Mohon tunggu...
Tatiek R. Anwar
Tatiek R. Anwar Mohon Tunggu... Penulis - Perajut aksara

Penulis novel Bukan Pelaminan Rasa dan Sebiru Rindu serta belasan antologi, 2 antologi cernak, 3 antologi puisi. Menulis adalah salah satu cara efektif dalam mengajak pada kebaikan tanpa harus menggurui.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengukir Asa

10 Desember 2021   12:15 Diperbarui: 15 Oktober 2022   18:32 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Notifikasi pesan masuk berbunyi di ponsel Danu. Mama, satu kata itu tertera di layar ponselnya.

[Danu, apa kabar? Mama kangen, deh.]

[Alhamdulillah, baik, Ma. Mama apa kabar?]

[Alhamdulillah, baik. Sabtu ini kamu pulang, ya? Udah lima kali kamu nggak ada saat ulang tahun Mama.]

Danu terdiam, ia menarik napas dalam-dalam, seakan-akan ingin melepas beban yang menggelayuti hatinya. Ia membalas pesan sang mama lima menit kemudian.

[Ya, Ma, insyaallah.]

Setelah berbalas salam, Danu menutup ponselnya. Ia membaringkan tubuh di kasur single dalam kamar indekosnya. Netra cokelatnya memandang lurus ke langit-langit kamar, ingatannya melayang pada kisahnya bertahun silam.

***

Danu baru saja mengganti seragam sekolahnya ketika mamanya pulang dengan wajah berurai air mata. Ia memeluk erat putra semata wayangnya. Danu yang duduk di bangku SMP kelas VII, tidak mengerti apa yang membuat sang mama menangis begitu sedihnya. Setelah tangisnya mereda, mamanya mengatakan hal yang membuatnya termangu.

"Danu, sekarang papamu nggak tinggal di rumah ini lagi. Kamu jadi anak baik, ya, harus bisa bikin Mama bangga," ucap sang mama di sela isaknya.

Danu hanya menanggapi ucapan Ranti, sang mama, dengan anggukan. Ia berpikir, Apakah itu artinya Papa dan Mama sudah bercerai seperti orang tua Axel? Sayangnya kalimat itu tidak pernah terlontar dari lisannya hingga kemudian waktulah yang menjawab kebenarannya.

Setelahnya, hari-hari Danu dilalui dalam sepi. Ia tidak hanya kehilangan sosok seorang papa, namun sang mama pun sudah sangat sibuk dengan pekerjaannya. Kalaupun ada di rumah, Ranti masih juga asyik di depan laptop. Ketika Danu memerlukan sesuatu, seringkali wanita berusia 38 tahun itu menyerahkannya pada Bik Imah yang sudah mengasuh Danu sejak balita. 

Danu tidak sedikit pun mengalami kesulitan di bidang akademis. Jika dulu ada mamanya yang selalu siap membantu, kini sang ibu sudah mendaftarkannya pada lembaga kursus agar ia selalu menjadi yang teratas di kelas, terlebih ia memang anak yang cerdas. Terbukti, remaja berhidung bangir itu selalu menempati ranking satu di kelas karena pesan sang mama yang selalu ia ingat.

"Danu, kamu harus jadi yang terbaik. Buktikan pada papamu bahwa Mama berhasil mendidik kamu menjadi anak yang cerdas dan sukses."

Ucapan Ranti memang menjadi motivasi bagi putranya untuk selalu membanggakan sang mama. Mata Ranti yang berbinar setiap mendapat kabar tentang prestasi sang putra, menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Danu. Di hadapan teman-teman kantor atau teman arisan, Danu selalu jadi perbincangan sang mama dan dibangga-banggakan. Namun, suatu ketika Danu mendapatkan nilai tujuh untuk pelajaran Fisika, reaksi sang mama membuat remaja itu kecewa.

"Danu, kenapa kamu cuma dapat nilai segini? Mama udah cari sekolah terbaik buat kamu, kursus dengan biaya mahal, kenapa nggak bisa dapat nilai lebih baik dari tujuh?"

Danu sedih, batinnya terluka. Apakah aku telah menyusahkan Mama? Tentu Mama capek karena harus bekerja sedemikian keras untuk diriku, bisik hatinya. Lama kelamaan, ia merasa menjadi beban bagi sang mama. Ia belajar bukan karena ia membutuhkan ilmu itu, melainkan karena ia ingin mamanya tersenyum, ia ingin mendapatkan perhatian dari wanita yang telah melahirkannya itu dan secara tidak langsung ingin membalaskan sakit hati pada papanya. Ia ingin memberikan yang terbaik agar sang mama menganggapnya ada.

Danu menjadi sangat berambisi karena keinginan-keinginan itu, ia harus selalu menjadi siswa berprestasi. Ia menjadi lebih keras lagi belajar dan ia sering kali menolak ajakan bermain temannya karena ia menganggap hal itu hanya membuang-buang waktu saja. Alhasil ia berhasil lulus SMP dengan nilai yang sangat memuaskan.

Danu berhasil mendapatkan nilai tinggi dan masuk ke SMA favorit di kotanya. Memasuki bangku SMA, remaja bertubuh tinggi itu memilih jurusan IPS. Namun Ranti mendesak Danu untuk memilih IPA karena nilai-nilai pelajaran eksaknya tinggi dan berambisi agar kelak Danu menjadi arsitek. Remaja itu bersikukuh memilih IPS, pun begitu sang mama, tetap berkeras agar putranya memilih jurusan IPA. Akhirnya Danu mengalah setelah sang mama tidak pernah menyapanya selama tiga hari.

Tahun pertama di SMA, Danu bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Meski ia tidak lagi mendapat ranking satu, tetapi ia masih masuk dalam lima besar terbaik. Namun, pada tahun kedua dan ketiga, prestasi Danu mengalami penurunan. Puncaknya, Danu tidak diterima di perguruan tinggi negeri, baik melalui seleksi bersama maupun seleksi mandiri.

Ranti marah besar, putra semata wayang tidak bisa mewujudkan harapannya. Suaranya yang keras seakan-akan memenuhi seluruh penjuru rumah, membuat hati Danu menciut. Pemuda itu makin merasa asing dengan sosok wanita yang sejatinya ingin selalu ia bahagiakan. Setelahnya, tiga hari lamanya Danu mengurung diri di kamar. Ia menghindari pertemuan dengan sang mama. Ranti pun enggan meminta maaf, bahkan terkesan tidak peduli dengan keadaan anaknya. Ranti hanya meminta Bi Imah untuk mengantarkkan makanan dan melihat kondisinya. 

Seminggu setelah itu, Ranti menemui sang putra di kamarnya. Danu yang melihat kehadirannya hanya memandang sesaat kemudian asyik kembali dengan kameranya. Ranti memosisikan dirinya di sebelah Danu yang sedang duduk menghadap jendela. Jemari pemuda itu sibuk menggeser-geser layar kamera. 

"Danu, Mama sudah daftarkan kamu di perguruan tinggi swasta di Jakarta. Kamu persiapkan diri, ya."

"Tapi, Ma, kuliah di sana kan, mahal. Danu juga harus indekos," ucap pemuda beralis tebal itu meragu. Itu artinya, ia akan memberi beban yang lebih besar lagi pada mamanya. Ia juga harus meninggalkan Kota Kembang, tempat ia lahir dan dibesarkan.

"Ma, biarkan Danu istirahat dulu setahun ini untuk mempersiapkan kuliah tahun depan. Danu janji akan belajar sungguh-sungguh agar bisa kuliah di negeri," pintanya.

"Enggak, pokoknya kamu harus jadi arsitek. Ini perguruan tinggi swasta dengan jurusan arsitektur terbaik, kamu bisa mewujudkan cita-citamu di sana!" titah mamanya. 

"Tapi, Ma ...."

"Mama sudah siapkan biayanya dan Mama sudah menyewa apartemen dekat kampus." Wanita cantik itu segera berlalu tanpa mau mendengar ucapan sang anak.

***

Hari berganti, Danu kini telah berstatus mahasiswa. Danu yang sangat ingin kuliah di Fakultas Seni, terpaksa mengalah untuk memenuhi permintaan mamanya. Pemuda berpostur tinggi itu melewati semester satu dan dua tanpa kesulitan yang berarti. Memasuki semester tiga, mata kuliah sudah lebih spesifik, Danu mulai merasa bosan. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap nilai akademisnya.

Danu selalu cemas di akhir semester ketika nilai IP keluar. Nilai B saja sudah membuat jantungnya berdetak lebih cepat, mengingat bagaimana reaksi mama begitu melihat nilai-nilainya. Ia tidak pernah pulang di kala liburan semester. Ketika sang mama menanyakan, ia selalu mengatakan sedang disibukkan oleh agenda-agenda kampus. Padahal sesungguhnya ia sedang sakit. Ya, setiap liburan semester dia selalu sakit. Kepala terasa berat, jantungnya lebih cepat berpacu, pencernaannya terganggu. Beberapa dokter yang memeriksanya mengatakan ia terkena GERD.

Puncaknya di semester lima, ketika nilai A tidak satu pun tercantum dalam IP, Danu merasakan tubuhnya demam, makanan yang masuk ke dalam lambungnya selalu ia muntahkan kembali dan dadanya terasa sesak.. Beberapa kali telepon dari sang mama tidak ia angkat. Hingga kemudian Ranti bergegas menyusul Danu ketika mendapat kabar dari teman Danu bahwa putranya sakit dan menolak dibawa ke dokter.

Begitu tiba di apartemen, Ranti terkejut melihat Danu yang meringkuk di kasurnya dengan wajah pucat dan demam tinggi. Wanita itu segera membawa Danu ke rumah sakit terdekat dengan memacu kencang mobilnya. Kecemasan sangat tampak di wajahnya. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya Danu meracau.

"Mama, maafkan Danu. Maafkan Danu ... Danu tidak bisa membahagiakan Mama. Danu tidak bisa menjadi anak baik. Mama mau kan, memaafkan kalau Danu pergi lebih dulu?" racaunya dengan suara bergetar.

"Danu, apa yang kamu bicarakan? Istigfar, Danu, istigfar!" jerit Ranti panik.

Setibanya di rumah sakit, Danu segera diperiksa dokter. Semuanya terlihat normal, sampai akhirnya dokter menemukan bahwa sakit Danu adalah akibat depresi. Danu merasa menjadi beban bagi sang mama yang bekerja keras untuk keberhasilan dirinya. Ia berusaha mati-matian membahagiakan mamanya pada sesuatu yang bukan menjadi passion-nya.

Ranti yang menyadari hal itu, akhirnya berusaha memahami putra semata wayangnya dan meminta maaf. Ranti mencoba mengerti bahwa tuntutan pada sang putra justru membuatnya sakit dan menderita. Dokter mengatakan bahwa depresi yang berkepanjangan akan menyebabkan sakit jiwa bahkan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan bunuh diri. 

***

Danu bangkit dari tempat tidurnya, ia mendekati jendela, melihat semaraknya ibu kota dari lantai 7 kamar apartemen. Jakarta seolah-olah tak pernah tidur, ditandai dengan kelap-kelip lampu hias dan kendaraan yang bergerak. Pemuda itu bersyukur, depresi yang dialami tidak membuatnya jatuh dalam jeratan narkoba meski membuat jiwanya sangat tertekan. 

Mama menyadari kesalahannya kemudian membebaskan Danu memilih jurusan yang menjadi passion-nya. Danu kini kuliah di sebuah perguruan tinggi yang mengasah potensi seninya. Di tahun kedua kuliah, ia bahkan sudah bisa memenuhi kebutuhan hidup per bulannya dengan menjadi fotografer tanpa mengganggu waktu kuliahnya. Mengabadikan keindahan melalui kamera juga menjadi obat bagi jiwanya yang pernah terluka.

~Selesai~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun