Kakak tiri Ghina itu ditugaskan Umma untuk menjaga dan mengantar ke mana pun adiknya pergi. Namun, saat ini ia tidak bisa mengantar, sementara Ghina harus tetap pergi untuk menyelesaikan tugas sekolahnya.
Ghina sebenarnya tidak suka selalu dikawal sang kakak. Ia menganggap Umma selalu ikut campur atas semua urusannya. Umma sering bertanya siapa saja teman mainnya. Umma mengatakan bahwa teman adalah cermin diri seseorang, karenanya Umma sering berpesan agar Ghina selektif dalam memilih teman. Bahkan, sampai cara berpakaian pun, Umma dianggapnya terlalu mengatur.
Pernah suatu hari Ghina mengenakan celana jeans dipadu kaus pendek berlengan panjang, Umma memintanya segera mengganti kausnya dengan tunik. Padahal, kerudung tetap melengkapi outfit yang dikenakannya. Kata Umma, pakaian yang Ghina kenakan masih menampakkan lekuk tubuhnya.
"Mas, Na pergi sendiri aja, ya. Jadi, kita bisa menyelesaikan tugas masing-masing," usul Ghina.
"Tapi, Na ...."
"Ah, sekali ini aja, kok. Asal kita enggak buka mulut, aman." Gadis kelas X itu mengacungkan jempolnya sambil menyengir.
Ghina segera menyambar ransel dan berlalu dari hadapan Kemal yang belum bisa memutuskan. Lima menit kemudian, Kemal baru tersadar ketika mendengar suara motor meninggalkan rumahnya.
"Loh, kenapa Ghina naik motor sendiri? Dia, kan, belum lancar menaikinya," batin Kemal. Ia menepis pikiran buruk yang melintas dan menyugesti diri bahwa Ghina akan baik-baik saja.
*
Ghina terbangun dengan badan seperti habis dipukuli. Ia berusaha memiringkan badan, tetapi sikunya terasa nyeri. Ia pun kembali ke posisi semula. Ketika menatap sekeliling ruangan, Ghina baru tersadar bahwa ia berada di rumah sakit.
Terakhir kali yang gadis itu ingat, ia terjatuh ketika melewati polisi tidur yang masih berada dalam komplek perumahan.