Sepulang dari sholat Jumat, Bewol pulang dengan muka cemberut. Gus Welly yang mendapati hal tersebut langsung menyapa Bewol sembari bertanya, "sehabis pulang ibadah kok malah mrengut sih, Wol! Bukannya malah tambah bersyukur dan bahagia, atau jangan-jangan kamu tidak kebagian jatah nasi bungkus? Makanya kalau wiridan jangan lama-lama, hahaha... ." canda Gus Welly.
"Kamu bisa cerdas seperti itu belajar dimana to, Gus? Mudah sekali melemparkan prasangka-prasangka ke orang lain yang bahkan orang itu belum sempat mengatakan alasannya." jawab Bewol.
Rahmat yang mendengar percakapan itu dan merasakan hawa yang semakin memanas pun lekas meredam, "sudah-sudah, ngobrolnya lanjut nanti di rumah."
Dalam perjalanan, Bewol sangat terusik dengan khotbah Jumat dari Sang Khotib yang banyak menyinggung tentang kekufuran. Dengan mengutip ayat, "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui"Â (2:256).
Tapi selama penyampaian, Khotib lebih banyak menyampaikan tentang keburukan paham-paham yang diciptakan oleh manusia, seperti pluralisme, sekularisme, liberalisme, dan lainnya. Bahkan, tak ragu Sang Khotib juga menganggap agama selain agama islam merupakan jalan ketersesatan. Sempat timbul pertanyaan selama khotbah, jikalau memang indah, mengapa yang ditampakkan hanya kejelekan yang lain? Yang dirasa seolah menjadi sebuah pemaksaan. Meski sudah jelas "la ikraha fiddin", atau tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (islam).
Sesampainya di rumah, Bewol sudah ditunggu oleh Gus Welly dan Rohmat. Mereka telah sampai duluan karena Bewol berjalan dengan sangat perlahan sembari memikirkan perkataan-perkataan Sang Khotib.
"Apa yang mengusik pikirmu, Wol?" tanya Gus Welly.
"Iya, seperti orang sudah mau nikah saja kamu, bingung cari modalnya." Sahut Rohmat.
"Husshhh, ngawur!"
"Begini, pantaskah kita sebagai manusia menyandangkan gelar kekufuran sesama manusia hanya berdasar perbedaan aqidah?" tanya Bewol memulai perbincangan sembari membuatkan kopi kepada Gus Welly dan Rohmat. "Saya selalu teringat pesan Simbah kalau yang berhak menentukan kafir atau tidak itu bukan kita, bahkan Simbah menambahkan kalau kita pun tidak bisa memastikan kita muslim atau tidak." lanjut Bewol.
"Ya begitulah ketika kita hidup bebrayan, dalam kebersamaan. Jangankan yang berbeda aqidah, yang kelihatannya satu aqidah pun tetap memiliki pandangan atau perbedaan gagasan. Yang bisa kita lihat dengan terciptanya madzhab atau aliran-aliran dalam aqidah kita." kata Gus Welly.
"Makanya itu, kalian tadi dengerin kata Pak Ustadz waktu khotbah. Ada kalimat 'la ikraha fiddin', atau tidak ada paksaan dalam beragama." respon Rohmat sembari menyerutup kopinya.
"Kalau tidak ada paksaan, kenapa yang dibuktikan hanya keburukan, bukannya keindahan. Tentunya dengan bukti-bukti yang jelas. Tidak dengan menjelek-jelekkan paham atau aqidah berbeda yang justru berpotensi menimbulkan jarak bahkan kebencian dalam kehidupan manusia. Bukankah kita diamanahi untuk menjaga kehidupan semesta, dengan kata lain keseimbangan? Lalu apakah keseimbangan itu akan terjaga jika kita hanya menganggap diri atau kelompok kita saja yang terbaik?" terang Bewol.
"Terkadang menjadi bahaya juga kalau kita hanya belajar secara tekstual. Kita hanya belajar memahami tafsir. Kecerdasan ini tak ada gunanya apabila kita terlepas dari harta illahi, yang disitu membutuhkan kontinuitas doa, dan yang terpenting kepatuhan yang penuh sikap rendah hati." imbuh Gus Welly.
"Banyak orang yang menganggap hal tersebut sebagai sebuah pencapaian atas ilmu pengetahuan yang diupayakan. Lalu, jika itu hanya sebatas pengetahuan, kita bisa lihat para 'Al-Samiri' dengan pengetahuannya, justru tertutup pintu-pintu menuju Allah. Atau Qarun, yang dengan pengetahuan kimianya, justru tertelan jauh ke dalam perut bumi. Bahkan, kita bisa lihat Abu Jahal, dengan kecerdasannya, malah terlempar jauh ke dasar api neraka." Bewol menanggapi.
"Lalu, apakah kita ini termasuk orang-orang yang telah dbukakan pintu hantinya? Belum tentu!" Rohmat menanggapi.
"Itu laksana hidayah dan hanya subjektif diri yang bisa merasakannya. Jika kita dibekali ilmu, kita mestinya lebih waspada dan lebih banyak berhitung. Agar tidak menimbulkan kesalahpahaman atas orang lain. Apalagi justru menutupi jalan rahmat yang mungkin sedang menuju kepada seseorang. Oleh karena itu, jangan sampai kita membuat orang kehilangan atau mengurangi kadar cinta seseorang kepada apapun dan siapapun." pungkas Gus Welly.
"Meskipun tidak menghilangkan ketakutanku, tapi pemikiran yang sedari tadi kudengar dari kalian cukup banyak melegakanku. Wa tawashou bil-Haqqi, wa tawashou bish-shobri." salam dari Bewol.
"Besok lagi, daripada kamu resah mendingan tidur saja waktu khotbah. Atau angkat tanganmu sambil teriak 'Gak Kuat, Tadz!'" ejek Rohmat sembari berjalan keluar rumah.
Meski tidak dapat melakukan perubahan apapun ataupun memaksa seseorang untuk mengikuti jalan pikirannya. Bewol justru merasa lebih banyak mendapat keuntungan karena mendapati kawan-kawan seperti Gus Welly dan Rohmat yang selalu setia menjadi pendengarnya. Bewol mendapati kebahagiaan sebagai wujud atas nikmat yang tercurah pasa siang hari itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H