Ketika keadaan mulai berangsur seperti semula, sebuah peraturan kembali dikeluarkan sebagai salah satu tindak pencegahan atas semakin merebaknya kasus Covid-19 di beberapa daerah. Jujur saja, kesan pertama adalah Muak!Â
Dan setelah membaca himbauan baru tersebut, seolah pikiran berontak, "dalam 4 poin pengecualian yang boleh tidak memakai masker, mengapa sama sekali tidak dimasukkan keadaan ketika beridadah?"
Bahkan, dalam poin terakhir tertulis selain foto-foto sesaat. Apakah peribadatan tidak lagi penting sehingga tak perlu dicantumkan? Apakah nantinya kalau beribadah mesti menggunakan masker kalau tidak ingin dikenakan denda? Yang buat saya pribadi curiga, pernahkah kalian membuat sebuah aturan dengan mengikutsertakan Tuhan yang berkuasa atas segala hal? Atau kalian merasa sudah mampu, sehingga cukup dengan menggunakan akal pemikiran sebagian orang saja?
Kita sedang dalam keadaan ketidaktahuan masal tentang apa yang sedang di hadapi. Jangan membuat batas-batas yang diri sendiri belum tentu bisa mengaplikasikannya. Akan sampai berlarut-larut sampai kapan, kita diikutsertakan dalam permainan dengan aturan yang senonoh seperti itu?Â
Kalian melihat saja tidak mampu, hanya mengetahui info-info Covid-19 dari data-data media informasi. Sudah merasa gagah dan sembrono mencoba untuk melawan sesuatu yang tak tampak.
Haruskah saya membuang KTP, jika tidak ingin ikut serta dalam permainan aturan tersebut? Atau jangan-jangan anda sekalian merasa telah ikut andil mengurusi kami selama ini, sedang kalian tidak pernah tahu akan keadaan atau lingkungan sekitarku yang tiap hari mesti menahan keinginan bahkan kelaparan di masa-masa seperti ini.Â
Kalian tidak pernah ikut membersamai perjalanan mereka, tapi seenaknya saja membuat aturan dengan denda-denda yang sanggup  buat keluarga kami makan setidaknya beberapa hari kedepan.
Tidak pernah ada keseriusan sedari awal untuk benar-benar menyelamatkan rakyatnya dari Coronavirus, namun disisi lain merasa berkuasa atas mereka.Â
Kita sudah tidak ingin campur dalam ketidakseriusan dan ketidakjelasan permainan tersebut. Terlalu banyak kata-kata yang dimuat dalam aturan, tidak disepakati sebagaimana mestinya.
Jangan salahkan kami, jika kami memutuskan untuk menjadi pemimpin setidaknya bagi diri kami sendiri. Jangan salahkan kami, jika kami bergerak dengan kesabaran semampu-mampu kami.Â
Toh, kami juga tidak pernah meminta anda sekalian untuk bertanggung jawab dalam kemelaratan hidup kami. Lihatlah aparatur kenegaraan kalian, menjadi wajah-wajah ketidakseriusan dan kebimbangan atas segala putusan yang dibuat.
Ketika orang yang dititipkan amanah untuk memimpin dan menjaga keselamatan dan keamanan warga negaranya saja belum sanggup mengikutsertakan peran Tuhan dalam setiap aturan yang dibuatnya.Â
Bukankah aku atau kita cukup menghormati dan menghargai aturan yang telah dibuat? Bolehkan kami memiliki cara pandang yang berbeda dalam memandang fenomena Covid-19?
Adakah jaminan jika aturan-aturan itu semua dilaksanakan, mampu menghindarkan kita dari kematian? Sama sekali tidak! Kita terlalu banyak mengharapkan perubahan, namun selalu saja banyak bertingkah ketika diuji dengan cobaan-cobaan. Kita enggan berkenalan dengan rasa sakit -- rasa sakit yang nantinya justru akan mempertemukan kita dengan keindahan.
Semua itu berlapis-lapis, namun yang berbahaya justru mereka yang merasa beragama sehingga merasa dibela oleh Tuhan, demi mendapatkan sebuah kekuasaan dan menuntuskan hasrat diri sendiri. Sesuka hati membuat aturan-aturan serasa mendapat wahyu dari Tuhannya. Dan memaksa rakyatnya menaati segala peraturan tanpa butuh mufakat atau setidaknya mendengar suara yang tak diindahkan. Layaknya ternak yang bersuara dan diberdayakan bukan untuk didengarkan, melainkan untuk menopang kesejahteraan si pemiliknya.
Setidaknya satu saja yang perlu menjadi landasan, yakni ketika membuat peraturan jangan lupa pondasi sila pertama. Jangan sampai merasa lebih berkuasa kalau bukan karena kuasa-Nya. Atau, siapkah jika dipaksa menikmati "matilah sebelum engkau mati"?Â
Bersabarlah, sekalipun prasangka kedunguan meliputimu. Percayalah, jika ketulusan niat "hidup dan mati hanya untuk beribadah kepadamu" yang terucap dalam setiap awal sholat, akan tertunaikan sebaik-baiknya.
Semua yang dimulai, akhirnya juga akan diakhiri. Dan selama ada batas awal dan akhir, bekal kita bukan lagi ilmu, melainkan iman. Seperti yang Simbah pesankan kepada kita semua.Â
Buah kata seharusnya memahami hal tersebut, apalagi bagi yang merasa sudah memiliki kekuasaan atas ilmu-ilmu yang dimilikinya. Apa perlunya teriakan bagi yang mampu mendengar bisikan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H