Andini selalu menyukai senja. Langit sore yang kaya warna itu dipandanginya dari balik jendela kamarnya. Senja melukiskan bias warna indah pada bentangan horizon dengan matahari sepotong. Keindahan senja yang memukau selalu memanjakan mata Andini sehingga ia tak pernah puas untuk menikmatinya.
Langit biru yang mendominasi di siang hari, perlahan berubah menjadi gradasi warna jingga yang cantik sempurna. Sinar matahari yang ada di batas garis cakrawala paling barat seakan tak ingin pergi tanpa kesan yang mendalam. Senja selalu menampakkan pesona kilaunya yang fana, hadir sekejap kemudian meninggalkan bumi dalam pekatnya malam.
Senja memisahkan langit dengan birunya, menenggelamkan matahari di batas cakrawala. Apakah keindahan dunia hanya sementara seperti cantiknya senja yang fana? Apakah kemilau semburat senja selalu membawa kebahagiaan pada insan yang memandangnya?
***
Enam tahun lalu
Andini tergesa mengayunkan langkah menuju sekolah yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Semalam ia mengerjakan tugas fisika hingga larut sehingga ia bangun terlambat. Gadis kelas 2 SMA itu melangkah setengah berlari, pasalnya Pak Furqon, guru Fisika itu tidak menoleransi apapun alasan keterlambatan siswanya.
Andini memilih jalan pintas untuk memangkas jarak. Jalannya memang cenderung sepi, tetapi menghemat waktu hingga sepuluh menit untuk tiba di sekolah. Baru berjalan sekitar 300 meter, Andini melihat ada dua orang pemuda sedang duduk sambil mengobrol. Ketika Andini melintas di hadapan mereka, salah seorang pemuda itu menggodanya, bahkan seorang lainnya berusaha menyentuhnya.
Andini berusaha menjauh, mempercepat langkahnya, tetapi kedua pemuda itu terus menyejajarkan langkahnya. Tiba-tiba sebuah sepeda melintas, dia membunyikan belnya sambil melaju mendekati Andini.
"Hai, ayo, bareng ke sekolah," sapa pemuda berseragam seperti Andini.
Tanpa pikir panjang, Andini segera naik ke boncengan sepeda yang dengan cepat dikayuh sang pemilik meninggalkan dua pemuda berandalan tersebut. Dari belakang, Andini mengamati sang penolong. Andini tidak mengenal pemuda bertubuh tinggi kurus itu. Dari lambang sekolah yang dipakainya, pemuda itu satu sekolah dengan Andini.
"Jadi perempuan itu, harus tutup aurat," ujar sang pemuda tanpa basa basi.
"Menutup aurat itu perintah Allah dan cara perempuan itu sendiri menghargai dirinya," lanjutnya seolah tidak membutuhkan tanggapan Andini.
'Ini orang ngapain sih, ngatur-ngatur hidup saya," gumam Andini. Ia tidak berani memprotes ucapan pemuda cuek itu.
Tidak membutuhkan waktu lama, mereka sampai di gerbang sekolah. Andini melirik jam di pergelangan tangan kirinya, pukul 06.52, masih tersisa delapan menit sebelum bel sekolah berbunyi. Pemuda itu menghentikan laju sepedanya.
"Turun!" perintahnya kemudian tanpa menoleh ke belakang. Begitu Andini menjejakkan kakinya di tanah, pemuda itu melaju meninggalkan Andini, menuju tempat parkir di sebelah kiri area sekolah yang berdekatan dengan masjid sekolah.
Andini bengong melihat si pemuda dengan cuek meninggalkannya di gerbang sekolah, sampai ia lupa mengucapkan terima kasih dan menanyakan nama serta kelasnya.
***
Hari-hari berlalu, rasa penasaran Andini menuntunnya untuk mencari tahu siapa pemuda penolongnya. Ia, Arya Bimantara, anak kelas III IPA2. Arya anak Rohis, aktivitasnya antara masjid dan perpustakaan. Pantas saja Andini jarang melihatnya. Andini lebih senang duduk-duduk di bangku taman bersama teman-temannya atau menonton sang jago basket, Bisma, yang setiap aksinya selalu membuat para gadis berseru mencari perhatiannya.
Entah apa yang menarik, lelaki kurus itu sangat menyita perhatian Andini. Sikap acuhnya, terutama terhadap teman-teman gadisnya, menjadi magnet bagi Andini. Kakak kelasnya itu adalah anak pertama dari keluarga sederhana. Bapak Arya adalah seorang guru SD dan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga.
Meskipun hidup sederhana, Arya dan kedua adiknya tampak sangat bahagia, mereka memiliki prestasi di sekolah masing-masing. Sania, kelas III SMP, sering mewakili sekolahnya dalam lomba cerdas cermat. Adik bungsu Arya, Yudha, berbakat dalam bidang seni, lukisannya sering diikutkan dalam lomba-lomba antar sekolah. Arya sendiri, juara 1 lomba matematika tingkat provinsi, hal yang baru Andini sadari saat ini. Hei, kemana saja ia selama ini?
Andini yang biasanya senang menonton basket sambil menyoraki Bisma sang idola sekolahnya, kini berubah haluan, memilih menikmati semilir angin di teras masjid saat istirahat. Tentu saja kebiasaan baru Andini membuat Santi, sahabatnya, terheran-heran. Ketika Santi mengetahui alasan Andini, dia habis-habisan meledek Andini.
"Din, kamu enggak salah minum obat, kan? Kenapa seleramu jadi turun pangkat?" tanya Santi dengan kening berkerut.
"Sstt .... Jangan berisik, nanti kedengaran yang lain." Andini menyengir kuda. "Kalau kamu tanya kenapa, aku sendiri enggak ngerti," sambungnya. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Ah, sableng kamu, Din. Tahu enggak sih, Arya itu enggak bakalan ngelirik cewek, apalagi cewek yang enggak pake kerudung macam kamu dan hobinya nongkrong di lapangan basket," olok Santi.
"I-iya, sih. Seminggu nongkrongin Arya di masjid, tiga kali berpapasan, Arya lempeng aja kayak enggak kenal," keluh Andini.
"Hmmm .... Tunggu aja nanti," bisik Andini
"Din, kamu ...."
"Ssttt." Andini berlalu bertepatan dengan bunyi bel pelajaran terakhir.
Esoknya, Andini datang ke sekolah dengan seragam yang bikin teman-temannya melongo. Ia berbusana muslim! Rok abu-abu dan baju lengan panjang dilengkapi dengan kerudung putih yang bertengger di kepalanya. Bau baju baru tercium bila berdekatan dengan Andini. Sesekali gadis berlesung pipi itu membetulkan kerudungnya yang miring, butuh setengah jam untuk memasang kerudung yang membingkai wajah tirusnya.
Kembali, istirahatnya banyak dihabiskan di teras masjid sekolah. Hari ketiga setelah berkerudung, tanpa sengaja ia berpapasan dengan Arya. Dalam jarak 5 meter, Arya tanpa sengaja menatap Andini dan berpaling. Memang seperti itu sikapnya jika bertemu lawan jenis. Setelah melewati Andini, tiba-tiba didengarnya Arya bersuara.
"Hai, kamu yang beberapa hari lalu saya bonceng, kan?" tanyanya dengan sorot mata tak percaya.
"Iya, saya Andini," sambutnya dengan wajah semringah. Akhirnya, ia bisa menarik perhatian Arya.
"Oh ..," jawabnya pendek. "Selamat ya, sudah menutup aurat." Pemuda beralis tebal itu berlalu.
Tanggapan Arya yang datar, tidak menggoyahkan Andini. Dia tetap rajin bertandang ke masjid, bahkan kini rutin mengikuti kajian yang diadakan anak-anak Rohis.
Seiring berjalannya waktu, Andini mulai memahami Islam, agama samawi yang sangat menjaga kehormatan wanita.Â
Aturan-aturan Islam dalam pergaulan yang semula dianggap mengekang, kini dipahami Andini sebagai bentuk kasih sayang Allah dalam menjaga perhiasaan wanita. Andini rajin ke masjid bukan lagi karena Arya, tetapi karena ia sudah menemukan ketenangan dalam keyakinannya.
Waktu terus berlalu hingga Andini naik kelas III dan Arya melanjutkan kuliah. Waktu juga yang mengubur cinta monyetnya kepada Arya.
Selepas SMA, Andini melanjutkan kuliah di sebuah PTN terbaik di daerah Jawa. Meski berat meninggalkan orang tua dan kampung halamannya, Sukabumi, tekad yang kuat untuk menggapai cita, menguatkan langkahnya. Bersama tiga orang teman dari berbagai daerah, Andini mengontrak sebuah rumah yang letaknya tidak jauh dari kampusnya.
Hingga bertahun kemudian, Allah pertemukan kembali Andini dan Arya dalam acara seminar keagamaan yang diadakan kampus mereka. Ya, tanpa mereka ketahui, selama ini mereka kuliah di tempat yang sama namun beda jurusan.
Arya tampak dewasa dengan tubuh lebih berisi, kumis dan janggut tipis menambah kharisma yang terpancar dari dirinya. Senyum tipis terlukis di bibir Arya, ketika netranya tanpa sengaja bersirobok dengan netra cokelat Andini. Arya menganggukkan kepala dan berlalu dari hadapan Andini. Hanya sekali itu saja mereka bertemu.
Waktu cepat sekali berlalu. Setelah empat tahun bergelut dengan buku-buku tebal, gelar sarjana ekonomi kini disandang Andini. Di hari wisudanya, gadis bertinggi 155 cm itu mendapat pesan dari nomor yang tidak dikenalnya.
[Assalamu'alaykum, Andini. Selamat ya, atas kelulusannya. Kamu siap, kan, kalau minggu depan saya datang melamarmu? Tertanda, Arya Bimantara]
Hampir meledak jantung Andini membaca pesan itu. Bertahun lalu ia memendam rasa suka pada pemuda sedingin kulkas itu. Rasa yang kemudian disimpan karena ia ingin menjaga kesucian hatinya. Ketika itu bersambut, serasa sempurna kebahagiaannya. Namun, Andini kini telah menjelma menjadi gadis dewasa, ia tidak ingin mengambil keputusan atas dorongan cinta monyetnya yang baru berbalas.
Andini menyerahkan urusannya kepada Sang Mahakuasa. Setelah melakukan istikharah, hatinya mantap untuk menerima Arya sebagai pendamping hidupnya. Andini dan keluarganya mempersiapkan hari lamaran dengan sebaik mungkin.
Hari yang mendebarkan itu tiba. Andini memakai gamis dan kerudung terbaiknya. Keluarganya meyajikan hidangan dengan menu teristimewa. Arya didampingi orangtua dan kedua adiknya. Dalam balutan kemeja koko putih, wajah teduhnya tampak berseri. Sepanjang acara, senyum selalu menghiasi wajah calon pengantin.
Acara lamaran berlangsung lancar, tanggal pernikahan pun sudah di tetapkan. Andini dan Arya akan melangsungkan akad nikah dua bulan lagj, tepatnya tanggal 5 Syawal. Acara ditutup dengan makan siang bersama dan ramah tamah.
Dua keluarga berbincang santai dan penuh keakraban. Sesekali orangtua Andini dan orangtua Arya menggoda calon pengantin sehingga menerbitkan semu di pipi putih Andini. Arya yang sering mencuri pandang ke arah Andini, tersenyum dengan binar di netra pekatnya.
Setelah melaksanakan salat Dzuhur berjamaah yang diimami Arya, keluarga Arya pun pamit. Arya harus kembali ke Jogja karena ia hanya mengajukan cuti satu hari. Pekerjaannya sebagai jurnalis, membuatnya sulit untuk berlama-lama libur. Rencananya lebaran nanti ia akan mengajukan cuti tambahan selama seminggu.
Hari-hari berlalu dalam penantian yang membahagiakan bagi calon pengantin. Arya menyerahkan teknis pelaksanaan akad dan resepsinya pada Andini. Dibantu Yudha, adik Andini, ia mempersiapkan sewa gedung, memesan gaun pengantin, mencari catering hingga menyiapkan undangan dan souvenir.
Ramadan tiba, hari yang dinantikan semakin dekat. Debaran di hati Andini menguat, membayangkan dirinya akan bersanding dengan lelaki yang dicintainya.Â
Adakah yang lebih membahagiakan hati seorang gadis selain bersanding dengan kekasih pujaan hati? Mengukuhkan cinta di hadapan Allah dalam ikatan yang sakral adalah dambaan setiap insan yang dimabuk asmara.
Kebahagiaan yang menjelang di hadapan Andini, tiba-tiba seperti dihempas badai, habis tak bersisa. Pagi hari di tanggal 25 Ramadan, sebuah kabar dari Sania membuatnya lemas bagai tak bertulang.Â
Arya, sang pangeran yang dinanti kehadirannya, tak bisa memenuhi janjinya. Allah lebih sayang pada pemuda yang hatinya selalu terpaut pada masjid itu.
Arya yang memiliki dedikasi tinggi dalam pekerjaannya diketahui terinfeksi covid-19 seusai mewawancarai seorang pengusaha sukses.Â
Pengusaha itu baru saja melakukan perjalanan ke beberapa negara Eropa untuk memperkenalkan produknya. Tanpa diketahui, pengusaha tersebut telah terpapar dan tetap melakukan aktivitas termasuk menerima jadwal wawancara.
Arya yang ketika itu dalam kondisi lelah dan kurang istirahat, membuat imunitasanya menurun. Sakit asma makin memperparah kondisi Arya. Tepat dua pekan paska terserang virus, raganya menyerah. Arya kembali pada Sang Pencipta dengan senyum terukir di wajahnya.
Selembar kertas yang menyimpan pesan Arya, semakin membuat Andini rapuh, menyisakan rongga besar di dalam hatinya. Surat perpisahan yang menyentak kesadaran Andini bahwa skenario Allah lebih baik dari rencana hamba-Nya.
[Assalamu'alaikum Andini]
Ketika pertama kali mengenalmu di SMA, aku tidak melihat sesuatu yang istimewa pada dirimu. Kamu seperti halnya gadis-gadis lain yang lebih menyenangi kegiatan-kegiatan yang banyak membuang waktu berhargamu. Namun, waktu kemudian mengubahmu, kamu berhijab dan mulai menyenangi masjid. Apakah itu karena aku? Ah, tentu aja aku terlalu berlebihan.
Tiga tahun setelah lulus SMA, Allah pertemukan kita kembali di kampus tercinta. Aku melihatmu menjadi sosok yang berbeda, sosok wanita sempurna dalam balutan pakaian takwa.Â
Sejak hari itu, hidupku tak lagi sama. Namun Islam mengajarkan memelihara cinta tanpa ikatan sakral bukanlah cinta yang dibenarkan, hingga aku menyimpan di sisi terdalam hatiku sampai tiba saat yang tepat.
Andini, rupanya Allah tidak suka diduakan. Ketika hatiku cenderung kepadamu, Allah menimpakan nikmat sakit. Sungguh, sebagai seorang lelaki, aku mencintaimu secara utuh. Namun, sebagai seorang hamba, aku memilih Rabbku sebagai Raja.
Andini, jika takdir Allah menuliskan kebersamaan kita hanya sampai di sini, maka aku tahu, Allah telah menyiapkan pengganti diriku yang terbaik untukmu. Jika kisah kita tidak berakhir seperti harapanmu, maafkan diriku. Percayalah, sesuatu yang indah menanti di hadapanmu jika engkau ikhlas atas keputusan Rabbmu.
Yang mencintaimu karena Allah,
[Arya Bimantara]
*****
Matahari semakin condong ke barat, sinarnya perlahan menghilang ditelan pekat. Andini masih di sini, di jendela kamarnya, menatap kepergian mentari dengan sendu.Â
Di sebuah ruang dalam hatinya ada yang tercerabut, seperti senja yang meniadakan siang. Seperti halnya kehadiran Arya, dinanti sepenuh rindu, kemudian hadir sesaat dan pergi meninggalkan hampa.
Sejatinya perpisahan akan lebih mudah dikenang daripada pertemuan. Hari ini Andini belajar pada senja bahwa yang indah dan memesona akan tiba dan menghilang pada waktunya.
Andini tidak membenci senja yang menyajikan keindahan sesaat. Sebagai seorang hamba, Andini tak hendak menggugat suratan takdir. Bidadari surga lebih layak bagi Arya. Andini hanya perlu meyakinkan diri, kelak akan hadir arjuna yang lebih mengerti dirinya dan mengisi ruang kosong di hatinya.
~ Tamat ~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H