Mohon tunggu...
Tatiek R. Anwar
Tatiek R. Anwar Mohon Tunggu... Penulis - Perajut aksara

Penulis novel Bukan Pelaminan Rasa dan Sebiru Rindu serta belasan antologi, 2 antologi cernak, 3 antologi puisi. Menulis adalah salah satu cara efektif dalam mengajak pada kebaikan tanpa harus menggurui.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ransel di Tepi Jurang

18 Mei 2022   16:29 Diperbarui: 15 Oktober 2022   22:22 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Lawu, sumber illustrasi: celebrities.id

Ransel di Tepi Jurang Gunung Lawu  
 
Oleh: Tatiek R. Anwar  
 
Kabut tipis menyambut kedatangan Hardi dan teman-temannya di lereng Gunung Lawu. Namun, kabut tidak menghalangi pandangan siapa pun untuk melihat deretan pohon cemara yang asri memanjakan mata. Waktu menunjukkan pukul 13.30 WIB, tetapi mereka sudah disambut angin yang bertiup dingin, memberikan kesejukan pada jiwa yang penat dipadati jadwal kuliah.


Gunung yang memiliki ketinggian 3.265 mdpl itu terkenal akan keindahan sekaligus mistisnya. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah Hardi, Dani, Cipta, Hana, dan Gina untuk merasakan petualangan mendaki gunung yang menyimpan sejarah keberadaan Kerajaan Majapahit.  


Setelah beristirahat sekitar sepuluh menit, Hardi dan teman-temannya melakukan salat Zuhur. Rencananya pukul 14.00 WIB mereka akan memulai pendakian. Mereka memutuskan untuk memulai pendakian dari Cemoro Sewu yang merupakan jalur favorit pendaki Gunung Lawu. Jalur ini aksesnya berada di sebelah jalan Karanganyar-Magetan dengan lima pos pendakian.


Dari basecamp  menuju puncak Gunung Lawu rata-rata memiliki jarak sekitar tujuh 7 kilometer. Dengan jarak tersebut diperkirakan perjalanan hingga puncak hanya membutuhkan waktu tujuh 7 jam saja jika kondisi pendaki dalam keadaan fit. Waktu tempuh akan lebih lama jika kondisi tubuh pendaki kurang baik.  


Hardi bersama keempat temannya membereskan ransel masing-masing, kemudian bersiap untuk melakukan pendakian. Tepat pukul 16.30, mereka memulai langkahnya di pintu masuk Lawu. Hardi yang sudah pernah melakukan pendakian di Gunung Lawu, diminta teman-temannya untuk memimpin rombongan.  


"Tenang, guys . Ini mudah, gue udah pernah dua kali mendaki Lawu," ucap Hardi bangga.  


"Iya, gue percaya. Makanya kita minta lo yang mimpin barisan," sahut Dani.  


"Teman-teman, kalau ada yang merasa kepayahan bilang, ya. Biar nanti kita saling bantu." Cipta mengingatkan teman-temannya.  


"Siap!" jawab Hana dan Gina hampir bersamaan.  


Hardi memimpin rombongan menuju pos 1 dengan langkah ringan. Bahkan, sesekali Hardi menyusuri jalur dengan berlari-lari kecil. Teman-temannya mengingatkan agar jangan terlalu cepat karena khawatir akan ada teman yang tertinggal.  


Pos 1 dilewati Hardi dan teman-temannya tanpa halangan yang berarti. Mereka berhenti sejenak, kemudian melanjutkan pendakian kembali.  


Dalam perjalanan menuju pos 2 Hardi dan teman-temannya melihat jalak gading. Hardi mengeluarkan remahan roti untuk jalak itu. Ia sebelumnya pernah melakukan hal itu dan disambut oleh jalak dengan memakan roti itu. Namun, entah mengapa kali ini burung tersebut justru menjauh.

Hardi tidak ambil pusing, ia pun segera melanjutkan perjalanan.  
Pos 2 masih sekitar 100 meter lagi. Namun, Hardi merasakan beban ranselnya bertambah. Semula beratnya hanya 4 kilogram, kini dirasakan Hardi dua kali lipat beratnya. Tiba-tiba ia mendengar auman hewan buas. Seketika kuduk pemuda tinggi itu meremang.  


"Guys , kalian dengar suara macan, enggak?" tanya Hardi penasaran.  


"Enggak, itu perasaan lo doang, kali," sahut Cipta berusaha menenangkan, padahal, ia sendiri merasa ada sesuatu yang janggal. Cipta merasa hawa dingin menyergap tengkuknya, tetapi semua prasangka buruk yang melintas berusaha ia tepis. 

 
Mereka tiba di pos 2 dengan suasana yang makin gelap. Setelah beristirahat sejenak dan minum, rombongan memutuskan untuk melanjutkan pendakian.  

Jalur pendakian mulai terasa ekstrim. Mereka sangat berhati-hati melalui jalan yang terjal dan berbatu. Baru berjalan 200 meter dari pos 3, mereka memutuskan untuk mendirikan tenda di padang rumput. Saat tiba, jam tangan di pergelangan kiri Hardi menunjukkan pukul 19. 30 WIB. Jalur pendakian yang mereka lewati sudah separuh perjalanan.

Dengan beristirahat mereka berharap ketika bangun badan terasa lebih segar. Namun, mengingat untuk sampai puncak butuh waktu sekitar empat jam lagi, mereka tidak bisa beristirahat hingga pagi. Pukul 01.00 dini hari mereka harus bangun untuk membereskan tenda dan segera melanjutkan pendakian.  


Mereka mendirikan dua buah tenda tanpa kesulitan. Satu tenda untuk para gadis, satu tenda lainnya untuk para pemuda. Setelah tenda terpasang, mereka salat Maghrib dan Isya yang dijamak secara berjemaah. Mereka kemudian membuka bekal masing-masing dan menikmati makan malam dengan penerangan seadanya.  


Setelah itu, mereka bersantai sambil berbincang ringan. Mereka harus tidur cepat untuk mengumpulkan energi karena menuju pos selanjutnya jalur pendakian makin berat bahkan harus melewati jalanan yang curam.  


Ketika beranjak menuju tenda, tiba-tiba mereka mendengar suara panggilan. Seorang gadis dengan rambut sebahu mendekati mereka. Ia menyandang ranselnya yang terlihat penuh.  


"Mas, Mbak, boleh saya ikut kalian? Saya tertinggal rombongan, nih," ucap gadis itu.  


Hardi dan keempat temannya saling pandang. Akhirnya, mereka membolehkan si gadis untuk bersama mereka. Dari perbincangan, diketahui gadis itu bernama Vita dan kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang.  


Para gadis bisa langsung beristirahat, sedangkan para pemuda bergantian berjaga di sekitar tenda. Hardi yang merasa kelelahan akibat beban ranselnya yang tiba-tiba berat, dipersilakan beristirahat terlebih dahulu. Dani mendapat giliran pertama, ia berjaga hingga pukul 22.00 WIB.  


Hardi melanjutkan tugas berjaga dengan kondisi cukup baik setelah dua jam beristirahat. Ia memang tidak keluar tenda, tetapi mengamati setiap pergerakan yang bisa dipantau melalui bunyi di sekeliling tenda.  


Tiba-tiba Hardi mendengar langkah kaki dari tenda sebelah. Ia melihat jam di pergelangan kirinya, pukul 22. 50 WIB. Pemuda itu sedikit membuka tenda untuk mengintip keadaan di luar. Ia melihat Vita, gadis yang menumpang istirahat tadi, berjalan menjauhi tenda. Merasa bertanggung jawab atas keselamatan rombongan, Hardi keluar dari tenda.  


"Vit! Mau ke mana?" tanya Hardi sedikit kencang karena si gadis terpaut jarak sekitar 15 meter dengannya.  


Vita tidak mendengar panggilan Hardi. Gadis dengan ransel di punggungnya itu semakin jauh melangkah. Hardi setengah berlari mengikuti langkah Vita, tetapi pemuda itu tetap tidak bisa menyejajarkan langkahnya.


Dari arah belakang Hardi mendengar suara derap kaki kuda yang makin lama terasa begitu dekat. Sontak sang pemuda berlari mencari persembunyian di antara ilalang dan merebahkan tubuhnya.

Dari balik ilalang Hardi bisa melihat rombongan prajurit yang melintas. Jika dilihat dari cara berpakaian prajurit itu tampak seperti berasal dari dunia lampau. 

Waktu seakan-akan berjalan lambat ketika dua orang prajurit beserta seekor macam berbulu pekat berhenti tepat 5 meter dari tempat Hardi bersembunyi. Di bawah sinar bulan, Hardi dapat melihat wajah pucat kedua prajurit itu. Macan kumbang itu beberapa kali menggeram, menambah seramnya suasana malam.


Dalam diam, Hardi terus melafalkan doa dan surat-surat pendek yang dihafalnya. Dia berharap dengan membaca ayat suci Al-Qur'an ia akan mendapatkan ketenangan. Namun, rasa kantuk tiba-tiba menyerang Hardi. Tanpa bisa dicegah, ia pun tertidur.  


*


Hardi kaget ketika ia merasa tubuhnya ditepuk-tepuk. Ia membuka mata dan mendapati Dani dan Cipta berada di dekatnya. Hardi berusaha duduk, tetapi tangan pemuda itu ditarik oleh kedua temannya.  


"Kenapa, sih?" tanya Hardi memprotes tindakan temannya.  


Bukannya menjawab, Dani malah mengarahkan dagunya ke sisi kanan tempat Hardi berbaring. Cipta mengarahkan senternya pada tempat yang ditunjuk Dani. Hardi tersentak kaget begitu menyadari bahwa ia tidur hanya berjarak 30 senti dari bibir jurang. Namun, Hardi bersyukur ia tidak membalikkan badan ketika tertidur.


Vita tidak mereka temukan, hanya ranselnya  yang tergeletak di dekat Hardi tertidur tadi. Rombongan sudah berkumpul, mereka memutuskan untuk melanjutkan pendakian dengan membawa ransel Vita. Mereka berharap bertemu Vita dalam pendakian menuju puncak.  


Jalur menuju pos 4 makin terjal. Mereka harus berhati-hati, terlebih pada malam hari. Kalau tidak hati-hati mereka bisa tergelincir atau terluka oleh bebatuan tajam.  


Beberapa ratus meter dari pos 4, Hardi dan teman-temannya melihat ada keramaian di suatu tempat yang menurun dengan bebatuan terjal. Bagaimana mungkin manusia biasa bisa melewatinya dan berkumpul di tempat tersebut? Daripada membicarakan hal itu, Hardi dan teman-temannya memilih diam.  


Rupanya mereka belum bisa tenang, karena semua anggota kelompok mendengar suara napas manusia yang sangat dekat. Mereka menghentikan langkah dan saling bertukar pandang. Tanpa diucapkan, mereka tahu ada makhluk lain yang menyertai mereka. Meski dilanda ketakutan yang sangat menyiksa, mereka tetap melanjutkan pendakian dengan lisan yang tak pernah lepas dari zikir. 

 
Mereka terus melangkah dengan jarak yang saling berdekatan hingga akhirnya mereka sampai puncak pukul 04.50 WIB. Rupanya ada rombongan lain yang satu jam lebih dahulu tiba di sana. Mereka merasa sangat lega dan tersenyum puas, perjuangan mereka menuju puncak patut disyukuri. Namun, mereka tidak sepenuhnya lega, karena di antara rombongan yang tiba lebih dulu, mereka tidak menemukan Vita. Mereka masih berharap bisa bertemu Vita dalam perjalanan turun nanti.  


Setelah salat Subuh, mereka menunggu sunset  sambil mengabadikan momen-momen itu dalam kamera. Penyebaran sinar matahari oleh partikel debu dan partikel aerosol padat lainnya menciptakan rona kemerahan dan oranye yang menawan. Kelelahan dan peristiwa mistis yang menyertai pendakian mereka seolah-olah hilang tak berbekas. Mereka berfoto mengabadikan keindahan ciptaan-Nya sampai puas.  


Pukul 10.00 WIB mereka pun melakukan perjalanan pulang. Meski kabut menyelimuti beberapa tempat, perjalanan turun relatif lebih lancar dan minim gangguan. Mereka hanya memandang jalur yang dilalui semalam tanpa banyak kata.  


Mereka sampai di titik awal pendakian bertepatan dengan berkumandangnya azan Magrib. Mereka bergegas mengambil wudu, kemudian salat berjemaah.  


Sebelum kembali ke Jogja, mereka menemui petugas yang biasa berjaga di lereng Gunung Lawu. Mereka menitipkan ransel yang hingga kini belum mereka temukan pemiliknya.  


Hardi dan teman-temannya pulang dengan membawa pengalaman yang memberi berjuta rasa. Mendaki gunung membuat mereka merasakan kebesaran Sang Pencipta sekaligus mengakui adanya dunia yang tak kasatmata.  


Seminggu kemudian, mereka membaca sebuah berita bahwa telah ditemukan jenazah wanita yang telah meninggal tiga bulan lalu di sebuah jurang di Gunung Lawu. Wanita tersebut adalah Vita Sabrina, salah seorang mahasiswi perguruan tinggi negeri di Semarang, yang ranselnya menyertai pendakian Hardi dan teman-temannya.  
 
~ Selesai ~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun