Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Pengelana dan Ketidakjelasannya

23 Agustus 2019   16:43 Diperbarui: 23 Agustus 2019   16:51 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senja ibarat sebuah bualan bagi mereka yang bosan dengan cara untuk menikmatinya, sekalipun hanya mendengar atau membaca kata senja itu sendiri. Sempoyong kaki sudah menandakan ia mulai memberontak dengan segala kemanjaannya. Atau entah perjalanan ini baginya sudah melampaui batas ideologi kemampuannya. Namun, dorongan dari niat sedikit sanggup memaksa kaki untuk melangkah.

Hamparan sawah terbentang dengan Sang Surya yang mulai nampak malu-malu bersembunyi di balik ranting-ranting pepohonan di ufuk timur. Bapak petani itu masih nampak diladang bersama anak balitanya yang dibiarkan bermain di sekitar ladang yang digarapnya. Mewujudkan asih yang sangat jarang sekali terlihat di keriuhan kota dengan perlombaan gengsinya. Di sisi sebrang jalan kutengok sebelah kanan, nampak pemandangan siluet seorang Mbah Kakung yang nampak kesulitan merapikan ranting-ranting kayu itu untuk dijadikan bahan bakar untuk sekedar memasak air atau menanak nasi.

Rerumputan seakan menjulurkan tangannya untuk sekedar menyentuh kulitnya yang mulai terlihat kisut. Dengan menyenandungkan lagu Ebiet G. Ade yang berjudul Berita Kepada Kawan.

"Kenapa kau membelaiku?" tanya Bewol kepada rumput disaat lagu itu sudah sampai pada bait

Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, yang salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai bosan bersahabat dengan kita, coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.

"Apakah kau rumput yang bergoyang itu?" lanjutnya.

"Hey, edaaan!" sahut Gus Welly yang mendengar gumaman Bewol.

"Lihat, rumput itu masih mau menyapaku, masih mau mengenaliku sebagai sahabatnya dengan sapaan itu. Aku hanya ingin menyanyakan sesuatu kepadanya." Bela Bewol, dimana sentuhan rumput-rumput itu memang sepertinya lebih dekat dengan kaki Bewol daripada Gus Welly yang berjalan lebih dekat dengan jalan aspal.

"Iya, maaf. Silahkan dilanjutkan. Tapi, mungkin jawaban itu hanya berasal dari prasangkamu sendiri yang seolah suara yang kau dengar adalah jawaban dari para rumput itu." kata Gus Welly.

"Biarlaah, kamu hibur saja dirimu sendiri, Gus!" jawab Bewol sembari melemparkan senyumannya seolah ia benar-benar menikmati. Atau justru itu adalah perwujudan dari puncak kelelahannya hingga dimabukkan oleh angan-angannya sendiri untuk membuang rasa lelah tersebut.

(Gus Welly hanya tersenyum kecil)

***

Sedikit terjadi kebingungan juga ketika seorang pejalan kaki mesti diklakson oleh pengendara kendaraan bermotor yang melaju dari arah belakang. Sekarang, siapa yang melaju dengan kecepatan yang lebih tinggi ketika para pejalan kaki hanya melaju di tepian jalan yang bahkan tidak di bagian yang beraspal. Alasannya apa coba? Kalau memang mengindikasikan suatu ancaman atau potensi bahaya, bukankah yang lebih menimbulkan cedera adalah mereka yang memacu kendaraan bermotornya, baik sepeda motor ataupun mobil?

Para pejalan sudah mengambil tepian jalan yang tidak rata dengan batu-batunya atau terkadang menapakkan di kubangan lumpur. Terkecuali kalau memang para pejalan kaki itu berjalan di tengah-tengah jalan disaat kanan kirinya terdapat trotoar. Mau khusnudzon, tapi mereka melaju juga tanpa mengurangi kecepatannya sembari membunyikan klakson ketika melewati para pejalan kaki. Lantas, kalau misal ada kecelakaan siapa yang salah? Bahkan mayat kucing yang tadi siang mereka kuburkan juga sudah pasti adalah korban tabrak lari salah seorang pengendara kendaraan bermotor.

Mereka sampai lupa jika hari itu adalah tanggal 17 Agustus, yang notabene es degan yang biasanya banyak dijual di tepian jalan, namun kali ini sangat jarang sekali selama perjalanan dari siang hingga menjelang maghrib. Tapi, sepertinya Tuhan tidak ingin mengecewakan mereka, sebelum gelap mereka menemukan sebuah warung yang di depannya terdapat tumpukan kelapa muda. Gus Welly dan Bewol memutuskan beristirahat sembari mengobati lecet pada kaki Gus Welly akibat sandal yang notabene baru dibelinya juga di perjalanan. Ternyata, barang baru itu tetap memiliki potensi resiko melukai sang pemilik baru.

"Gus, tadi lihat cewek berkerudung biru itu gak pas berhenti di tempat jualan es degan?"

"Hah, yang mana sih?"

"Itu lho, yang memakai sepeda lipat dengan adik kecilnya di belakang?"

"Ada po?"

"Wahh, nyesel kamu Gus gak diberi kesempatan untuk melihatnya. Lihat, aku sekarang jadi lebih semangat setelah melihat kecantikannya. Dandanannya juga natural menampakkan wanita desa pada umumnya."

"Asu kamu, Wol. Ada cewek cantik gak ngode-ngode! Lha terus kenapa kamu hanya diam saja? seharusnya kamu sapa saja tadi cewek itu. Siapa tau itu jodoh kamu." Canda Gus Welly.

"Wah, malah jarang kepikiran jodoh, bisa dikasih kenikmatan melihat kecantikan ciptaanNya pun sudah bersyukur. Bahkan mana mungkin aku sanggup memiliki rasa syukur itu kalau Tuhan tak memberi rasa syukur itu kepadaku. Oiya, pas lewat tadi mungkin kamu sedang sibuk ngobati kakimu. Sory. Berarti bukan rejekimu, Gus." Jawab Bewol. "Lagian aku juga tahu diri dengan ketidakjelasan yang sedang kita lakukan. Yang waras belum tentu mampu memahaminya, kecuali kalau dia penasaran dan bertanya terlebih dahulu." Lanjutnya.

"Dasar! Pinter aja kamu, Wol, kalau suruh ngeles."

***

Hari semakin larut, tidak hanya badan yang nampak lusuh dan kecut. Bahkan, seorang priyayi sekelas Gus Welly pun tidak bisa menyembunyikan mukanya yang ikut nampak kecut. Mbah Google seolah menipu mereka dengan waktu tempuh yang seolah enggan tuk berkurang meski langkah kaki tak pernah terhenti. Seolah jarak hanya ilusi yang tak urung berhadapan dengan realita. Rembulan yang tadi nampak kejinggaan sudah berubah menjadi putih sepenuhnya.

Semak belukar di tepian sungai mesti ditrabas walaupun di sisi sebrang yang lain terdapat jalan aspal yang mungkin bagi mereka yang 'terbalik' berfikir jalan aspal itu hanya khusus bagi pengendara bermotor. Daripada mereka hanya menjadi korban klakson dan meminimalisir penyakit jantung. Terlebih misuh. Hanya dengan bermodal senter handphone yang di depan dan pemutar musik,mereka menelusuri sungai itu. Kaki-kaki nampak tidak gampang lagi diakali oleh akal, mereka mulai menentang dan memberontak kepada puannya. Bahkan kaki itu rela mencederai dirinya sendiri dalam aksi protes itu.

(Plaak...Plaak...Plaak!) Bewol menepuk-nepuk kaki kanannya yang mulai membesar bagian atas ibu jarinya. Tiap jengkal langkah bagai kena tackle oleh musuh.

"Kenapa kamu, Wol?" tanya Gus Welly melihat Bewol memelankan langkahnya.

"Kalau capek kita istirahat dulu aja."

"Lihat Gus, dia mulai tak bisa diakali dan mulai protes kepadaku.Lanjut aja, tapi agak pelan yaa." Sembari menunjukkan kakinya kepada Gus Welly.

"Iya, sebentar lagi kita sampai." Jawab Gus Welly menunjukkan jarak masih sekitar 5 kilometer dan membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam.

Apapun yang berada dalam diri semakin lama semakin berontak. Membodoh-bodohkan puannya. Kurang ajar memang mereka, bukannya mendorong malah berusaha memupuskan atau menggagalkan keistiqomahan untuk mendatangi cintanya.

Bewol tidak mengangkat kakinya untuk melaju. Ia seret kaki kanannya ketika mesti beraksi demi menjaga kekompakan dengan kaki kirinya. Dalam hati Bewol hanya bergumam bahwa belum tentu sekali seumur hidup ia bakal mendapatkan kesempatan yang sama. Di saat yang sama, rasa sakit itu justru berbuah keberanian yang lain.

"Yeeeeaaaaaahhhh... akhirnyaaa berani juga aku. Batal sudah!" teriak Bewol sembari melebarkan senyumannya dan lupa dengan nyeri yang dirasakan daerah bagian kaki kanannya. Hati seolah mampu membuang rasa sakit itu terbenam dalam kegemberiaan.

Gus Welly nampak diam saja. Sepertinya priyayi satu itu juga nampak lelah karena mulai ngirit berbicara.

"Perempuan pasti!" singkat Gus Welly seolah memahami ekspresi itu.

"Mungkin kamu tahu, Gus. Tapi kamu tak akan pernah kuat menahannya."

 Jalanan mulai ramai oleh kendaraan, transportasi gojek sangat mudah untuk diakses. Namun mereka mencoba tetap bertahan. Sesekali mereka berhenti sejenak untuk nglinting tembakaunya. Sesekali Bewol yang berjalan di belakang Gus Welly menepuk pundak beliau seolah mendapatkan energi dari persentuhan itu. Mereka pun mampu menuntaskan ungkapan rasa tulusnya untuk menatap atau bahkan sekedar mendengar seseorang yang telah menjadi sesuatu yang spesial bagi hidup mereka. Beberapa sapaan meski teracuhkan di tengah kerumunan itu, namun mereka hanya sekedar ingin memerdekakan kakinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun