"Baik," pemuda bermata cokelat itu menjawab pendek. "Maksud gue ...." Kalimat Maher belum tuntas, ia kikuk sendiri.
"Inara masih sibuk ngurusin lembaga sosial. Bahkan, ia membuat yayasan sendiri. Sebagai wanita, Inara sosok sempurna. Ia cantik, salihah, cerdas, dan memiliki jiwa sosial tinggi."
Selama beberapa detik, keheningan tercipta.
"Her, lo masih berharap sama Inara?"
"Eh, hmmm ... entahlah!"
Farzan mengenal Maher sejak sembilan tahun lalu ketika mereka duduk di kelas X. Lelaki tampan itu dibesarkan dalam kelimpahan materi, tetapi ia kehilangan figur orang tua. Pada awalnya mereka tidak akrab karena Maher dikenal sebagai siswa yang langganan dipanggil guru BK. Sedangkan Farzan adalah tipikal siswa yang taat dan cerdas.
Suatu hari Maher mengalami kecelakaan dalam balapan liar yang diikutinya. Ia terjatuh dengan keras ke sisi kanan hingga mengalami dislokasi bahu.Â
Di minggu pertama perawatan, teman-teman satu gengnya banyak yang menjenguk dan menemani. Namun, di minggu-minggu berikutnya, teman- teman satu gengnya mulai meninggalkan Maher satu per satu.
Hal yang berbeda justru dilakukan Farzan. Begitu ia mendapat kabar Maher kecelakaan, ia menengoknya setiap pulang sekolah. Bahkan, Farzan selalu meminjamkan buku catatannya dan menerangkan pada Maher jika ada mata pelajaran yang tidak dipahaminya.
"Her," panggil Farzan setelah beberapa saat mereka terdiam. "Kalau lo serius, lamarlah Inara. Gue yakin, lo akan menjadi pribadi yang semakin baik kalau menikahi Inara."
Maher tertegun. Ia menatap mata Farzan lekat dan hanya menemukan kesungguhan di sana.