Hingga suatu hari, Aruna jatuh pingsan. Dengan panik, Aksa membawa sang istri ke rumah sakit. Setelah melalui berbagai rangkaian pemeriksaan medis, penyataan dokter membuat Aksa terhenyak.Â
Aruna didiagnosa menderita leukemia. Aruna tidak pernah menceritakan sakitnya karena khawatir akan mengganggu aktivitas sang suami. Seketika rasa bersalah menyelimuti hati Aksa.
Namun, pena telah diangkat dan tinta takdir telah kering dituliskan. Tiga bulan setelah perawatan intensif, nyawa Aruna tidak bisa diselamatkan.Â
Kepergian sang istri membuat dunia Aksa bagaikan runtuh. Kepedihan dirasakan hingga palung hatinya. Separuh jiwa Aksa seperti tercerabut dan menyisakan rongga besar di hatinya.
Kini hanya penyesalan yang menguasai hati Aksa. Semua kerja keras dan waktu yang ia korbankan terasa sia-sia. Aksa telah salah mendefinisikan kebahagiaan.Â
Andai bisa melipat waktu, ia akan kembali pada masa ketika mereka dipertemukan pertama kali. Aksa akan selalu di samping belahan jiwanya hingga ajal menjemput.
Warna warni kehidupan tidak lagi terlihat indah bagi Aksa. Kicau burung kehilangan suara merdunya. Angin yang berembus, tak lagi menyejukkan hatinya.Â
Akan tetapi, mataharinya tidak boleh redup. Aksa berjanji akan menjadi matahari yang memancarkan sinarnya tanpa pamrih dan memberi kebahagiaan sejati pada putrinya. Ia berharap cahaya yang diwariskan pada Ayda, buah cintanya dan Aruna, dapat menembus awan segelap apa pun.
~ Tamat ~
Baca  juga: