Mohon tunggu...
Tatiek R. Anwar
Tatiek R. Anwar Mohon Tunggu... Penulis - Perajut aksara

Penulis novel Bukan Pelaminan Rasa dan Sebiru Rindu serta belasan antologi, 2 antologi cernak, 3 antologi puisi. Menulis adalah salah satu cara efektif dalam mengajak pada kebaikan tanpa harus menggurui.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Sang Altruis

15 Oktober 2022   10:00 Diperbarui: 19 Oktober 2022   21:45 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi sahabat. (sumber: unsplash.com/@masjidmaba)

"Zan, gue enggak nyangka, Inara makin manis aja," ujar Maher yang berjalan di sisi kanan Farzan.

"Lo beneran naksir Inara?" tanya Farzan tanpa mengurangi laju langkahnya menuju parkiran.

"Gitu, deh," jawab Maher sambil terkekeh.

"Her, Inara itu beda sama teman-teman cewek lo. Mana mau dia pacaran, apalagi lo yang jadi cowoknya." Farzan tertawa yang kemudian disambut oleh pukulan pelan Maher di bahu kanannya.

Farzan mengenal Inara sejak kelas 2 SMP. Gadis berkulit kuning langsat itu menjadi tetangga Farzan karena kedua orang tuanya pindah tugas. 

Inara bersekolah di SMP yang sama dengannya. Karena kecerdasan dan pembawaannya yang ramah, Inara banyak disukai guru dan teman-temannya.

Cara Inara membelalakkan mata kala terkejut, mengerutkan alis ketika heran, merapikan rambut harum sebahunya ketika tertiup angin, dan senyum yang meninggalkan lekuk di pipi, membuat siswa laki-laki tak bosan memandangnya.

Namun, Inara sudah mengubah penampilannya sejak tiga tahun lalu. Mahasiswi ekonomi semester enam itu telah menjadikan gamis dan hijab sebagai busana hariannya.

"Zan, please, deh. Lo bisa, kan, bantu gue dekat sama Inara?"

"Sorry, Bro. Meskipun gue sama Inara tinggal di satu perumahan dan ibu kami dekat, gue enggak mau ikutan."

"Hmm ... payah, lo, Bro!" Maher meninju pelan lengan Farzan yang membuatnya meringis.

***

"Wuih, rapi amat, lo," celetuk Farzan melihat penampilan sahabatnya yang biasa memakai t-shirt dan jeans belel, kini memakai kemeja dan celana berbahan semi wol.

"Iyalah! Gue, kan, mau ke masjid. Ngaji, Bro!"

Tentu saja Farzan sangat senang melihat perubahan pada Maher. Satu bulan terakhir, pemuda jangkung itu tidak pernah absen mengikuti kajian di masjid kampus. Bahkan, ia meminta Farzan mengajarinya membaca Al-Quran dua kali dalam sepekan. Maher yang biasanya mudah bosan, bisa mengikuti kajian selama dua jam sampai acara ditutup.

"Her, ingat kata Ustaz Hamid tadi bahwa setiap amal akan dinilai sesuai dengan niatnya. Allah sangat mungkin untuk mengabulkan niat hamba-Nya. Jadi, jangan sampai niat lo cuma buat mendapatkan dunia aja. Rugi bandar, Bro!"

"Maksud lo?" Dahi Maher berkernyit.

"Kalo lo niat ikut kajian supaya bisa dekat sama Inara, itu sangat mungkin terjadi. Tapi, waktu yang lo habiskan cuma dapat simpati Inara doang. Waktu dan pengorbanan yang lo habiskan, tidak bernilai pahala di sisi Allah."

Maher tertegun. Ia baru menyadari sesuatu. Selama dua jam mengikuti kajian, ia memang duduk di sana hingga acara usai. Namun, pikirannya berkelana ke mana-mana.

"Padahal, Rasulullah bersabda bahwa menuntut ilmu adalah jalan menuju surga," ucap Maher pelan seakan-akan berbicara pada diri sendiri.

"Nah, ituh! Dah, ah, gue balik." Farzan berlalu menuju kantin dan meninggalkan Maher yang masih termangu.

***

Sumber illustrasi: New York Times
Sumber illustrasi: New York Times

Waktu berlalu sangat cepat. Farzan dan Maher sudah menjadi sarjana hukum. Di tahun yang sama, Inara pun lulus sebagai sarjana psikologi. 

Maher bekerja di sebuah kantor advokat milik pamannya di Bandung. Sedangkan Farzan menjadi dosen di sebuah universitas swasta di Jakarta. Inara sendiri tetap di Jogja dan mengabdikan diri di sebuah lembaga sosial.

Meskipun Farzan dan Maher sudah memiliki kesibukan yang berbeda, mereka tetap bertukar kabar melalui telepon atau hanya sekadar melalui pesan. Sesekali mereka sengaja membuat janji untuk bertemu di Jogja. Mereka pulang untuk saling melepas rindu dan berjalan-jalan untuk bernostalgia.

Seperti sore itu, Farzan dan Maher bertemu di sebuah cafe dekat kampus mereka untuk mengenang masa-masa menuntut ilmu di sana. Dua sahabat itu sangat asyik berbincang-bincang, Sesekali mereka tertawa mengenang kejadian lucu yang pernah mereka alami.

"Her, lo masih rajin ikut kajian, kan?" tanya Farzan sambil mengambil pisang bakar keju dengan garpu.

"Masih, dong!"

"Kirain lo cuma mau ngaji kalo ada Inara doang."

Maher tertawa, tetapi tangannya meninju lengan Farzan perlahan.

"Eh, gimana kabar Inara sekarang?" Tiba-tiba raut wajah Maher berubah serius.

"Baik," pemuda bermata cokelat itu menjawab pendek. "Maksud gue ...." Kalimat Maher belum tuntas, ia kikuk sendiri.

"Inara masih sibuk ngurusin lembaga sosial. Bahkan, ia membuat yayasan sendiri. Sebagai wanita, Inara sosok sempurna. Ia cantik, salihah, cerdas, dan memiliki jiwa sosial tinggi."

Selama beberapa detik, keheningan tercipta.

"Her, lo masih berharap sama Inara?"

"Eh, hmmm ... entahlah!"

Farzan mengenal Maher sejak sembilan tahun lalu ketika mereka duduk di kelas X. Lelaki tampan itu dibesarkan dalam kelimpahan materi, tetapi ia kehilangan figur orang tua. Pada awalnya mereka tidak akrab karena Maher dikenal sebagai siswa yang langganan dipanggil guru BK. Sedangkan Farzan adalah tipikal siswa yang taat dan cerdas.

Suatu hari Maher mengalami kecelakaan dalam balapan liar yang diikutinya. Ia terjatuh dengan keras ke sisi kanan hingga mengalami dislokasi bahu. 

Di minggu pertama perawatan, teman-teman satu gengnya banyak yang menjenguk dan menemani. Namun, di minggu-minggu berikutnya, teman- teman satu gengnya mulai meninggalkan Maher satu per satu.

Hal yang berbeda justru dilakukan Farzan. Begitu ia mendapat kabar Maher kecelakaan, ia menengoknya setiap pulang sekolah. Bahkan, Farzan selalu meminjamkan buku catatannya dan menerangkan pada Maher jika ada mata pelajaran yang tidak dipahaminya.

"Her," panggil Farzan setelah beberapa saat mereka terdiam. "Kalau lo serius, lamarlah Inara. Gue yakin, lo akan menjadi pribadi yang semakin baik kalau menikahi Inara."

Maher tertegun. Ia menatap mata Farzan lekat dan hanya menemukan kesungguhan di sana.

"Gue akan istikharah, Zan. Makasih dukungannya."

Farzan menepuk-nepuk bahu Maher untuk menguatkan tekad sang sahabat.

***

Ucapan hamdalah memenuhi aula masjid Ar-Rahman begitu kata sah terdengar setelah akad nikah selesai diikrarkan. Senyum lega seketika menghiasi wajah pengantin pria. 

Tak lama pengantin wanita hadir diiringi kedua orang tuanya. Ia mencium punggung tangan sang suami dengan takzim dan dibalas dengan kecupan lembut di dahinya.

Maher, sang pengantin pria, memandang ke arah kursi khusus keluarga. Di salah satu kursi itu, Farzan duduk di antara keluarga dekat pengantin.

Berbaju batik tangan panjang, Farzan semakin tampan. Maher melempar senyum ke arah sahabat terbaiknya sambil mengangkat tangan kanannya yang membentuk huruf "o" dengan menautkan jari telunjuk dan jempolnya. Farzan membalas dengan senyum lebar dan jempol tangan kanan yang ia angkat setinggi bahu.

Maher sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Farzan. Di saat ia membutuhkan teman, Farzan datang di saat yang tepat dan membuatnya sadar bahwa hidup akan sangat merugi jika dilewati dengan perbuatan sia-sia. Selain itu, sahabat terbaiknyalah yang berhasil meyakinkan dirinya untuk menyunting Inara menjadi teman hidupnya.

Begitu pula dengan Farzan, ia bersyukur karena Maher selalu mengambil keputusan yang sejalan dengan kemurnian Islam. Farzan yakin Maher akan semakin kuat imannya dan cemerlang kariernya, bila didampingi istri salehah seperti Inara.

Ya, Farzan yakin untuk kebahagiaan sahabatnya, meskipun ia tidak tahu kapan luka di hatinya akan mengering karena melepas wanita yang selama ini ia kagumi dan cintai. Cinta itu tersimpan rapat hingga hanya ia dan Rabbnya yang tahu.

~ Selesai ~

Catatan:

Altruis adalah orang yang banyak mengutamakan kepentingan orang lain (tidak mementingkan diri sendiri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun