Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Resah Setelah Mendengar Khotbah

18 Desember 2020   20:12 Diperbarui: 18 Desember 2020   20:13 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepulang dari sholat Jumat, Bewol pulang dengan muka cemberut. Gus Welly yang mendapati hal tersebut langsung menyapa Bewol sembari bertanya, "sehabis pulang ibadah kok malah mrengut sih, Wol! Bukannya malah tambah bersyukur dan bahagia, atau jangan-jangan kamu tidak kebagian jatah nasi bungkus? Makanya kalau wiridan jangan lama-lama, hahaha... ." canda Gus Welly.

"Kamu bisa cerdas seperti itu belajar dimana to, Gus? Mudah sekali melemparkan prasangka-prasangka ke orang lain yang bahkan orang itu belum sempat mengatakan alasannya." jawab Bewol.

Rahmat yang mendengar percakapan itu dan merasakan hawa yang semakin memanas pun lekas meredam, "sudah-sudah, ngobrolnya lanjut nanti di rumah."

Dalam perjalanan, Bewol sangat terusik dengan khotbah Jumat dari Sang Khotib yang banyak menyinggung tentang kekufuran. Dengan mengutip ayat, "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (2:256).

Tapi selama penyampaian, Khotib lebih banyak menyampaikan tentang keburukan paham-paham yang diciptakan oleh manusia, seperti pluralisme, sekularisme, liberalisme, dan lainnya. Bahkan, tak ragu Sang Khotib juga menganggap agama selain agama islam merupakan jalan ketersesatan. Sempat timbul pertanyaan selama khotbah, jikalau memang indah, mengapa yang ditampakkan hanya kejelekan yang lain? Yang dirasa seolah menjadi sebuah pemaksaan. Meski sudah jelas "la ikraha fiddin", atau tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (islam).

Sesampainya di rumah, Bewol sudah ditunggu oleh Gus Welly dan Rohmat. Mereka telah sampai duluan karena Bewol berjalan dengan sangat perlahan sembari memikirkan perkataan-perkataan Sang Khotib.

"Apa yang mengusik pikirmu, Wol?" tanya Gus Welly.

"Iya, seperti orang sudah mau nikah saja kamu, bingung cari modalnya." Sahut Rohmat.

"Husshhh, ngawur!"

"Begini, pantaskah kita sebagai manusia menyandangkan gelar kekufuran sesama manusia hanya berdasar perbedaan aqidah?" tanya Bewol memulai perbincangan sembari membuatkan kopi kepada Gus Welly dan Rohmat. "Saya selalu teringat pesan Simbah kalau yang berhak menentukan kafir atau tidak itu bukan kita, bahkan Simbah menambahkan kalau kita pun tidak bisa memastikan kita muslim atau tidak." lanjut Bewol.

"Ya begitulah ketika kita hidup bebrayan, dalam kebersamaan. Jangankan yang berbeda aqidah, yang kelihatannya satu aqidah pun tetap memiliki pandangan atau perbedaan gagasan. Yang bisa kita lihat dengan terciptanya madzhab atau aliran-aliran dalam aqidah kita." kata Gus Welly.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun