Ayudia baru saja menyudahi doanya di sepertiga malam terakhir. Namun, ia masih bersimpuh di atas sajadahnya. Suasana malam yang sesekali ditingkahi oleh suara binatang malam menambah kekhusyukan.
Bagi Ayudia, Allah adalah sebaik-baik tempat mengadu. Ia yakin Allah akan mengabulkan semua yang ia pinta dan menjaga semua hal yang ia adukan.Â
Kali ini, Ayudia dihadapkan pada sebuah pilihan sulit. Tiga hari yang lalu, ia mendapat kabar gembira bahwa umrah sudah bisa dilaksanakan dan tabungannya telah mencapai jumlah yang mencukupi.
Namun, impian yang ia bangun selama sepuluh tahun itu membuat gamang ketika ia dihadapkan pada sebuah kenyataan yang membuatnya harus memilih.
Wanita berusia 35 tahun itu mengusap matanya yang basah. Kemarin pagi, ia mendapat kabar bahwa Bara, adik satu-satunya, mengalami kecelakaan. Tulang selangka sang adik patah dan harus segera dilakukan tindakan operasi.
Ayudia menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan. Meski berat, Ayudia sudah mengambil keputusan.Â
Ia membatalkan rencana umrah dan akan memberikan uangnya untuk membantu biaya operasi sang adik yang mencapai  60 jutaan. Ia akan terus membangun mimpinya untuk umrah dengan menyisihkan keuntungan berjualan keripik singkong dan dibarengi dengan doa.
Azan Subuh terdengar merdu dari masjid yang hanya berjarak seratus meter dari rumah sederhana Ayudia. Wanita berlesung pipi itu beranjak dari sajadah dan menuju kamar. Ketika pintu kamar terbuka, ia mendapati Faris, sang suami, telah rapi dengan sarung, baju koko putih dan peci di kepalanya.
"Mas ke masjid dulu, ya," ucap Faris sambil mengusap kepala istrinya lembut.
Ayudia hanya menjawab dengan anggukan dan senyum manis yang selalu menghiasi wajahnya.
*
"Mbak, terima kasih atas bantuannya, ya. Tanpa bantuan Mbak Ayu, Mas Bara tidak akan mendapat tindakan operasi. Entah kapan saya bisa membalas semua kebaikan Mbak Ayu," ucap Kania, adik ipar Ayudia, penuh rasa terima kasih.
"Alhamdulillah operasinya telah berjalan lancar. Sekarang Kania fokus aja merawat Bara agar lekas pulih," ujar Ayudia tulus.
"Maaf, ya, Mbak. Karena membantu kami, Mbak Ayu jadi batal umrah," kata Kania dengan penuh sesal.
"Enggak usah dipikirkan, rezeki itu rahasia Allah. Kalau sekarang Mbak belum bisa berangkat, berarti memang belum rezeki. Masih banyak kesempatan untuk menabung kembali." Ayudia mengusap bahu Kania lembut agar sang adik ipar menjadi tenang.
"Sekali lagi, terima kasih banyak, Mbak."
Ayudia mengangguk dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya.
"Kamu istirahat dulu, ya. Biar Mbak yang jaga. Nanti kalau Bara siuman, Mbak panggil Kania, ya."
"Baik, Mbak." Kania pun berlalu diiringi tatapan iba Ayudia.
Bara dan Kania baru menikah dua bulan yang lalu. Kandungan Kania yang baru berusia empat minggu tentu perlu perhatian khusus. Kania terlihat sangat lelah, tampak dari lingkaran hitam di sekitar matanya.
Bara baru bekerja lima bulan di sebuah perusahaan ekspedisi. Tiga hari lalu ia mengalami kecelakaan tunggal akibat mengantuk sepulang dari dinas malam. Akibat kecelakaan itu ia mendapatkan luka di beberapa bagian tubuhnya dan mengalami patah tulang selangka.
Asuransi kesehatan yang didapat dari tempatnya bekerja tidak meng-cover seluruh biaya operasi. Sebagai saudara satu-satunya, Ayudia merasa perlu membantu. Ia tidak mungkin meminta bantuan orang tua yang hidupnya sederhana.
Tujuh tahun lamanya Ayudia menyisihkan uang dari keuntungan berjualan keripik singkong. Suami Ayudia, Faris, hanya seorang satpam di sebuah perumahan elit.Â
Ia sangat mendukung cita-cita sang istri untuk umrah sehingga tidak sedikit pun ia menggunakan keuntungan yang diperoleh Ayudia untuk keperluan anak-anak, terlebih untuk kepentingan pribadi. Â
Namun, demi membantu biaya operasi sang adik, Ayudia ikhlas membatalkan rencana umrahnya. Ia berharap dengan tindakan medis yang tepat, sang adik cepat sembuh dan kembali bekerja untuk mempersiapkan kelahiran buah hatinya. Â Â
*
Enam bulan pasca operasi Bara, Ayudia sudah bisa bernapas lega. Sang adik sudah pulih dan kembali bekerja. Kehamilan Kania tidak mengalami masalah dan janinnya pun tumbuh sehat. Hal itu turut membahagiakan Ayudia.
Wanita yang selalu mengenakan hijab itu, kembali menjalani rutinitas hariannya. Setiap pagi, sekalian mengantar Ilham, anak keduanya, ia menitipkan keripik singkong buatannya di sekolah Ilham dan warung-warung di sekitarnya.
Sedangkan Tiara, anak pertama Ayudia yang sudah kelas 8 SMP, membawa keripik singkong untuk dititipkan di sekolahnya. Â
Namun, hari ini berbeda. Perumahan Seroja, tempat Faris menjadi satpam, mengadakan family gathering untuk warga dan orang-orang yang bekerja di komplek itu, seperti satpam, asisten rumah tangga, supir, dan lainnya. Sebuah tradisi yang tidak dimiliki perumahan lain untuk menghargai jasa mereka.
Acara penuh kekeluargaan ini dilakukan di lapangan perumahan yang cukup luas. Namun, acara ini dikemas menarik dengan aneka games seru yang mengakrabkan.
Mereka tertawa lepas jika games yang sedang berlangsung menimbulkan tawa akibat kelucuan para peserta.
Saat seperti ini seolah-olah tak ada batas antara bos dan karyawannya. Hal ini justru membuat para pekerja di perumahan itu menjadi betah dan bekerja dengan memberikan pelayanan yang terbaik.
Acara berlangsung hingga menjelang tengah hari. Tibalah kini saat yang dinantikan, pembagian doorprize. Istimewanya, pengundian doorprize hanya diperuntukkan orang-orang yang bekerja di Perumahan Seroja.
Sejak pagi, berbagai macam hadiah telah dipajang di sudut lapangan yang diteduhi oleh beberapa pohon pucuk merah.
Hadiah-hadiah menarik seperti televisi layar datar, sepeda, handphone, dan barang-barang elektronik lainnya, membuat mereka berharap menjadi pemenangnya. Tak terkecuali dengan Ayudia, ia berharap mendapatkan salah satu hadiah tersebut.
Namun, hingga pemenang hadiah terbesar, televisi layar datar, diumumkan, nama Ayudia atau Faris tidak disebutkan. Meski tidak mendapat hadiah, Ayudia tidak merasa kecewa. Ia meyakini bahwa rezeki tiap makhluk sudah Allah tetapkan dan tidak akan pernah tertukar.
Sebelum acara ditutup, seorang lelaki berusia 38 tahun, menaiki panggung. Lelaki itu adalah Hamid, seorang pengusaha furniture yang sukses.
Ia mengambil pengeras suara dan membuat pengumuman, "Bapak-bapak dan Ibu-ibu, saya harap bersabar sebentar. Saya akan mengambil secara acak nama dua orang peserta untuk mendapatkan dua hadiah terakhir."
Para peserta saling memandang penuh tanya pada orang yang duduk di sebelahnya. Mereka keheranan, tidak mengira masih ada hadiah yang belum dibagikan. Terlebih hadiah itu tidak pernah disebutkan sebelumnya.
Farida, yang bertugas sebagai MC , mendekati Hamid sambil membawa toples yang berisi gulungan kertas bertuliskan nama-nama peserta. Hamid memasukkan tangannya ke dalam toples, mengacak-acak isinya, dan langsung mengambil dua gulungan kertas.
"Pak, kami enggak tau, lho, ternyata masih ada hadiah lain," ucap Farida. "Sepertinya, hadiah ini istimewa. Boleh kami tau hadiahnya, Pak?" tanya wanita berhijab warna salem itu seperti mewakili rasa penasaran peserta lain.
"Mau tau aja, atau mau tau banget?" tanya Hamid. Senyum lebar menghias wajah tampan itu.
"Mau tau banget, dong," sahut Farida diikuti tawanya pelan.
"Bapak-bapak dan Ibu-ibu tau saya mau kasih hadiah apa?"
"Tidaakkk," jawab peserta kompak.
"Oke, saya bacakan dulu nama pemenangnya, ya."
Hamid mengambil salah satu gulungan kertas di tangan kirinya, lalu membuka secara perlahan, membuat para peserta semakin berdebar menanti.
"Banu!" seru Hamid disambut tepuk meriah para peserta.
Ia kemudian mengambil sisa gulungan kertas dan membukanya. "Ayudia!" Kembali tepuk tangan bergema.
Lafaz hamdalah meluncur dari bibir tipis Ayudia meskipun ia belum tahu mendapatkan hadiah apa.
"Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian, hadiah ini adalah sebagai rasa syukur atas kelahiran putra kembar saya." Wajah Hamid memancarkan kebahagiaan.
Ucapan hamdalah bergema dari lisan-lisan peserta yang hadir. Semua warga Perumahan Seroja tahu bahwa Allah baru memberi keturunan pada Hamid di usia sepuluh tahun pernikahannya.
Bahkan, dua tahun lalu, istri Hamid harus merelakan satu indung telurnya diangkat karena kanker ovarium.
Namun, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Di usia 33 tahun, Astri, istri Hamid, hamil dan melahirkan putra kembar. Tentu saja ini menjadi kado terindah bagi pasangan ini.
"Sebagai rasa syukur atas karunia Allah yang besar, saya memberikan hadiah pada dua peserta terakhir berupa umrah," ucap Hamid yakin.
Seketika ucapan tasbih bergema di antara orang-orang yang hadir. Ayudia yang mendengar hal itu langsung bersujud sebagai tanda syukur. Air mata haru menderas di pipi tirus Ayudia. Kalimat hamdalah tak pernah lepas dari bibirnya.
"Satu lagi, Pak Banu dan Bu Ayudia bisa berangkat bersama pasangan masing-masing." Hamid mengakhiri ucapannya dengan hamdalah dan salam. Ia meminta Banu dan Ayudia menemuinya nanti sore untuk melengkapi persyaratan umrah.
Rasa bahagia dan haru membuncah, memenuhi dada Ayudia. Ia menatap sang suami yang duduk di samping kanannya. Faris membalas tatapan istrinya dengan senyum terukir di wajahnya. Dengan penuh rasa sayang, ia raih tangan kanan Ayudia dan meletakkan dalam genggamannya.
Ayudia yakin, Allah akan membalas kebaikannya, meskipun ia tidak mengira Allah menggantinya dengan hal yang sama. Bahkan, Allah menggantinya dua kali lipat. Ia bisa berangkat umrah bersama suami tercinta.
~ Selesai ~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H