Andini yang biasanya senang menonton basket sambil menyoraki Bisma sang idola sekolahnya, kini berubah haluan, memilih menikmati semilir angin di teras masjid saat istirahat. Tentu saja kebiasaan baru Andini membuat Santi, sahabatnya, terheran-heran. Ketika Santi mengetahui alasan Andini, dia habis-habisan meledek Andini.
"Din, kamu enggak salah minum obat, kan? Kenapa seleramu jadi turun pangkat?" tanya Santi dengan kening berkerut.
"Sstt .... Jangan berisik, nanti kedengaran yang lain." Andini menyengir kuda. "Kalau kamu tanya kenapa, aku sendiri enggak ngerti," sambungnya. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Ah, sableng kamu, Din. Tahu enggak sih, Arya itu enggak bakalan ngelirik cewek, apalagi cewek yang enggak pake kerudung macam kamu dan hobinya nongkrong di lapangan basket," olok Santi.
"I-iya, sih. Seminggu nongkrongin Arya di masjid, tiga kali berpapasan, Arya lempeng aja kayak enggak kenal," keluh Andini.
"Hmmm .... Tunggu aja nanti," bisik Andini
"Din, kamu ...."
"Ssttt." Andini berlalu bertepatan dengan bunyi bel pelajaran terakhir.
Esoknya, Andini datang ke sekolah dengan seragam yang bikin teman-temannya melongo. Ia berbusana muslim! Rok abu-abu dan baju lengan panjang dilengkapi dengan kerudung putih yang bertengger di kepalanya. Bau baju baru tercium bila berdekatan dengan Andini. Sesekali gadis berlesung pipi itu membetulkan kerudungnya yang miring, butuh setengah jam untuk memasang kerudung yang membingkai wajah tirusnya.
Kembali, istirahatnya banyak dihabiskan di teras masjid sekolah. Hari ketiga setelah berkerudung, tanpa sengaja ia berpapasan dengan Arya. Dalam jarak 5 meter, Arya tanpa sengaja menatap Andini dan berpaling. Memang seperti itu sikapnya jika bertemu lawan jenis. Setelah melewati Andini, tiba-tiba didengarnya Arya bersuara.
"Hai, kamu yang beberapa hari lalu saya bonceng, kan?" tanyanya dengan sorot mata tak percaya.