Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dengan Kelembutan, Gelap-Terang Akankah Fana?

21 April 2020   16:21 Diperbarui: 21 April 2020   16:16 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
picture by Bara Purnama

Disini, kesetaraan gender tidak akan dibahas. Dlalam penggalan ayat "dzakarun wal 'untsa"  dalam surah Al-Hujarat 13, disitu jika lebih ditadabburi laki-laki dan perempuan tidak hanya sebagai identitas, akan tetapi lebih ke sifat maskulinitas atau feminitas. 

Pada hakikinya perempuan memiliki sifat kelaki-lakian, begitu juga sebaliknya dengan para laki-laki yang pasti juga memiliki sifat keibu-ibuan. Sifat yang menjadi wujud laku disini menggambarkan bahwa tiap insan mesti memiliki porsi keseimbangan dalam ruang dan waktu yang tepat. Tentu, tanpa mengesampingkan bentuk kesejatian fisik yang telah dianugerahkan kepada dirinya.

Mengingat hari ini adalah Hari Kartini yang terkenal dengan tagline "emansipasi wanita", sudah seharusanya kita melihat begitu banyak peran wanita dalam berbagai lini profesi. 

Bahkan saya teringat pesan Simbah ketika memberikan nasihat yang mengatakan bahwa seketergantung-gantungnya ibu sama bapak, akan kalah dengan seketergantung-gantungnya bapak sama ibu. 

Terlebih jika melihat feminitas yang juga dibutuhkan dalam tonggak kepemimpinan. Seorang leader mesti mempunyai daya asuh terhadap apa yang sedang dipimpinnya.

Pentingnya feminitas ini setidaknya bisa kita lihat dalam pemakaian kata umum yang sering kita baca atau pelajari. Misalnya, "Ibukota negara/provinsi". Kenapa tidak "Bapakkota negara?" 

Bahkan, ketika kita berpedoman Sang Pemberi Syafaat, beliau juga memberikan porsi 3 kali ibu, baru kemudian bapak. Tanpa mengindahkan akhlak dan adab yang mesti utama diperhatikan dalam kehidupan beretika sosial.

Kita sendiri pasti tidak asing mendengar kalimat "di belakang pria hebat, disitu ada wanita yang tangguh." Kita sendiri bisa bayangkan bagaimana rajinnya seorang ibu mengurusi rumahnya. Dari bangun tidur, menyiapkan sarapan, hingga pekerjaan-pekerjaan rumah yang lain. 

Apakah yang membuat seorang wanita dapat setangguh itu selain kasih sayang? Bisakah yang menjadi dasar utama dari feminitas itu sendiri adalah sikap kelembutan atau ketulusan?

Namun, semakin berkembangnya zaman, pemandangan tersebut sering diwakilkan oleh asisten rumah tangga dengan situasi dan kondisi yang menjadikan ibu rumah tangga disibukkan oleh rutinitas yang lain. 

Tentu emansipasi juga dapat dilihat dari berbagai sudut dan faktor-foktor yang mempengaruhi suatu keadaan tertentu. Kebijaksanaan dan kedewasaan cara pandang akan menjadi tantangan tersendiri demi mewujudkan keindahan hingga menemukan harta yang paling berharga, yakni keluarga.

Kita tentu berterimakasih kepada pandemi yang lebih sering mengumpulkan mayoritas manusia yang hidup terpisah untuk kembali berkumpul kepada keluarga.

Menghabiskan waktu untuk menciptakan moment kebahagiaan bersama di tengah wabah corona sembari saling mengamankan setidaknya di lingkungan terdekatnya.

Tapi, meski di rumah saja, apakah ada jaminan 100% aman dari virus Corona? Peran ibu sangat penting untuk menjadi komando dalam menjaga kebersihan, selain menyediakan makanan. 

Membangun ikatan yang lebih erat dengan saling berbagi cerita atau bertukar pikiran yang biasanya sangat jarang dilakukan. Menjadi kontrol atas setiap informasi-informasi yang berlalu --lalang membawa keresahan. 

Pengawasan ini sangat krusial mengingat informasi bisa jadi menjadi ancaman yang lebih serius daripada Corona. Informasi sanggup mematikan nurani dan memtuskan rahmat yang seharusnya semerbak dimana-mana.

Corona datang justru memberikan nasihat terbaik kepada manusia, yaitu mengingat kematian. Corona datang begitu lembut karena makhluk ciptaan Tuhan ini tak mampu dipandang menggunakan mata telanjang. 

Disaat diluar sana manusia begitu yakin dan pasti dapat menaklukan Corona dengan keangkuhan intelektualnya. Dengan ketangguhan sikap maskulinitasnya yang jika tidak dapat dikontrol justru hanya menyebabkan kesembronoan.

"Habis gelap terbitlah terang" seolah menjadi slogan yang selalu mencuat tiap tahunnya di hari Kartini. Namun, hidup adalah sebuah siklus yang terus berputar. 

Terbitnya terang bukan berarti gelap telah habis dan berakhir. Terang juga akan menjadi tanda bahwa gelap akan segera menyapa kemudian. Gelap dan terang hanyalah simulasi satu momen, layaknya baik dan benar, lebih dan kurang, dsb. Dimana komponen-komponen tersebut secara simultan akan dipelajari di sepanjang jalan kehidupan.

Gelap-terang-gelap-terang, dst. Hidup itu dinamis dan berkelanjutan, jangan mudah berhenti. Mulai melatih berpikir secara paralel dalam menyikapi kemungkinan-kemungkinan yang akan datang dengan bekal ilmu yang sudah dipelajari. 

Terapkan dengan penuh kedaulatan dan kamantapan! Kita tidak pernah bisa memberikan standar porsi kadar terang ataupun gelap. Karena dalam terang selalu mengandung gelap, pun dalam gelam yang selalu menyembunyikan terang.

Jangan-jangan Corona yang sering disangka gelap hingga ingin sekali dimusnahkan oleh kebanyakan manusia karena menjadi ancaman kemashlahatan dirinya, membuatnya kelaparan, menjadikannya hidup dalam ketidakjelasan, sebenarnya adalah terang, mungkinkah?

Mungkin manusia bisa belajar sikep feminim yang nampak penuh dengan kelembutan. Menurut Simbah, salah satu ciri kelembutan itu adalah rela melakukan apapun asal mampu membuat orang yang dikasihinya senang dan bahagia. 

Jika kita mengambil kelembutan, akankah Corona yang disangka gelap mampu berubah menjadi terang? Atau setidaknya hanya di dalam gelap, kita akan lebih banyak menemukan cahaya?

Ataukah, pada akhirnya gelap ataupun terang akankah menjadi fana jika disikapi dengan kelembutan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun