resiliensi remaja dengan memberikan dukungan dan bimbingan yang tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H