Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Resah Setelah Mendengar Khotbah

18 Desember 2020   20:12 Diperbarui: 18 Desember 2020   20:13 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Makanya itu, kalian tadi dengerin kata Pak Ustadz waktu khotbah. Ada kalimat 'la ikraha fiddin', atau tidak ada paksaan dalam beragama." respon Rohmat sembari menyerutup kopinya.

"Kalau tidak ada paksaan, kenapa yang dibuktikan hanya keburukan, bukannya keindahan. Tentunya dengan bukti-bukti yang jelas. Tidak dengan menjelek-jelekkan paham atau aqidah berbeda yang justru berpotensi menimbulkan jarak bahkan kebencian dalam kehidupan manusia. Bukankah kita diamanahi untuk menjaga kehidupan semesta, dengan kata lain keseimbangan? Lalu apakah keseimbangan itu akan terjaga jika kita hanya menganggap diri atau kelompok kita saja yang terbaik?" terang Bewol.

"Terkadang menjadi bahaya juga kalau kita hanya belajar secara tekstual. Kita hanya belajar memahami tafsir. Kecerdasan ini tak ada gunanya apabila kita terlepas dari harta illahi, yang disitu membutuhkan kontinuitas doa, dan yang terpenting kepatuhan yang penuh sikap rendah hati." imbuh Gus Welly.

"Banyak orang yang menganggap hal tersebut sebagai sebuah pencapaian atas ilmu pengetahuan yang diupayakan. Lalu, jika itu hanya sebatas pengetahuan, kita bisa lihat para 'Al-Samiri' dengan pengetahuannya, justru tertutup pintu-pintu menuju Allah. Atau Qarun, yang dengan pengetahuan kimianya, justru tertelan jauh ke dalam perut bumi. Bahkan, kita bisa lihat Abu Jahal, dengan kecerdasannya, malah terlempar jauh ke dasar api neraka." Bewol menanggapi.

"Lalu, apakah kita ini termasuk orang-orang yang telah dbukakan pintu hantinya? Belum tentu!" Rohmat menanggapi.

"Itu laksana hidayah dan hanya subjektif diri yang bisa merasakannya. Jika kita dibekali ilmu, kita mestinya lebih waspada dan lebih banyak berhitung. Agar tidak menimbulkan kesalahpahaman atas orang lain. Apalagi justru menutupi jalan rahmat yang mungkin sedang menuju kepada seseorang. Oleh karena itu, jangan sampai kita membuat orang kehilangan atau mengurangi kadar cinta seseorang kepada apapun dan siapapun." pungkas Gus Welly.

"Meskipun tidak menghilangkan ketakutanku, tapi pemikiran yang sedari tadi kudengar dari kalian cukup banyak melegakanku. Wa tawashou bil-Haqqi, wa tawashou bish-shobri." salam dari Bewol.

"Besok lagi, daripada kamu resah mendingan tidur saja waktu khotbah. Atau angkat tanganmu sambil teriak 'Gak Kuat, Tadz!'" ejek Rohmat sembari berjalan keluar rumah.

Meski tidak dapat melakukan perubahan apapun ataupun memaksa seseorang untuk mengikuti jalan pikirannya. Bewol justru merasa lebih banyak mendapat keuntungan karena mendapati kawan-kawan seperti Gus Welly dan Rohmat yang selalu setia menjadi pendengarnya. Bewol mendapati kebahagiaan sebagai wujud atas nikmat yang tercurah pasa siang hari itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun